Mongabay.co.id

Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?

 

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada sektor kelautan dan perikanan masih menjadi permasalahan pelik yang belum bisa diatasi. Sampai saat in, masih ditemukan kasus TPPO dengan modus beragam yang melibatkan korban dari para pekerja perikanan.

Walau Amerika Serikat (AS) sudah memberikan penilaian lebih baik pada Indonesia berkaitan dengan TPPO, namun penilaian tersebut masih menegaskan bahwa TPPO adalah tindak kriminal yang masih sulit untuk diberantas.

Penilaian AS tersebut diterbitkan pada pertengahan Juni 2023 melalui Departemen Luar Negeri mereka. Laporan tersebut berjudul Trafficking in Persons (TIPs) Report dan salah satunya membahas penilaian untuk Indonesia yang diberikan status Tier 2 dari sebelumnya Tier 2 watchlist.

Laporan tersebut dinukil Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dan dipublikasikan pada pekan lalu di Jakarta. Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan membeberkan alasan apa yang melatarbelakangi AS menerbitkan laporan tersebut.

Menurut dia, salah satu alasannya adalah karena Indonesia sudah melakukan sejumlah upaya yang cukup baik untuk mengendalikan TPPO. Namun, Indonesia diberikan sejumlah catatan bahwa upaya pengentasan TPPO tersebut masih belum memenuhi standar minimum internasional.

DFW Indonesia menjabarkan sejumlah penyebab kenapa catatan tersebut diberikan kepada Indonesia, meski penanganan TPPO sudah jauh lebih baik. Alasan pertama, adalah karena upaya penegakan hukum yang tidak maksimal.

baca : Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

DFW Indonesia menganalisis, meski telah menjadi prioritas dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO), upaya penegakan hukum masih menjadi permasalahan utama dalam upaya pemberantasan TPPO.

Situasi ini berbeda dengan hasil yang disampaikan dalam TIPs Report 2023 yang pada pokoknya menyatakan bahwa terjadi peningkatan upaya hukum yang signifikan di Indonesia. Permasalahan penegakan hukum ini terjadi karena beberapa faktor.

Pertama, masyarakat tidak sepenuhnya memahami unsur-unsur TPPO, sehingga masyarakat kerap tidak menyadari bahwa mereka tengah menjadi korban TPPO. Kedua, kurangnya pemahaman dan perspektif dari Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani TPPO.

Ketiga, konstruksi regulasi terkait TPPO mengalami tumpang tindih di berbagai sektor. Hal itu mengakibatkan masyarakat belum paham kepada siapa mereka dapat memperoleh pelindungan dan jenis pelindungan apa yang dapat mereka peroleh ketika menjadi korban TPPO.

Catatan kedua kenapa AS melabeli Indonesia belum memenuhi standar minimum dalam menangani TPPO, adalah karena pengawasan yang tidak maksimal dalam upaya pengentasannya. Detailnya, adalah karena UU TPPO tidak menyebutkan mandat khusus untuk menekankan fungsi pengawasan.

Merujuk pada Pasal 58 UU TPPO, fungsi pengawasan masuk dalam tugas pencegahan yang tanggung jawabnya diserahkan kepada Gugus Tugas. Pengelompokan tugas itu, menjelaskan bahwa fungsi pengawasan masih belum menjadi tugas prioritas.

“Padahal, fungsi ini memegang peranan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang,” ungkap Moh Abdi Suhufan.

baca juga : Belum Ada Kepastian Nasib Awak Kapal Perikanan di ASEAN

 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

 

Bukan hanya tidak dijadikan prioritas dalam UU, secara praktik fungsi ini juga tidak dijalankan dengan baik. Contoh yang sering terjadi, adalah proses perekrutan melalui manning agent ilegal yang kerap menjadi sumber asal TPPO.

Dengan contoh tersebut, DFW Indonesia menyebutkan kalau pengawasan menjadi kunci penting dalam pemberantasan TPPO. Tegasnya, pengawasan secara berkala dan intensif yang hasilnya dipublikasi secara transparan dan akuntabel, akan menjadi jaring awal pencegahan TPPO.

