Mongabay.co.id

Konflik Terus Terjadi Kala Habitat Gajah di Jambi Makin Menyempit

 

 

 

 

Sodikin semalaman tak tidur menghalau kawanan gajah lapar. Mereka masuk kebun sawit dan mengobrak-abrik pondok. Ratusan batang sawit muda dilumat nyaris tanpa sisa. Daun-daun berhamburan dan kotoran terlihat di mana-mana.

Sudah seminggu gajah-gajah itu berkeliaran dan memporak-porandakan kebun sawit warga di RT 07 Dusun III, Desa Sepintun Kecamatan Pauh, Sarolangun, Jambi.

“Rumah Lakoni hancur, kebun sawit Radiono, Sutres, Pak Sis, Mulkan habis dimakan gajah,” katanya, 10 Juli lalu.

Solikin was-was karena jejak gajah ditemukan hanya 30 meter dari pondok.

“Kami petani ini harus bagaimana, hidup dari hasil kebun, tapi kayak gini. Gajah itu katanya hewan dilindungi, kalau kami nekat nanti salah. Kami ini juga ingin hidup,” katanya.

Dia telah menghubungi BKSDA Jambi, tetapi diminta buat laporan dulu ke kantor desa. “Ini [kebun] kalau kami tinggal pergi, habis dimakan gajah.”

Mongabay coba menghubungi Kepala Resort Sarolangun Poltak Panjaitan, tetapi menolak komentar. “Ooo, kalau seperti ini silakan ke pimpinan saja ya pak,” jawabnya via pesan WhatsApp, 11 Juli lalu.

Udin Ikhwanuddin,  Kepala Seksi Wilayah I BKSDA Jambi, atasan Poltak tak merespons telepon dan pesan yang dikirim Mongabay.

Menurut Solikin, kerusakan kebun warga karena gajah kali ini terparah dalam 10 tahun terakhir.

“Tadi kami jalan lihat bekas sawit warga yang rusak, itu muter-muter sekitar dua  kilometer.”

 

Baca: CRU dan Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera

PT Lestari Asri Jaya ganti hutan untuk pohon karet. Foto: Walhi Jambi

 

Bukan hanya kebun sawit RT07 yang rusak, kata Marhoni, kebun warga RT06 juga ikut diobrak-abrik gajah.

“Padi empat karung habis, kebun karet habis,” katanya.

Sebelumnya, 31,6 hektar tanaman karet miliknya juga hancur. “Habis total, dipatahi.”

Marhoni bilang, konflik gajah di Sepintun, mulai marak sejak hutan di sekitar Sepintun yang jadi habitat gajah terbabat untuk perkebunan karet PT Alam Lestari Nusantara—anak usaha PTPN yang mendapatkan izin HTI Menteri Kehutanan seluas 10.785 hektar pada 2009.

Wilayah Sungai Semambu, Sungai Telisak, Sungai Meranti hingga Sungai Merentang, dahulu wilayah jelajah gajah sekarang menjadi konsesi ALN.

“Kalau dulu gak ada konflik. Ketemu gajah kalau cari jernang biasa saja. Masyarakat buka ladang nggak pernah gajah merusak, nggak pernah saling ganggu,” kata pria keturunan Suku Anak Dalam Marga Bathin Telisak itu.

Selain ALN, PT Agronusa Alam Sejahtera dan PT Samhutani yang mendapatkan izin HTI juga ikut menggerus wilayah jelajah gajah di Sarolangun. Mulai 2016, konflik gajah dengan masyarakat di RT05, 06, 07 dan RT09 Desa Sepintun meningkat.

“Yang merusak ini Haris samo Lanang (nama kedua gajah) karena sudah kenal sawit. Kalau gajah liar nggak berani,” kata Marhoni.

Pada 2017, BKSDA Jambi merelokasi Haris, gajah jantan dari Bukit Tigapuluh, Tebo ke Hutan Harapan, kawasan restorasi seluas 98.555 hektar di Jambi dan Sumatra Selatan yang dikelola PT Restorasi Ekosistem.

Hutan Harapan merupakan sisa hutan tropis dataran rendah di bagian selatan dan tengah Pulau Sumatera.

 

Baca juga: Gajah di Riau dalam Rimba Konsesi

Bangkai gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tanpa kepala
terlihat di areal perkebunan sawit plasma di Desa Tanjung, Kecamatan
VII Koto, Kabupaten Tebo, Jambi, Rabu (18/11/14). Foto: Andreas Sarwono/FKGI

 

Gajah jantan itu sengaja dilepaskan untuk perkembangbiakan lima gajah betina yang hidup di Hutan Harapan. Selang setahun, BKSDA kembali mereloksi Lanang, gajah jantan umur 30-an tahun ke Reki.

Era tahun 80an,  Hutan Harapan sewaktu masih jadi izin PT Asilog merupakan habibat gajah Sumatera jumlah diperkirakan lebih 100. Tetapi populasi gajah menyusut drastis setelah hutan yang luas itu dikapling-kapling untuk izin.

