Mongabay.co.id

Harapan dan Masa Depan Dunia kepada Mangrove

 

Hari mangrove se-dunia baru saja dirayakan secara internasional pada Rabu (26/7/2023). Peringatan tersebut menjadi penanda sekaligus penegas bahwa tumbuhan yang membentuk ekosistem di pesisir itu menjadi bagian dari kehidupan alam yang sangat penting.

Ekosistem mangrove mempunyai berbagai fungsi ekologi seperti sebagai habitat satwa laut misalnya ikan, udang dan kepiting, sebagai penahan abrasi dan gelombang tsunami dan sebagai tempat wisata.

Pohon mangrove dapat dimanfaatkan bagian-bagiannya, misalnya untuk dijadikan bahan baku kosmetik/farmasi atau bahan tambahan tekstil.

Namun, dari semua itu, yang paling sangat diharapkan bisa dimanfaatkan dengan baik adalah potensi karbon biru. Saat ini, hutan mangrove menjadi bagian dari harapan tersebut bersama dengan padang lamun.

Belum lama ini, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) merilis laporan tentang ekosistem karbon biru (EKB) yang diyakini bisa menjadi solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Laporan tersebut menjelaskan bahwa Indonesia memiliki 17 persen cadangan karbon biru dunia.

IOJI menyebutkan kalau EKB menyimpan potensi yang signifikan dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. EKB berpotensi besar menyerap dan menyimpan karbon yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

baca : Meluruskan Kembali Konsep Ekonomi Biru di Indonesia

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

IOJI menjelaskan kalau EKB meliputi ekosistem hutan mangrove, padang lamun (seagrass), dan rawa air payau/rawa air asin (salt marshes). Semua ekosistem tersebut berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestration and storage).

Saat ini, luasan mangrove di Indonesia mencapai 3.364.076 hektare dan padang lamun mencapai 293.464 ha. Khusus mangrove, nilai jasa ekosistem per kabupaten di seluruh Indonesia sudah mencapai valuasi USD2 juta hingga USD50 juta dalam jangka waktu 30 tahun.

Meski potensinya sangat besar di Indonesia, IOJI menyebut kalau EKB saat ini kondisinya sudah lama terancam oleh tekanan antropogenik atau diakibatkan kegiatan yang dilakukan oleh manusia.

Sebut saja, kegiatan budi daya perikanan, pembabatan pohon mangrove, pertanian, pembangunan pesisir, polusi, dan penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan/merusak. Semua itu bisa menekan dan mengancam kesehatan EKB.

Ancaman seperti yang melatarbelakangi KKP mengeluarkan desakan kepada dunia internasional untuk bisa bersama dan aktif melakukan perlindungan EKB. Upaya tersebut juga menjadi bagian dari aksi mitigasi dan mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional secara global.

Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf belum lama ini menjelaskan disuarakannya desakan kepada dunia internasional untuk perlindungan EKB karena menjadi bagian penting untuk pelaksanan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Dia menyebut, langkah utama untuk memastikan EKB mendapatkan perlindungan dengan baik dan dikelola secara berkelanjutan, adalah dengan mengalokasikan ruangnya dalam rencana tata ruang laut.

Terlebih, karena mangrove dan lamun merupakan EKB terbesar di Indonesia sampai saat ini. Bahkan tak hanya berperan penting untuk penyerapan karbon dioksida (CO2), mangrove dan lamun juga sangat bermanfaat mendukung keanekaragaman hayati pesisir dan kesejahteraan masyarakat.

baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Asia Tenggara

 

Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto : shutterstock

 

Akan tetapi, berbeda dengan mangrove yang sudah banyak dilakukan penelitian dan pengembangan, perkembangan lamun tidak secepat yang diharapkan banyak pihak. Karena itu Indonesia sedang melakukan pemetaan ulang ekosistem lamun, dan mendorong diperbanyak kegiatan penelitian sebagai dasar bagi penghitungan kondisi Gas Rumah Kaca.

“Indonesia percaya bahwa pengurangan emisi Gas Rumah Kaca dari lamun bisa berkontribusi pada target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia berikutnya,” tuturnya.

Selain dari EKB yang memiliki potensi besar untuk perubahan iklim, upaya aksi iklim laut juga dilakukan Indonesia melalui kebijakan dan strategi ekonomi biru yang saat ini sudah berjalan. Beberapa yang sudah disiapkan, adalah penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan pengembangan perikanan budi daya di laut, pesisir, dan darat yang berkelanjutan.

Tegasnya, Indonesia mendorong para pihak untuk berpikir secara global dan bertindak secara lokal, serta menerjemahkan aksi iklim laut secara sederhana. Dengan demikian, sekecil apa pun bentuknya akan bisa diterapkan oleh masyarakat kecil.

