Mongabay.co.id

Ketika Industri Nikel Rusak Pesisir Bantaeng

 

 

 

Laut merah di sepanjang pesisir pantai. Cerobong pabrik tak henti mengeluarkan asap. Itulah pemandangan saat melintasi pabrik nikel di Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Pabrik smelter itu berada di Kawasan Industri  Bantaeng (KIBA). KIBA  gembar-gembor jadi industri strategis nyatanya memberikan gambaran yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh warga. Sampai 2023,  rencana ada lima pabrik smelter beroperasi dengan target produksi 320.000 ton pertahun.

Pemerintah Bantaeng menghadapi tafsir saling bertabrakan dalam mega proyek nikel di Kecamatan Pa’jukukang. Kebijakan pemerintah daerah dengan alasan untuk membangun pertumbuhan ekonomi nasional. Dalihnya,  agar lahan ‘kritis’ produktif. Faktanya, berujung ketidakadilan kepada masyarakat sekitar.

KIBA mulai dengan pembentukan Perda Bantaeng Nomor 2/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Bantaeng 2012-2032. Kecamatan Pa’jukukang didaulat sebagai kawasan industri besar dengan luas wilayah 3.128 hektar.

KIBA juga sebagai proyek strategis nasional (PSN) melalui Permenko 9/2022 tentang Perubahan Permenko 7/2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Data Dinas Penanaman Modal dan PTSP Bantaeng rentang 2010-2017,  tercatat 13 perusahaan dengan berbagai bidang usaha.

Aktivitas industri pemurnian ore nikel menjadi feronikel di Bantaeng oleh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia di dalam KIBA mengakibatkan perubahan pengelolaan potensi pesisir-laut yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.

PT Bantaeng Sinergi Cemerlang, Perseroda Bantaeng yang memprakarsai dengan pendapatan dari operasional dan sewa lahan. Pada 2021,  perseroda ini mengantongi keuntungan 1,72 miliar.

Dari semua jenis industri di KIBA, nikel menjadi sektor terbesar yang beroperasi. Total lokasi industri yang dalam sub zona industri dan logam dasar mencapai 1.358,25 hektar dari luasan 3.128 hektar.

PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia (HNI) merupakan perusahaan pengolahan dan pemurnian nikel yang beroperasi di KIBA seluas 100 hektar. Kapasitas tanur atau tungku besar HNI untuk tahap pertama sebanyak 16.500 KVA dengan investasi mencapai US$80 juta.

Untuk kapasitas tanur tahap dua sebanyak 36.000 KVA dengan investasi US$160 juta. Sebagian besar feronikel yang dihasilkan diekspor ke Tiongkok.

Walhi Sulawesi Selatan, dalam beberapa kesempatan telah menyampaikan dampak buruk dampak operasi industri nikel di KIBA.

“Sudah banyak warga yang mengeluh sejak ada pabrik, yang paling parah ada pada pencemaran udara pabrik yang mengakibatkan masalah kesehatan serius dan air limbah yang masuk ke laut melalui sungai kecil,” kata Kottir,  Kepala Departemen Eksternal Walhi Sulsel,  April lalu.

 

Dinding pembatas antara pemukiman warga dan KIBA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Lahan tani dan laut tercemar

Walhi Sulsel monitoring berkala dampak pencemaran air laut oleh HNI.  Kottir bilang, dampak yang dirasakan masyarakat dibagi berdasarkan jenis pekerjaan, terdiri dari nelayan, pembudidaya rumput laut, pembuat batu bata dan masyarakat umum.

Berdasarkan pemantauan Walhi Sulsel di pesisir Desa Baruga dan Papanloe, nelayan merasakan dampak sangat signifikan. Nelayan kehilangan ruang atas rumpong (wilayah tangkap).

“Keberadaan jetty untuk bongkar muat mengganggu fungsi ekologis perairan sekitar, ditambah pencemaran dari aktivitas bongkar muat batubara dan ore nikel kerap mengalami tumpah, hingga oli kapal yang dibuang begitu saja di area jetty,” katanya.

Bagi masyarakat pesisir Bantaeng, laut menjadi sumber pencarian utama. Nelayan dan bertani rumput laut mendominasi sektor pekerjaan. Sebelum ada KIBA, warga biasa mendapat penghasilan minimal Rp9 juta sekali panen rumput laut.