“Dulu jumlah lebih banyak dari di Tebo, sekarang tinggal kelompok si Jeni itu—lima betina—yang ditemukan hidup di Hutan Harapan,” kata Hefa Edison, penanggung jawab Kantor Pusat Informasi Konservasi Gajah di Tebo. Hefa sempat tugas di Hutan Harapan sekitar 1992-1996.

Berdasarkan data lembaga konservasi internasional International Union for Conservation of Nature. (IUCN), gajah Sumatera masuk dalam status kritis (Critically endangered).

Populasi gajah terus menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan kajian WWF-Indonesia, dalam kisaran 25 tahun, gajah Sumatera kehilangan sekitar 70% habitat, dan populasi menyusut lebih dari separuh. Estimasi populasi 2007 adalah antara 2.400–2.800 gajah, kini diperkirakan menurun jauh dari angka itu karena habitat terus menyusut dan pembunuhan terus terjadi.

Sekitar 2015, Mulkan, keturunan Suku Anak Dalam Bathin Telisak menemukan bangkai gajah di Hutan Harapan, sekitar 50 meter berbatasan dengan perkebunan karet ALN di Apdeling VIII, dekat anak Sungai Merentang, Sepintun, Sarolangun.

Setahun kemudian dia baru melaporkannya ke BKSDA Jambi. Dia takut dituduh membunuh gajah.

 

Apa penyebabnya? 

Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau yang pernah meneliti gajah di Sepintun mengatakan, saat ini hampir semua kantong-kantong satwa di Jambi tergerus konsesi dan perkebunan warga.

Konflik satwa di Sepintun,katanya, merupakan dampak dari pemerintah memberikan izin konsesi di habitat satwa.

Pemerintah, katanya,  perlu mengevaluasi semua izin perkebunan maupun hak guna usaha yang menjadi habitat satwa liar. “Itu harus dilakukan kalau pemerintah benar-benar ingin menyelamatkan satwa dilindungi yang sekarang makin terancam.”

 

 

Menyempit

Pulau Sumatera,  salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi gajah berkurang cepat. Penyusutan habitat satwa besar ini memaksa mereka masuk area penduduk hingga memicu konflik.

Sukmareni, Koordinator Devisi Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI)  Warsi mengatakan,  kalau komitmen pemerintah berikan perlindungan lingkungan di Jambi masih lemah. Banyak hutan alam dialihfungsikan demi kepentingan ekonomi.

Luas hutan Jambi pada 2012,  mencapai 1.159.559 hektar. Hampir setiap tahun Jambi kehilangan tutupan hutan. Dalam rentang waktu 2012-2016, Jambi kehilangan 189.125 hektar tutupan hutan.

Berdasarkan analisis citra satelit Sentinel II unit Geographic Information System KKI Warsi, luas tutupan hutan di Jambi pada 2017 mencapai 920.730 hektar. Pada 2019,  jadi 900.713 hektar dan 2020 menyusut jadi 882.272 hektar.

Pada 2022 luas sedikit bertambah jadi 912.947 hektar, seiring hutan  tumbuh di kawasan kelola masyarakat, seperti hutan desa dan sekitar taman nasional.

Kehilangan tutupan hutan ini, katanya,  karena konversi hutan alam menjadi konsesi perusahaan industri, pembukaan tambang, maupun perambahan. Kehilangan tutupan hutan juga terjadi di sebelah selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Tebo.

Tebo, katanya,  merupakan habitat gajah terbesar di Jambi, termasuk di konsesi PT Lestari Asri Jaya (LAJ), anak usaha Michelin Grup. Di sana ada puluhan gajah hidup liar di sekitaran Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Konflik gajah dengan masyarakat juga terjadi di konsesi LAJ.

LAJ, mendapatkan izin konsesi di selatan TNBT, rumah bagi satwa terancam punah. Dalam laporan berjudul “Last Chance to Save Bukit Tigapuluh” disebutkan, setidaknya ada 30 harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), 150 gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan 130 orangutan Sumatera (Pongo abelii) berbagi ruang hidup di sana.

Habitat hilang memicu konflik berkepanjangan antara gajah dengan masyarakat di kawasan penyangga ekosistem Bukit Tigapuluh. Selama 13 tahun terakhir, setidakya empat orang meninggal dunia akibat konflik. Selama 2021-2022, empat gajah mati di Desa Suo-suo dan Muara Kilis, diduga diracun.

Data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menunjukkan, sepanjang 2019 terjadi 277 konflik gajah dengan manusia. Pada 2020,  terdapat 275 kasus. Tahun 2021, konflik naik jadi 314 kasus.

Masyarakat di Tebo kerap meradang karena ladang dan kebun jadi bulan-bulanan gajah lapar. Alber Tetanus, Koordinator  FKGI Jambi mengatakan, konflik gajah tidak hanya di kebun masyarakat, juga di konsesi perusahaan dan perhutanan sosial.

“Mayoritas konflik terjadi di hutan produksi yang dibebani izin konsesi. Di LAJ paling banyak,” katanya.

Selama 10 tahun terakhir FKGI mencatat, setidaknya 700 gajah mati karena diracun, atau diburu untuk diambil gading. Pada 1985,  Indonesia masih memiliki 44 kantong gajah Sumatera. Pada 2007,  berkurang drastis tinggal 25 kantong gajah.