 

Nilai Ekonomi Karbon

Menyadari bahwa EKB bagian penting dari kehidupan dunia, Indonesia ingin pemanfaatannya bisa berjalan lebih baik lagi. Dengan demikian, tak hanya dari sisi ekologi saja bisa membantu dampak perubahan iklim, namun juga dari sisi ekonomi bisa ikut berkontribusi.

Langkah tersebut dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Koordinasi Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dia membahas kebijakan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) bersama Inggris.

Kedua negara sepakat untuk menandatangani Pengaturan Pelaksanaan Program Penetapan Harga Karbon UK Partnering for Accelerated Climate Transitions (IA on UK-PACT) di Jakarta, Senin (24/07/2023). Inggris terlibat, karena mereka bersedia mengucurkan dana sebesar £2,7 juta mendukung pengembangan dan koordinasi kebijakan nilai ekonomi karbon di Indonesia.

Luhut menyebut, Indonesia berencana meluncurkan perdagangan karbon pada September 2023. Rencana tersebut menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan mencapai emisi net-zero pada 2060 atau lebih cepat.

baca juga : Peran Ekosistem Karbon Biru dalam FoLU Net Sink 2030

 

Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan dalam acara penandatanganan kesepakatan Pengaturan Pelaksanaan Program Penetapan Harga Karbon UK Partnering for Accelerated Climate Transitions (IA on UK-PACT) di Jakarta, Senin (24/07/2023). Foto : Kemenko Marves

 

Sedangkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar belum lama ini mengungkapkan bahwa untuk menurunkan emisi GRK di Indonesia, sumber paling dominan akan berasal dari forestry and other land uses (FoLU) dan ditargetkan bisa menurunkan minimal 60 persen dari total target penurunan emisi.

Agar target itu bisa dicapai pada 2030 nanti, maka salah satu ekosistem yang diharapkan bisa berkontribusi besar adalah EKB yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kajian EKB disusun dengan mengintegrasikan ekosistem laut yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, estuaria atau rawa air payau/rawa air asin, dan terumbu karang.

Semuanya, diyakini memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

EKB juga diketahui memegang peran signifikan untuk adaptasi perubahan iklim terutama bagi masyarakat pesisir yang ruang hidup dan penghidupannya berpotensi terdampak oleh climate-related coastal risks, seperti cuaca ekstrem, badai, erosi, banjir dan sebagainya.

Namun demikian, Siti Nurbaya Bakar mengatakan kalau pengembangan EKB tak hanya mutlak dilakukan pada sektor kelautan dan perikanan saja. Melainkan juga, pada ekosistem lahan basah seperti mangrove dan gambut tropis.

perlu dibaca : Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional

 

Mangrove yang berada pesisir Padang Tikar ini harus dijaga ekosistemnya. Foto: Putri Hadrian

 

Agar semua potensi EKB bisa bermanfaat banyak untuk adaptasi perubahan iklim, maka diperlukan perencanaan ruang wilayah dengan prinsip konservasi, dan pembangunan berbasis kepulauan serta berbasis masyarakat.

Kemudian, melaksanakan penataan pengembangan wilayah dengan identifikasi key problems, penataran ruang, cluster pengembangan, dan daya dukung berbasis sumber daya. Selanjutnya, pengembangan ekonomi dan sosial-budaya dengan rencana wilayah dan penggunaan lahan.

“Keempat, pembangunan infrastruktur atas dasar manfaat sosial ekonomi, sarana transportasi dan komunikasi serta fasilitasi pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan,” pungkas dia.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manoppo menjelaskan, potensi penyerapan karbon di ekosistem pesisir Indonesia diperkirakan total bisa mencapai 3,4 gigaton (GT).

“Jumlah yang sangat besar ini kira-kira sebesar 17 persen dari total karbon biru dunia,” sebut dia.

Dengan total 3.364.076 ha hutan mangrove, karbon yang bisa diserap diperkirakan mencapai 11 miliar ton dengan nilai perkiraan moneter sebesar USD66 miliar. Sementara, dengan luas padang lamun sekarang, diperkirakan bisa menyerap karbon hingga 790 juta ton, dan nilai moneter sebesar USD35 miliar.

baca juga : Awal Pendanaan Biru Semakin Dekat

 

Nelayan mencari ikan di Sungai Lalan yang berbatasan dengan TN Sembilang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Saat mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil, KKP melakukan penguatan regulasi perlindungan kawasan cadangan karbon biru, pengalokasian ruang untuk mempertahankan atau meningkatkan cadangan karbon biru, dan peningkatan kualitas kawasan cadangan karbon biru.

“Serta penguatan sinergi pengelolaan karbon biru di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” tambahnya.

Di luar itu, peningkatan kontribusi karbon biru juga kini tengah menghadapi tantangan yang cukup pelik. Misalnya, ketersediaan data yang valid, metodologi yang diakui, serta perlunya dukungan berbagai pihak dalam penyusunan kerangka ekonomi, pembiayaan dan tata kelola karbon biru.

 

 

Exit mobile version