Sejak 2017,  saat KIBA mulai beroperasi dan ada pelabuhan, penghasilan rumput laut jauh berkurang. Warga biasa dalam satu bentangan tali hasilkan tujuh  kilogram, kini hanya bisa 4-5 kilogram.

Rahman, petani cerita kalau rumput laut jadi putih ketika air keruh. Kondisi makin parah sejak ada pabrik smelter di kampung mereka. Aktivitas kapal pun kerap merusak rumput laut. Kalau hujan, air laut langsung merah. Petani pun alami kerugian karena terkena rumput laut mereka.

Belum lagi kapal tongkang pengangkut bahan baku oro nikel terus terusan menjatuhkan material ke laut hingga AIR keruh dan berlumpur.

Sering kali warga mendapatkan tali rumput laut rusak karena lalu lintas kapal yang menabrak wilayah tanam warga. Tidak cukup sampai disitu, air tawar yang dibuang ke pesisir laut menyebabkan rumput laut mati.

Kalau air tawar mengenai rumput laut, rumput laut memutih atau mati.

Situasinya tidak jauh berbeda dengan kondisi nelayan pesisir Bantaeng. Di Desa Baruga. Nelayan memiliki lima wilayah tangkap utama yang mereka sebut dengan Rompong 1, Rompong 2, Rompong 3, Rompong 4 dan Laikang.

Air yang keluar dari dalam pabrik HNI membawa larutan material ore nikel ke laut, membawa perubahan warna laut. Air laut yang biru berubah jadi coklat kemerahan. Kondisi ini jelas mempengaruhi kualitas air dan hasil tangkap nelayan.

Sejak turun-temurun mereka menangkap di sana. Lanra’ atau jaring dalam bahasa lokal jadi alat tangkap nelayan. Warga biasa memasang lanra’ kisaran pukul 10.00-12.00,  lalu mengecek kembali hasil sore hari.

Aktivitas kapal di pelabuhan menyebabkan perubahan hasil tangkapan nelayan nelayan. Hingga 2023, sekitar 12 kapal lalu lalang di pelabuhan tiap hari. Jalur kapal merupakan wilayah tangkap nelayan yang memasang lanra’.

Kondisi ini membuat warga harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menangkap lebih jauh di luar dari biasa.

 

Sumur warga yang mengering di sekitar KIBA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Krisis air. bersih

Nelangsa masyarakat pesisir di sekitar KIBA belum usai. Air yang menjadi kebutuhan esensial warga juga terenggut.

Bagi warga yang jadi bantilang atau pembuat batu bata, air merupakan bahan baku. Sumur-sumur warga kering menyebabkan beberapa usaha bantilang gulung tikar.

Dari pengamatan, dalam tiga tahun terakhir banyak warga sudah tidak melakukan bantilang.

Sumur, bagi warga untuk beragam kegunaan. Dari penuli keperluan sehari-hari seperti mencuci, mandi, jamban, menyiram tanaman juga pakai untuk membuat batu bata.

“Tidak pernah kering seperti ini. Sekarang kalau mau dapat air harus pakai sumur bor minimal 50 meter,” kata Sumardi, warga Desa Papanloe, perajin bantilang.

Rata-rata sumur di Desa Papanloe dengan kedalaman 20-25 meter dan digunakan selama 20-40 tahun. Kini warga kesulitan mendapatkan air bersih. Bagi yang memiliki modal, akan menggali sumur lebih dalam sampai 50 meter.

Sejak 2021, HNI menyalurkan air bersih di Desa Papanloe melalui program corporate social responsibility (CSR). Namun air yang dibagikan sangat terbatas hingga menimbulkan konflik baru. Pertengkaran antar warga untuk mendapatkan air tak jarang terjadi.

Alih-alih meningkatkan ekonomi, kehadiran KIBA bagi warga bak mimpi buruk.

 

 

*Penulis: Nurul Fadli Gaffar, Muhammad Riszky dan Abdul Rafi Syafaat, merupakan juara III  Lomba Artikel Hari Anti Tambang kolaborasi antara  Jaringan Advokasi Tambang, Indonesia.id dan Mongabay Indonesia.

 

Nikel mentah di KIBA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version