Mongabay.co.id

Sudah Saatnya Indonesia Merapikan Kewenangan Tumpang Tindih di Laut

 

Kompleksitas persoalan yang ada di laut dari waktu ke waktu terus meningkat dengan tingkat kesulitan yang semakin bertambah cepat. Selama ini, persoalan di laut banyak diwarnai oleh tantangan tradisional yang memicu banyak persoalan berkaitan dengan sumber daya alam.

Tetapi, semakin banyak pihak yang memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan dan penghidupan, tantangan juga semakin meningkat dengan signifikan. Kini, sudah meluas kepada tantangan non tradisional yang harus bisa dipahami dan dicarikan jalan keluar.

Salah satu tantangan yang saat ini semakin meningkat kesulitannya, adalah pertahanan dan keamanan di laut, terutama berkaitan dengan kedaulatan Negara. Itu diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Mahfud MD di Jakarta, akhir pekan lalu.

Selain itu, dia menyebutkan kalau tantangan non tradisional juga mendominasi di laut saat ini. Sebut saja, pelanggaran wilayah, penangkapan ikan secara ilegal, penyelundupan orang dan/atau barang, penyelundupan narkotika, dan pencemaran lingkungan.

“Jika tidak lekas ditangani, perkembangan teknologi bisa memfasilitasi kriminalitas berbasis maritim,” ungkap dia.

Karena itu, walau situasi geopolitik nasional secara umum dalam keadaan stabil saat ini, namun Indonesia tetap perlu melakukan antisipasi menghadapi tantangan keamanan di laut yang berkaitan dengan perkembangan teknologi.

Mengingat tantangan seperti itu yang terus meningkat, dia berharap semua pihak dan pemangku kepentingan bisa saling bersinergi serta melakukan koordinasi untuk menjaga wilayah laut sebaik mungkin.

Hal itu, merujuk pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.

baca : Kedaulatan Negara di Atas Laut adalah Segalanya

 

Presiden Joko Widodo meninjau KRI Usman Harun 359 dan KRI Karel Satsuit Tubun 356 di Pangkalan Angkatan Laut Terpadu Selat Lampa, Rabu (8/1/2020). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden/Mongabay Indonesia

 

Arahan tersebut diungkapkan Mahfud MD, karena salah satu visi emas dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RJPN) periode 2023-2045 adalah pembangunan sektor kelautan. Jika ingin visi tersebut berhasil, maka keamanan laut wajib bisa menopangnya dengan baik.

Ada lima poin yang harus dilakukan semua pihak dan pemangku kepentingan berkaitan dengan visi emas tersebut. Di antaranya, adalah memiliki pemahaman yang sama; mengutamakan kepentingan negara; mengutamakan kepentingan nasional; mengutamakan kepentingan bersama dalam penanganan keamanan; menjaga kedaulatan dan wilayah teritorial laut dalam tata kelola; serta harus terkoordinasi dengan baik.

Agar keamanan di laut bisa berjalan baik untuk jangka waktu yang lama, dia menyebut kalau Presiden RI Joko Widodo sudah memberi arahan untuk membentuk lembaga Indonesia coast guard yang menjadi representasi lembaga keamanan laut secara nasional.

Pendirian lembaga tersebut diharapkan akan bisa berfungsi untuk melakukan penjagaan keamanan, penyelenggaraan keselamatan, dan penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani pada kesempatan yang sama mengatakan kalau persoalan keamanan di laut juga dihadapi Indonesia berkaitan dengan tumpang tindih kewenangan penegakan hukum oleh instansi Negara.

Saat ini, kewenangan penegakan hukum di laut dipegang setidaknya oleh tiga instansi yang sama-sama bertugas untuk melaksanakan patroli pada laut lepas di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Semakin banyak instansi penegak hukum di laut, dia meyakini akan semakin terbatas sumber daya yang akan dimiliki oleh masing-masing instansi. Padahal, dengan organisasi yang ramping justru akan memaksimalkan segala potensi untuk efektivitas sumber daya patroli dan pengawasan.

baca juga : Mengawal Hukum dan Lingkungan Laut Tetap Adil dan Berkelanjutan

 

Kapal pengawasan Bakamla saat menjaga kapal ikan asing yang tertangkap mencuri ikan di Natuna, Minggu, Minggu, 16 Mei 2021. Foto : Humas Bakamla

 

Namun demikian, dia juga menyadari kalau mempercayakan tanggung jawab penegakan hukum di laut kepada satu instansi Negara saja, itu bukan kebijakan yang pas. Mengingat, Indonesia adalah negara kepulauan dengan 17.001 pulau dan lautan yang luas.

“Tumpang tindih kewenangan dan fungsi ini bukanlah hal yang baru,” tutur dia.

Dia menyebutkan, dengan segala keterbatasan yang ada, Indonesia seharusnya bisa fokus untuk melaksanakan penegakan hukum di wilayah ZEE, dibandingkan fokus pada laut teritorial atau perairan laut dalam. Tegasnya, wilayah ZEE Indonesia adalah prioritas, sehingga harus menjadi fokus utama.

