- Bernasib kurang beruntung di dalam negeri, para tenaga kerja Indonesia yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) migran nyatanya bernasib serupa di luar negeri. Di ASEAN contohnya, sampai sekarang belum ada aturan perlindungan AKP migran untuk setiap negara
- Aturan tersebut membuat nasib AKP migran dari negara anggota ASEAN juga sama buruknya seperti dari Indonesia. Mereka terancam mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dan praktik kerja tidak terpuji yang dilarang secara hukum
- Agar nasib tidak menentu para AKP migran bisa membaik di ASEAN, Indonesia mendorong agar deklarasi perlindungan pekerja perikanan bisa segera diadopsi oleh lembaga internasional tersebut. Sehingga, akan ada kebijakan dan mekanisme kerja sama ASEAN dan negara anggota ASEAN
- Penyebab kenapa nasib AKP migran belum membaik, adalah karena program internasional di Indonesia masih belum menyentuh akar persoalan yang dihadapi AKP migran. Kondisi tersebut menjadikan nasib AKP migran masih belum jelas sampai sekarang
Upaya Pemerintah Indonesia untuk terus memperbaiki bentuk perlindungan kepada awak kapal perikanan (AKP) migran coba dilakukan melalui pendekatan kelompok negara di Asia Tenggara atau ASEAN. Pendekatan itu ditempuh, karena ASEAN adalah tempat berkumpulnya para AKP migran.
Saat berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pekan lalu, Pemerintah Indonesia mendorong semua negara anggota untuk segera mengadopsi Declaration on the Protection of Migrant Fishers.
Apa yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut, patut untuk mendapatkan apresiasi dari publik di mana pun berada. Hal itu diungkapkan CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa.
Dia mengatakan, AKP migran atau pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP) menjadi penting untuk didorong mendapatkan perlindungan di ASEAN, adalah karena para pekerja tersebut banyak yang berasal dari dan/atau bekerja di wilayah ASEAN.
Mereka diketahui banyak bekerja di kapal-kapal perikanan berbendera luar ASEAN dan mengalami praktik eksploitasi, perbudakan modern, bahkan menjadi korban perdagangan manusia. Oleh karena itu, kampanye di Labuan Bajo menjadi langkah awal untuk perbaikan perlindungan kepada AKP migran.
“Pemerintah Indonesia perlu terus memanfaatkan Keketuaan (Chairmanship) ASEAN 2023 untuk memastikan pengadopsian deklarasi oleh Negara Anggota ASEAN beserta dokumen implementasinya,” ungkap dia.
baca : Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?
Jika nanti deklarasi berhasil diadopsi, maka itu akan menjadi instrumen pertama di tingkat ASEAN untuk mengatur perlindungan PMI PP. Mengingat, sejauh ini belum ada bahasan secara khusus tentang perlindungan AKP migran pada forum-forum ASEAN yang ada.
Detailnya, sampai sekarang belum ada mekanisme kerja sama antar negara anggota ASEAN dalam menangani kasus eksploitasi dan perdagangan manusia yang dialami oleh AKP migran asal ASEAN. Kalaupun ada, instrumen ASEAN yang berlaku sekarang masih berorientasi pada pekerja di wilayah darat.
“Belum menjawab kerentanan AKP migran,” terang dia.
Adapun, instrumen yang dimaksud, adalah ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers dan ASEAN Declaration of Human Rights yang masih fokus kepada para pekerja migran yang beroperasi di wilayah daratan.
Oleh karena itu, jika deklarasi perlindungan terhadap pekerja perikanan bisa diadopsi di ASEAN, maka itu akan mendorong masuknya agenda perlindungan AKP migran pada setiap kebijakan dan mekanisme kerja sama ASEAN dan negara anggota ASEAN, termasuk soal migrasi dan hak asasi manusia (HAM).
“Meskipun, tidak mengingat secara hukum alias non binding,” tambah dia menyebut Declaration on the Protection of Migrant Fishers.
baca juga : Praktik Kerja Paksa Terus Hantui Para Pekerja Migran Perikanan Indonesia
Mas Achmad Santosa menjelaskan, jika deklarasi berhasil diadopsi oleh ASEAN, maka kerja sama yang perlu diprioritaskan tentang perlindungan AKP migran adalah:
- Pengawasan dan penegakan hukum;
- Pertukaran informasi terkait kasus-kasus AKP migran, termasuk kasus perdagangan manusia, dengan mempertimbangkan aspek privasi;
- Penetapan standar kerja yang layak (decent work) di kapal ikan, serta kesehatan dan keselamatan kerja di kapal ikan;
- Akses terhadap keadilan, termasuk pemulihan hak bagi AKP migran;
- Repatriasi dan reintegrasi AKP migran; dan
- Sertifikasi dan pengakuan atas kemampuan (skills) AKP migran.
Dengan pertimbangan di atas, maka Pemerintah Indonesia perlu untuk mengembangkan panduan (guidelines) yang bisa menindaklanjuti deklarasi ini. Panduan tersebut harus bisa menerjemahkan norma dan prinsip perlindungan HAM bagi AKP migran yang tercantum dalam deklarasi dan hukum internasional dan kemudian mewujudkannya menjadi rencana aksi beserta program-program teknis yang konkrit bagi ASEAN dan negara-negara anggota ASEAN.
