Mongabay.co.id

Revisi RTRW Kalimantan Timur Sarat Kepentingan Pebisnis?

 

 

 

 

 

Revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang sedang berlangsung di berbagai daerah, seperti di Kalimantan Timur,  perlu mendapatkan pengawalan agar tak hannya menguntungkan oligarki. Analisis Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau menemukan,  156 izin konsesi perusahaan diduga diuntungkan oleh revisi ini.

Revisi RTRW atau RTRW Perubahan (RTRWP) Kaltim ini sebenarnya sudah disetujui menjadi Peraturan Daerah (Perda) akhir Maret lalu. Namun, koalisi menyebut tim terpadu yang dibentuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru melakukan harmonisasi data dan pengecekan kelayakan setelah itu.

Tidak hanya itu, koalisi yang teridiri dari Walhi, Yayasan Auriga Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Forest Watch Indonesia (FWI), Walhi Kalimantan Timur dan AMAN Kalimantan Timur ini mencatat ada upaya pelepasan kawasan hutan hingga 612.355 hektar dalam RTRWP Kaltim. Seluas 101.788 hektar lainnya merupakan penurunan kawasan hutan.

Total seluas 736.000 hektar atau 97% kawasan dalam revisi RTRW provinsi yang jadi tuan rumah Ibu Kota Nusantara ini akan berdampak pada kawasan hutan.

“Sekitar 56% atau 408.255 hektar masih berupa hutan alam,” kata Hilman Afif,  peneliti dan Juru Kampanye Auriga Nusantara dalam media briefing yang dihelat di Jakarta, baru-baru ini.

Dalam setiap lahan yang masuk dalam setiap usulan revisi, katanya, sudah ada beberapa pemegang izin. 156 perusahaan pemegang izin terdiri dari 39 hutan tanaman industri, 101 pertambangan, dan 16 perusahaan sawit.

Pertambangan menjadi sektor yang paling diuntungkan. Selain mendominasi dari izin yang sudah ada, penurunan kawasan hutan lindung menjadi produksi dalam RTRWP diduga bertujuan mengakomodir sektor ini.

Dari catatan koalisi, 101 IUP pertambangan ini mencaplok 164.429 hektar dengan 106.782 hektar diusulkan untuk pelepasan status kawasan hutan dan 56.395 hektar merupakan hutan lindung diusulkan menjadi hutan produksi terbetas. Dari hasil analisis spasial Auriga, hutan lindung yang dicaplok merupakan hutan pendidikan Universitas Mulawarman.

Parahnya, belum rampung RTRWP, sudah ada pembukaan tepat di poligon perubahan kawasan hutan yang diusulkan. Lokasinya berada di dekat dua perusahaan tambang, PT Nusantara Kaltim Coal (NKC) dan PT Batubara Nusantara Kaltim (BNK) di Desa Long Nyelong, Kutai Timur.

Dalam periode Februari-April terdapat pembukaan sebesar 800 hektar. “Kalau dari pola tebang, ini sepertinya (dilakukan) HTI. Karena di sini ada tambang, kita asumsikan sementara (perubahan kawasan) untuk tambang,” kata Hilman.

Perubahan kawasan untuk pertambangan lewat RTRWP menjadi hal krusial bagi sektor ini, terutama kalau perusahaan tambang hanya memiliki IUP tetapi tidak izin prinsip. Pembukaan tambang di kawasan hutan hanya bisa mereka lakukan kalau ada izin pelepasan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan.

Sedang NPK dan BNK tidak memiliki izin itu. Jadi, pelepasan kawasan hutan lewat RTRWP diduga menjadi salah satu modus untuk penambangan tanpa harus mengurus izin prinsip.

Selain itu, menurunkan status kawasan hutan lindung dalam RTRWP juga diduga untuk memperkecil biaya dari aktivitas tambang. Hal ini disampaikan ketika koalisi melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR 12 Juli lalu.

Underground mining sangat tinggi biayanya. Maka kalau mau open mining, ia harus diturunkan status ke kawasan hutan produksi. Ditengarai (usulan) itu untuk bisa beraktivitas menambang di situ,” kata Dedy Sukmara, Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara dalam paparannya.

Hal ini diperkuat kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kajian itu menyatakan,  underground mining memerlukan modal dan operasional empat kali lebih besar ketimbang tambang terbuka.