Dari jumlah itu, hanya 12 kantong populasi lebih 50 gajah. Salah satunya di ekosistem Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

 

Sumiarsih berdiri di sebelah pondoknya yang telah rata dengan tanah dihancurkan kawanan gajah. Foto: Yitno S/Mongabay Indonesia

 

Ishak, mantan Kepala Desa Pamayungan mengatakan, konflik gajah mulai marak sejak hutan di Tebo menyempit akibat pembukaan kebun masyarakat dan konsesi perusahaan. Sementara populasi gajah terus bertambah.

“Dulu, gajah main di hutan yang dibuka LAJ dan masyarakat pendatang.  Sekarang karet LAJ dan kebun warga banyak dimakan gajah.”

Awal November 2022, pondok Sumiarsih dan seorang pendeta di Muara Sekalo, porak-pranda setelah kawanAN gajah masuk kebun sawit.

Sebelumnya, pada 2018, kawanan gajah seminggu masuk Pemayungan dan menghancurkan banyak kebun karet masyarakat.  “Karet diklokopi—dimakan kulitnya—sawit dua hektar rusak, 60 batang habis dimakan,” kata Sugiatno.

“Pondok diorak-arik, hancur, garam, beras habis, gajah masuk puluhan.”

Pria 44 tahun itu bilang, gajah yang masuk kebun bukan gajah liar. “Yang sering masuk itu gajah dipasangi GPS (global positioning system). Kalau gajah liar kan ketemu orang lari, ini nggak, nyantai. Malah orangnya yang dikelilingi.”

Wilayah Pemayungan, Semambu, Muaro Sekalo, Suo-suo, Muara Kilis hingga Bukit Trintin merupakan jalur gajah. “Gajah itu muter-muter di situ sampai lima bulan,” kata Sugiatno.

Masyarakat yang tidak punya keahlian menghalau gajah kerap dibuat kerepotan. “Yang saro [susah] itu warga. Gajah itu kayak digiring [perusahaan] biar ngarah ke kebun warga,” ujar Teguh.

Belakangan masyarakat mulai banyak memasang kawat setrum untuk menghalau kawanan gajah. “Sekarang pakai setrum, agak kurang.”

Dampaknya jalur pergerakan gajah berubah. “Dulu gajah itu masih datang empat bulan sekali ke Pemayungan, sudah itu ngilang. Empat bulan lagi gajah naik lagi—masuk wilayah LAJ. Sekarang putus, karena sudah dipasang pagar listrik.”

“Sejak 2019 pergerakan gajah sampai ke konsesi Wanamukti Wisesa, tahun 2020 tidak sampai, cuma batas Pemayungan. Tahun 2022 tidak sampai Pemayungan,” kata Hefa, Kepala Resort Hebo.

 

Sumiarsih menunjukkan kebun sawit hancur dimakan kawanan gajah. Fotoi: Yitno S/ Mongabay Indonesia

 

Dia khawatir, jalur pergerakan gajah yang berubah akan memicu konflik di wilayah baru. “Karena gajah tidak mungkin masuk taman nasional, karena dataran tinggi. Larinya tetap ke kebun masyarakat.”

Hefa mengakui, mereka tidak sanggup kalau harus membendung kawanan gajah agar tidak masuk kebun masyarakat. “Tahun 2000 kita masih bisa nahan gajah tidak turun—ke lahan masyarakat—tapi hanya tiga tahun. Setelah itu kita tidak sanggup.”

Pada 2018, LAJ memplot lahan di kanan jalan koridor WKS seluas 9.700 hektar sebagai wilayah cinta alam (WCA) untuk kawasan konservasi dan habitat satwa liar. Di dalamnya sudah banyak kebun masyarakat, dan setiap tahun luas terus bertambah. Saat ini,  hanya 2.800 hektar yang kondisi masih berhutan.

“Untuknya [gajah] makan di WCA itu sudah tidak cukup. Jadi mau tak mau gajah turun ke kebun masyarakat.”

Dalam satu hari gajah dewasa rata-rata butuh minum 180 liter air dan pakan 150-250 kilogram, atau 10% dari bobot tubuh. Gajah betina dewasa bobot bisa 2,5 ton sampai dengan 2,7 ton. Gajah jantan bisa tiga ton. Gajah juga membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi setiap hari.

Karmila Parakkasi, Head of Sustainability PT Rolyal Lestari Utama, iduk LAJ mengaku, sejak 2018, LAJ memfasilitasi masyarakat di WCA dengan pelatihan mitigasi konflik gajah. Ada 135 orang ikut pelatihan termasuk Orang Rimba atau Suku Anak Dalam.

Dia mengklaim, pelatihan menunjukkan dampak positif.

“Tahun 2021, luas tanaman rusak mencapai 29,25 hektar. Tahun 2022 hanya 6,75 hektar, atau berkurang 77%,” katanya.

Ancaman kehidupan gajah sumatera selalu ada, meski statusnya sebagai satwa liar dilindungi. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version