Sebelumnya, pada Multi-Stakeholders Consultation Workshop on the Development of the ASEAN Declaration on the Protection of Migrant Workers on Board Fishing Vessels yang berlangsung di Bali, Maret 2023, sejumlah masukan juga disampaikan terkait kerentanan AKP migran dari ASEAN.
Masukan-masukan itu, mewakili persoalan yang selama ini sering dihadapi para AKP migran. Misalnya saja, rekrutmen yang berlapis dan tidak terpantau, isolasi di tengah laut tanpa akses, proses transit yang tidak terdata, impunitas korporasi yang melakukan pelanggaran HAM dan perburuhan terhadap AKP migran, jeratan hutang, serta rendahnya akses terhadap keadilan.
Adapun, beberapa masukan yang disampaikan adalah:
- Penegasan atas persamaan hak asasi manusia dan perburuhan antara AKP migran dan pekerja migran lain;
- Peningkatan pelindungan AKP migran di seluruh tahapan migrasi, termasuk tahapan rekrutmen dan penempatan, jaminan sosial, serta penetapan standar decent work di kapal ikan;
- Pengakuan terhadap hak AKP migran atas komunikasi dan hak atas pertolongan darurat (immediate emergency response);
- Bantuan dan akses terhadap keadilan;
- Penegasan komitmen untuk mengidentifikasi, menangani, dan menghukum segala tindakan kekerasan dan eksploitasi, termasuk perdagangan manusia terhadap AKP migran; dan
- Penegasan terhadap perlunya akuntabilitas dari peran dan tanggung jawab negara bendera, negara pelabuhan, negara pantai, dan negara transit dalam pelindungan AKP migran.
baca juga : Perjanjian Kerja Laut dan Ancaman Eksploitasi Kerja di Kapal Perikanan
Akar Masalah
Terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memberikan pandangannya tentang nasib AKP migran yang belum membaik. Menurut dia, program internasional di Indonesia masih belum menyentuh akar persoalan yang dihadapi AKP migran.
Kondisi tersebut menjadikan nasib AKP migran masih belum jelas sampai sekarang. Kecuali, jika perhatian dan inisiatif dari seluruh dunia untuk perbaikan tata kelola AKP migran sudah lebih baik dan terjadi juga perbaikan regulasi serta sistem di dalam Indonesia.
Tanpa menyentuh akar persoalan, dia menyebut kalau tata kelola AKP migran masih akan terus semrawut dan tidak akan ada solusi praktis untuk menangani setiap persoalan yang biasa dihadapi mereka saat sedang bekerja di tengah laut.
Menurut dia, semua persoalan yang sering dihadapi para AKP migran seharusnya bisa dijawab dan dipecahkan melalui program dan pendekatan yang dilakukan oleh para pihak terkait, utamanya adalah Pemerintah Indonesia.
Namun sayangnya, program dan pendekatan yang ada selama ini hanya bersifat supervisi dan berbasis proyek. Akibatnya, belum ada regulasi yang tegas terkait pengelolaan AP migran yang digerakkan oleh donor program dan diadopsi oleh Pemerintah Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI BHI) Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha memberikan pandangannya tentang nasib AKP migran yang sering mengalami persoalan dan praktik tidak menyenangkan saat ada di atas kapal perikanan.
Dia mengatakan, semua pihak harus bisa menyatukan visi untuk mewujudkan perlindungan AKP migran yang maksimal. Salah satunya, untuk mewujudkan ratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) Nomor 188 (ILO C-188).
Salah satu instrumen hukum internasional itu berisi tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan dan disahkan 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss. Jika aturan tersebut diratifikasi, maka bukan hanya AKP migran saja yang akan merasakan dampak positifnya.
Mereka yang bekerja sebagai AKP di dalam negeri juga dipastikan akan mendapatkan manfaatnya secara langsung. Selain itu, daya tawar produk hasil tangkapan laut Indonesia juga akan mengalami kenaikan di pasar global.
baca juga : Kapan Perlindungan Penuh kepada Awak Kapal Perikanan Diberikan?
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno belum lama ini memberikan tanggapannya kenapa AKP Indonesia masih mengalami nasib yang tidak baik saat bekerja di atas kapal perikanan milik pelaku usaha negara lain.
Menurut dia, karena hingga sekarang belum ada aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) berkaitan dengan tata laksana rekrutmen dan penempatan AKP yang menjadi turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Ketidakjelasan aturan di dalam negeri, juga dinilai akan bisa melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di level internasional. Kondisi tersebut bahkan akan semakin memburuk, jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum dilakukan diratifikasi.
ILO C-188 menjadi penting, karena di dalamnya mengatur detail tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan untuk menjamin keselamatan awak kapal sejak masa perekrutan, penempatan, sampai pemulangan.
Kemudian, diatur pula usia minimal awak kapal, waktu kerja dan istirahat, upah, akomodasi, fasilitas, kesehatan, dan jaminan sosial. Sebagaimana pekerja di darat, para nelayan atau AKP juga berhak mendapat pelindungan yang layak.
Sebagai salah satu kawasan asal terbesar dari AKP migran di seluruh dunia, ASEAN belum memiliki data akurat mengenai jumlah AKP migran. Pada 2022 ILO mencatat ada sekitar 125.000 AKP berasal dari ASEAN bekerja di kapal-kapal perikanan berbendera Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Taiwan.