Akan tetapi, Christina Aryani tetap mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Dia menyebut kalau keamanan laut terus diperbaiki, baik di level nasional atau internasional.

Pun demikian, dari sisi regulasi saat ini terus ada perbaikan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Selain PP 13/2022, saat ini Pemerintah juga tengah menggodok draf naskah Peraturan Presiden RI tentang Kebijakan Nasional Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.

 

Lembaga Tunggal

Kepala Badan Keamanan Laut RI Aan Kurnia juga memberikan pandangannya tentang keamanan laut di Indonesia saat ini. Salah satu persoalan yang ada, saat ini masih selesai masalah perbatasan yang memicu klaim sepihak dari setiap negara yang bersengketa.

“Ada resiko keamanan laut seperti pelanggaran wilayah dan aktivitas IUUF,” sebut dia.

Kemudian, keamanan di laut juga berkaitan dengan perilaku para pengguna alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang menjadi jalur pelayaran kapal laut dari dalam dan luar negeri. Di antara perilaku itu, adalah melanggar ketentuan seperti alih muat kapal ilegal, survei ilegal, dan hilir mudik kapal yang ilegal.

Lalu, ada juga persoalan garis pantai yang panjang dan minim pengawasan di laut Indonesia yang berpotensi menjadi jalur masuk narkoba. Juga, persoalan keselamatan pelayaran, terutama nelayan yang berlayar dengan peralatan keselamatan yang tidak memadai.

baca juga : Instrusi Kapal dari Negara Lain Masih Sulit Dihentikan di Laut Indonesia

 

Proses penangkapan satu dari enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/2021) oleh kapal pengawas KP Hiu Macan 01. Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Dengan segala persoalan yang ada, pengawasan keamanan di laut sudah selayaknya dilakukan lebih baik. Termasuk, dengan opsi untuk menyatukan kewenangan tersebut diberikan kepada satu lembaga saja.

Dia menjelaskan, opsi menjadikan instansi tunggal sebagai pemegang kewenangan untuk penegakan hukum di laut, sudah diterapkan oleh banyak negara di dunia. Regional Asia contohnya, saat ini instansi tinggal sudah diterapkan di Cina, Malaysia, Korea, dan India.

Keuntungan menerapkan sistem tinggal pada instansi pemegang kewenangan, adalah memudahkan instansi pada penerapan kebijakan dan strategi, serta fokus pada penegakan hukum dan pengawasan keselamatan di laut.

Namun, untuk bisa menerapkan sistem satu instansi kewenangan di laut, Aan Kurnia mengakui kalau itu tidak akan mudah prosesnya. Ada banyak langkah dan upaya yang harus bisa dilaksanakan Pemerintah Indonesia saat menjalankan prosesnya.

CEI Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa pada momen yang sama menjabarkan bahwa saat ini banyak negara di dunia sedang mendorong tata kelola pemanfaatan keberagaman hayati laut yang berkelanjutan di luar wilayah yurisdiksi nasional melalui Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) Agreement (19 Juni 2023).

Upaya tersebut mendapat tantangan signifikan, karena terdapat ancaman kerusakan lingkungan dari penambangan mineral dasar laut di luar wilayah yurisdiksi (deep seabed mining). Persoalan tersebut mendorong Intergovernmental Negotiating Committee di bawah UNEP melaksanakan pertemuan kedua di Paris, Prancis untuk membahas penyusunan instrumen hukum internasional yang mengikat tentang marine plastic pollution.

baca juga : Laut Natuna Utara Tetap Jadi Favorit Lokasi Pencurian Ikan

 

Petugas PSDKP KKP menjaga enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu (16/5/2021). Foto : Ditjen PSDKP KKP

 

Kemudian, International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) dan International Court of Justice (ICJ) juga pada saat ini sama-sama sedang melaksanakan perumusan pendapat (advisory opinion) tentang tanggung jawab negara dalam kaitannya dengan perubahan iklim, termasuk dampaknya pada laut.

Tambahan lagi, tantangan di laut saat ini juga berkaitan dengan situasi geopolitik seperti di Laut Cina Selatan, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia. Ketiga persoalan itu dinilai bisa berimplikasi pada peningkatan aktivitas militer dan semi militer di laut.

“Juga, banyaknya warga negara Indonesia yang hilang nyawanya akibat kerasnya kondisi kerja di atas kapal ikan asing akibat dari perbudakan modern. Perlindungan HAM di laut adalah topik yang sangat diperhatikan oleh berbagai negara di dunia saat ini,” papar dia.

Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Bogat Widyatmoko menyampaikan bahwa Indonesia perlu mengambil upaya tegas dengan mengakselerasi transformasi kebijakan, strategi, dan program.

Tujuannya, agar Indonesia bisa melaksanakan semua program dan strategi untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Pada sektor keamanan laut nasional, RPJPN 2025-2045 mendorong transformasi agar bisa melahirkan payung hukum tunggal di laut.

“Itu untuk transformasi kelembagaan keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi laut Indonesia,” jelas dia.

Menurut dia, transformasi tersebut perlu dilakukan untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum (KKPH) di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi laut Indonesia yang efektif dan efisien berbasis teknologi.

 

 

Exit mobile version