 

Emas hitam batubara. Foto: Hendar

 

 

Selain pertambangan, bisnis sawit juga diduga menjadi paling diuntungkan lewat RTRWP ini. Pasalnya, koalisi menemukan sekitar 3.824 hektar kawasan yang diusulkan sudah berupa hamparan sawit.

“Ini benar-benar mengakali. Karena itu di kawasan hutan semua. Baik cagar alam dan hutan lindung, tidak ada di APL (area penggunaan lain),” kata Hilman.

Sekitar 16 perusahaan sawit yang beroperasi di dalam kawasan ini tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Dia menduga revisi ini sebagai cara lain untuk pemutihan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan selain melalui skema Pasal 110 A dan 110 B Undang-undang Cipta Kerja.

Pemutihan lewat RTRW ini, katanya, jelas menguntungkan perusahaan karena mereka tidak harus membayar denda administrasi sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja.

“Yang kita mau penegakan hukum. Mereka ini adalah pihak yang bersalah karena beraktivitas di dalam kawasan hutan,” kata Hilman.

Dugaan menguntungkan sektor sawit juga terungkap saat Koalisi rapat dengar pendapat dengan DPR. Salah satu yang mengindikasikan, 98% usulan pelepasan kawasan hutan dari 138,021 hektar berada di kawasan hutan tanaman industri.

Dedy menyebut,  kalau perusahaan dengan hak penguasaan hutan (HPH) atau HTI tak melepas kawasan hutan. Pasalnya, kewajiban mereka adalah menghutankan kembali kawasan dengan hutan tanaman.

Analisis lebih detail memang belum dilakukan, katanya, tetapi ada indikasi kondisi lahan yang dilepas sudah bukan tanaman industri.

“Analisis sudah berjalan. Sebagian besar (lahan yang dilepas) itu land clearing untuk tahun ini. Jadi, ‘pemutihan’ bisa jadi merupakan kalimat paling pas,” kata Dedy.

 

Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus morio) . Foto: Yayasan BOS

 

 

Korbankan masyarakat dan keragamanhayati

Kepentingan masyarakat dan konservasi dalam RTRWP Kalimantan Timur dinilai minim. Koalisi menemukan,  hanya 13% atau 94.404 hektar tanah objek reforma agraria dan peta indikatif area perhutanan sosial terakomodir dalam RTRWP.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat,  masih ada lebih 300 desa yang diklaim masuk dalam kawasan hutan tetapi luput untuk diselesaikan dalam RTRWP ini.

Ketimpangan penguasaan lahan di Kaltim pun masih tinggi. Dari data sensus pertanian, KPA menemukan penguasaan lahan oleh petani yang menguasai 0,5 hektar hingga 2,9 hektar hanya 180.000 hektar.

“Sementara lahan untuk perkebunan, tambang dan HTI bisa sampai 11,6 juta hektar,” ucap Junarcia Molisna Naibaho dari Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA.

Dia mempertanyakan, keberpihkan Kalimantan Timur terhadap masyarakat. Dalam lima tahun terakhir, KPA mencatat ada 40 letusan konflik agraria di provinsi ini.

Penyelesaian reforma agraria di Kaltim cenderung lambat. Hanya 119,4 hektar pelepasan klaim kawasan hutan yang bisa terealisasi untuk masyarakat selama lebih delapan tahun.

Dibanding masyarakat, katanya, perusahaan sudah terlalu banyak menerima keistimewaan.  RTRWP Kaltim makin memperkuat ini karena beberapa perusahaan yang difasilitasi dalam RTRW melakukan perampasan tanah selama enam tahun terakhir.

Belum lagi, katanya, revisi ini makin mengancam keberagaman hayati satwa kunci seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Berdasarkan catatan koalisi, 64% atau 467.792 hektar total usulan RTRWP merupakan habitat orangutan.

Sedang kondisi badak Sumatera lebih mengenaskan. Sekitar 100% atau sekitar 78.712 hektar habitat tersisa di Kaltim masuk usulan RTRWP.

Timer Manurung, Ketua Yayasa Auriga Nusantara dalam RDPU dengan DPR menyebut konservasionis di Kalimantan Timur tengah mengusulkan kawasan ini jadi suaka margasatwa. Hal ini dilakukan karena kawasan ini merupakan satu-satunya habitat badak Sumatera di Kalimantan.

“Kalau kita biarkan ini jadi tambang semua, kita sama saja dengan memunahkan badak Sumatera di Kalimantan,” katanya.