Catatan ketiga, adalah karena proses perekrutan dan penempatan kerap menjadi “sarang” TPPO. Pada proses perekrutan dan penempatan, tindakan manipulasi yang kerap kali ditemui adalah penipuan dan penyalahgunaan posisi rentan.

Keempat, implementasi yang belum maksimal atas kehadiran Peraturan Pemerintah RI Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.

Kelima, masih belum maksimalnya upaya pemulihan hak korban. Meski fase ini menjadi sangat penting saat TPPO dialami korban dan seharusnya menjadi fokus dalam proses pemidanaan, namun AS memberi Indonesia label yang berhasil dalam menjamin pemberian restitusi bagi korban TPPO.

Padahal, DFW Indonesia memiliki catatan berbeda merujuk pada pelaporan yang masuk ke National Fishers Centre Indonesia (NFC-I) dan sudah terselesaikan. Dari semua laporan, sebagian besar pengadu yang diduga kuat menjadi korban TPPO, hanya mendapatkan penggantian uang yang menjadi hak mereka, dan belum kepada restitusi.

Selain itu, hak korban TPPO juga bukan sebatas pada restitusi saja, melainkan juga berhak mendapatkan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial apabila mengalami kekerasan psikis maupun fisik.

Catatan keenam versi DFW Indonesia, adalah masih belum optimalnya peran dan kontribusi Pemerintah Daerah dalam mendorong kebijakan dan strategi perlindungan terhadap korban dan penanganan TPPO.

Pemerintah Daerah dinilai memiliki peran sangat penting dalam upaya pengentasan TPPO, meskipun pada kenyataannya belum bisa maksimal karena tidak terlibat. Biasanya, Pemerintah Daerah cenderung hanya mengandalkan Satuan Tugas TPPO.

baca juga : Akankah Nasib Awak Kapal Perikanan Mengalami Perbaikan?

 

Sekelompok awak kapal perikanan (AKP) Indonesia lainnya ketika berada di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Kanal Pengaduan

Catatan ketujuh atau terakhir, adalah belum adanya integrasi proses pengaduan dan data penanganan yang dijadikan dasar pembuatan kebijakan struktural. Hal itu membuat pengaduan yang berasal dari korban TPPO masih terbagi-bagi ke dalam sejumlah kanal pengaduan.

Moh Abdi Suhufan menilai, walau jumlah kanal pengaduan yang banyak menjadi petunjuk bahwa upaya perlindungan hak korban TPPO semakin meluas, namun mekanisme pengaduan masih belum bermuara pada satu sentral penyelesaian yang sama.

“Akibatnya, pengaduan pelanggaran hak korban TPPO semakin bertambah setiap tahun, meskipun belum tentu dapat diselesaikan dengan baik,” tegas dia.

Berdasarkan catatan yang dipaparkan di atas, DFW Indonesia mendesak Pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan upaya pengentasan TPPO dengan cara:

