Mongabay.co.id

Penelitian: Kehidupan Prasejarah Orang Papua Bisa Terjadi Tanpa Kontak Langsung dengan Bangsa Austronesia

Buah merah papua, sebagaimana namanya merupakan tanaman endemik Papua. Foto: Shutterstock

 

 

Sebuah penelitian terbaru tentang kehidupan prasejarah mengungkapkan bahwa bahasa dan artefak atau tinggalan arkeologi dapat menyebar tanpa memerlukan migrasi manusia. Penelitian tersebut dilakukan di tanah Papua dan dimungkinkan terjadi karena adanya pertemuan dua budaya yakni antara Austronesia dan Australo-Papua.

Sebagaimana diketahui, bangsa atau penutur bahasa Austronesia adalah salah satu nenek moyang yang mendominasi Indonesia. Bangsa Austronesia adalah sekumpulan etnis yang tersebar mulai dari Asia Tenggara hingga ke Afrika seperti Madagaskar. Sedangkan Australo-Papua [sebutan lainnya Australomelanesid], disebut sebagai nenek moyang orang Papua, yang ciri-cirinya terdapat di Maluku, Nusa Tenggara dan juga Papua.

Baca: Dari Manakah Nenek Moyang Orang Papua Berasal?

 

Buah merah papua, sebagaimana namanya merupakan tanaman endemik Papua. Foto: Shutterstock

 

Penelitian yang diterbitkan di jurnal internasional Elsevier tahun 2023 itu berjudul “Distribution of Austronesian languages and archaeology in Western New Guinea, Indonesia” ditulis oleh Erlin Novita Idje Djami, dari Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN dan Hari Suroto dari Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN.

Dalam beberapa penelitian, pengaruh budaya Austronesia banyak mendominasi Papua yang dapat dilihat pada persebaran situs purbakala. Namun dalam penelitian kali ini, Erlin dan Hari menjelaskan bahwa terdapat salah satu model penyebaran unsur-unsur budaya Austronesia yang diperkenalkan dan diserap ke dalam budaya Australo-Papua, tanpa ada kontak langsung atau tanpa melalui migrasi.

Proses dengan kontak tidak langsung ini bisa ditemukan di daerah dataran tinggi atau saat ini disebut wilayah Pegunungan Papua.

Proses kontak tidak langsung dapat ditemukan melalui bahasa, karena penyebaran bahasa tidak selalu berlangsung satu arah, melainkan bisa saja terjadi dalam arah berlawanan atau berbagai arah pada waktu yang berbeda.

Sementara, untuk peninggalan arkeologi dapat ditelusuri melalui unsur budaya. Namun, menurut penelitian ini, tidak semua elemen budaya Austronesia bertahan selama proses migrasi. Beberapa elemen budaya hilang ketika harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat.

Baca: Sejak Tiga Ribu Tahun Lalu, Sudah Ada Jejak Peradaban di Danau Sentani

 

Mengunyah pinang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Papua. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Erlin dan Hari menulis, saat mereka pindah ke sebelah timur daerah Wallacea, penanaman sereal dan jenis padi-padian ternyata tidak cocok untuk lingkungan. Mereka lebih bergantung pada umbi-umbian, talas, buah-buahan, dan mungkin sagu.

Tidak semua unsur budaya Austronesia merupakan hal baru bagi penduduk Australo-Papua yang mendiami Pulau New Guinea selama ribuan tahun, sebelum kedatangan penutur Austronesia.

“Orang-orang Australo-Papua sudah sangat berkembang. Mereka sudah mengenal pertanian awal prasejarah di pegunungan Papua, saat manusia prasejarah di Indonesia bagian barat masih hidup berburu dan meramu,” kata Hari Suroto saat dimintai penjelasan Mongabay, Minggu, 23 Juli 2023.

Dalam penelitian tersebut, keduanya menulis bahwa hubungan yang begitu kompleks antara catatan genetik, bahasa, dan arkeologi ternyata telah terjadi di Nugini Barat yang kini menjadi bagian wilayah Indonesia.

Situasi tersebut, umumnya terkait interaksi rumit antara masyarakat Australo-Papua yang awalnya mendiami wilayah ini, serta penduduk Mongoloid yang berbicara bahasa Austronesia yang kemudian bermigrasi ke wilayah ini pula.

Kedatangan dan interaksi penutur bahasa Austronesia dengan penduduk Australo-Papua sebelumnya menghasilkan pertukaran budaya. Penutur bahasa Austronesia membawa unsur budaya mereka yang cukup berbeda dengan penduduk sebelumnya.

Unsur budaya paling khas yang tidak ada dalam budaya Australo-Papua adalah tembikar, bangunan megalitik, kapak segi empat, mengunyah pinang, hingga hewan peliharaan seperti anjing, babi, dan ayam.

Baca: Ikan Kaca, Ikan Aneh yang Hanya Ditemukan di Papua dan Australia

 

Ikan Kaca, Ikan Aneh yang Hanya Ditemukan di Papua dan Australia. Foto: Hari Suroto/BRIN

 

Keterkaitan dengan Australia

Seperti diketahui, dari sudut pandang flora dan fauna, banyak yang mengetahui bahwa Papua juga memiliki kemiripan dengan benua Australia dan bisa diamati sampai dengan saat ini.

Menurut Hari, leluhur orang Papua dan juga Australia memiliki interaksi pada masa Pleistosen akhir, saat laut berada pada tingkat terendah. Mereka melintasi samudera menuju New Guinea dan Australia menggunakan sampan atau rakit.

“Mereka melakukan penjelajahan ke berbagai pulau lain seperti Maluku, hingga mencapai Pulau Manus di Kepulauan Bismarck dan mencapai Pulau Buka di Solomon Utara.”

Dijelaskannya lagi, fluktuasi permukaan laut secara potensial mempunyai arti penting bagi prasejarah, karena permukaan yang rendah membuat pulau-pulau lebih besar dan cenderung menghasilkan jembatan darat.

Penyeberangan laut yang lebih pendek menjadi penting, khususnya untuk proses penghunian pertama di New Guinea dan ini mungkin berhubungan dengan salah satu permukaan rendah pada 35.000 tahun lalu atau sebelumnya.

“Pada suatu masa, terdapat satu benua yang disebut Terra Australia meliputi Australia, Tasmania, New Guinea, dan Kepulauan Aru. Bagian ini disebut berada pada kerak bumi atau Lempengan Sahul. Binatang-binatang yang hidup di keempat lokasi bio-geografi ini memiliki persamaaan,” ungkapnya.

Baca juga: Jadi Bagian Budaya, Orang Papua Konsumsi Sagu Sejak 50 Ribu Tahun Lalu

 

Hari Suroto, peneliti Balai Arkeologi Papua saat sedang melakukan survei permukaan tanah di situs prasejarah Kampung Ayapo, Distrik Sentani Timur. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Hubungan daratan ini memungkinkan binatang-binatang dari daratan New Guinea berpencar di Australia, demikian sebaliknya dari Australia ke New Guinea. Oleh karena itu, penyebaran flora dan fauna di kedua wilayah ini menyokong data yang diperoleh dari peta-peta bawah laut dan memberi sebuah gagasan yang bagus tentang asal usul geografis.

“Bukti fosil yang mendukung bersatunya daratan New Guinea dan Australia pada saat Pleistosen adalah ditemukannya fosil vertebrata berupa mandibula atau rahang bawah kanguru [Zygomaturus nimboraensis] di Desa Nimboran, Kabupaten Jayapura,” papar Hari.

 

Exit mobile version