  1. Melakukan reformasi regulasi terhadap UU TPPO dan seluruh regulasi yang terkait, agar mendasarkan pengawasan, pencegahan, penindakan dan pemulihan hak korban TPPO menjadi prioritas utama dalam pemberantasan TPPO. Khususnya berkaitan dengan awak kapal perikanan (AKP), Pemerintah Indonesia harus segera melaksanakan Ratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan (K-188), dan menyusun rencana nasional penerapan ASEAN Declaration on the Protection of Migrant Workers;
  2. Meninjau dan memperkuat implementasi pelindungan AKP dengan memastikan proses rekrutmen yang adil, pengawasan AKP, serikat pekerja dan AKP memiliki sertifikat dan kompetensi yang dibutuhkan. Hal ini untuk mencegah terjadinya praktik kerja paksa dan perdagangan orang bagi AKP;
  3. Mencabut wewenang penerbitan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan dan melimpahkan wewenang perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI) kepada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sesuai dengan amanat UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;
  4. Membuat aturan teknis turunan PP 22/2022 agar memperjelas mekanisme perekrutan dan penempatan AKP migran, serta melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap manning agent;
  5. Melakukan sosialisasi dan edukasi masif kepada masyarakat terkait unsur, bentuk, dan tata cara pelaporan TPPO, baik melalui sosialisasi dan edukasi langsung, serikat pekerja dan pelaku usaha, media sosial, informasi cetak dan media lainnya. Serta mempublikasikan laporan sosialisasi dan edukasi tersebut kepada masyarakat sebagai informasi publik;
  6. Melakukan peningkatan kapasitas dan pendidikan khusus yang dapat membangun perspektif nilai dan pemahaman kepada APH, terkait dengan penanganan kejahatan TPPO; dan
  7. Membuat sistem bersama yang dapat mengonsolidasikan seluruh data dan pengaduan, sehingga terintegrasi untuk penegakan hukum dan menjadi dasar pembuatan kebijakan struktural yang mampu mencegah TPPO dan memastikan pemulihan hak korban.

baca juga : Perjalanan Panjang Awak Kapal Perikanan Indonesia Menuntut Hak yang Hilang

 

Nelayan dari Flores Timur memancing ikan tuna dan cakalang menggunakan huhate di perairan Laut Flores dan Laut Sawu. Foto : Fitrianjayani/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Sebelum DFW Indonesia menerbitkan catatan tentang perlindungan AKP dari TPPO, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) juga memberikan perhatian yang sama. Bedanya, IOJI langsung menjalin kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, di mana profesi AKP migran dan pelaku usaha perikanan (nelayan kecil) banyak berasal dari Jawa Tengah.

CEO IOJI Mas Achmad Santosa mengatakan, Jateng adalah provinsi dengan jumlah nelayan yang sangat besar di Indonesia. Nelayan kecil dan nelayan buruh di provinsi ini menghadapi berbagai permasalahan, seperti kecelakaan di laut, kesulitan karena dampak eksploitasi maupun perubahan iklim terhadap ekosistem kelautan dan perikanan.

“Dan permasalahannya lainnya yang disebabkan oleh posisi tawar nelayan yang tidak seimbang dengan pemilik modal, pemberi kerja, dan pembuat kebijakan,” ucap dia.

Berdasarkan data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Jawa Tengah pada 2022, jumlah AKP migran yang ditempatkan oleh perusahaan pemegang SIUPPAK di Jateng mencapai 1.408 orang.

Namun, dia meyakini jumlah sebenarnya lebih dari itu, karena AKP migran asal Jateng banyak yang berangkat secara non prosedural. Mereka yang masuk dengan jalur tersebut, rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak perburuhan di seluruh tahapan migrasi mereka.

Termasuk, penipuan dan pemalsuan dokumen, jeratan utang, dan penahanan gaji. Selain itu, bekerja di atas kapal ikan di luar negeri juga kerap menempatkan AKP migran terisolasi di tengah laut, dan sulit mendapatkan akses terhadap bantuan dan komunikasi.

Mas Achmad Santosa menyebut, tantangan lain adalah maraknya keberadaan calo, masifnya informasi lowongan pekerjaan dan penempatan non prosedural, minimnya kompetensi pekerja, pengetahuan mengenai hak-hak AKP, serta budaya kerja di negara tujuan maupun bendera kapal.

Secara garis besar, dia menjelaskan kalau tugas dan tanggung jawab Pemprov Jateng dengan pelaku usaha untuk melindungi AKP migran akan memerlukan anggaran dan sumber daya manusia (SDM) besar. Untuk itu, kerja sama antar instansi akan menjadi kunci untuk menjalankan tugas tersebut dengan baik.

“IOJI berkomitmen untuk mendukung Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam berbagai jenis-jenis kegiatan untuk pelindungan AKP migran dan pelaku usaha perikanan,” pungkas dia.

 

Exit mobile version