 

Badak Sumatera di Kalimantan habitat makin terjepit kalau  revisi RTRW makin mempersempit kawasan hutan. Foto: Hendar

 

Dikutip dari Kaltimpos, Gubernur Kaltim, Isran Noor, menepis dugaan pelepasan kawasan hutan dalam RTRW. Sebaliknya dia klaim, revisi RTRW justru meningkatkan status kawasan hutan yang sebelumnya tak dilindungi dalam perda sebelumnya.

Penetapan RTRW Kaltim untuk 20 tahun ke depan itupun, katanya, tak akan mengancam atau menggusur ekosistem spesies langka di provinsi ini. “Enggak akan ada ancaman.”

Dia bilang, kebanyakan orangutan Kalimantan yang di BOSF Samboja, Kutai Kartanegara, sudah relokasi ke Gruti (Kutai Timur. Dia pun bilang,  pembahasan revisi Perda RTRW Kaltim ini melalui tahapan panjang mulai 2020 melalui peninjauan kembali RTRW Kaltim dengan mempertimbangkan perubahan peraturan perundang-undangan, kebijakan skala nasional, serta tuntutan pembangunan berkelanjutan.

Dalam Perda RTRW Kaltim 2023–2042,  katanya, memuat beberapa hal yang disesuaikan antara lain, usulan masyarakat dan kepentingan untuk pemanfaatan ruang di Kaltim.

Aji Muhammad Fitra Firnanda,  Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Perumahan Rakyat (DPUPR-Pera) Kaltim pun menjawab galau soal pertambangan diuntungkan dalam revisi RTRW itu.

Enggak ada itu, tambang dan segala macam. Tambang itu tetap ada, diperlukan dalam hal pembangunan ekonomi kita,” katanya.

Revisi RTRW Kaltim ini, katanya,  untuk menyesuaikan kondisi saat ini. Terutama mengintegrasikan ruang darat yang diatur dalam RTRW dengan ruang laut yang diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kaltim.Integrasi ini tidak diatur dalam Perda RTRW Kaltim sebelumnya. Termasuk RTRW Ibu Kota Nusantara (IKN) yang mencakup sebagian wilayah Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar).

“Memang sudah saatnya direvisi untuk perbaikan kualitas RTRW kita. Di dalamnya pun sudah diatur, mulai pola hingga struktur ruang. Yang bisa mengakomodasi segala macam kepentingan. Karena dalam RTRW ini, yang penting keserasian dan keseimbangan antarsektor dan membawa kesejahteraan untuk masyarakat. Sesuai daya dan daya tampung. RTRW kita ini sudah enggak bicara darat, juga bicara pesisir dan laut,” katanya.

 

Ilustrasi. Catatan koalisi, 101 IUP pertambangan ini mencaplok 164.429 hektar dengan 106.782 hektar diusulkan untuk pelepasan status kawasan hutan dan 56.395 hektar merupakan hutan lindung diusulkan menjadi hutan produksi terbetas. . Foto: Jatam

 

DPR panggil KLHK

Terkait RTRWP ini, DPR menyebut akan memanggil KLHK setelah masa reses. Langkah ini agar temuan Koalisi bisa dikorelasikan dengan data dari kementerian itu.

“Mungkin nanti setelah masa reses selesai kita akan langsung panggil KLHK,” ucap Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Golkar Alien Mus dalam RDPU.

Dia menilai proses perumusan RTRWP seharusnya bisa melibatkan masyarakat terlebih dahulu. Mulai dari tokoh masyarakat, tokoh adat, dan organisasi kepemudaan di wilayah itu.

Untuk RTRWP Kaltim ini, dia menilai pemprov langsung membuat RTRW dan meminta pengesahan langsung pada KLHK. “Saya yakin ini pun tidak melibatkan kabupaten/kota, karena kalau melihat data seperti ini mereka tidak akan setuju,” katanya.

G Budisatrio Djiwandono, Wakil Ketua Komisi IV yang memimpin rapat menyebut,  akan menindaklanjuti hasil RDPU ini. Dia meminta, koalisi memberikan data lanjutan berupa ratusan desa yang terindikasi menjadi sumber konflik agraria.

“Supaya itu nanti kita pecahkan, bisa kita perjuangkan juga nantinya,” katanya.

Lebih jauh, RTRWP Kalimantan Timur ini menjadi salah satu yang problematik dan perlu diperhatikan. Namun, katanya, berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, setidaknya ada 19 RTRWP dengan target disahkan tahun ini dan enam lainnya pada 2024.

“Kami sedang mengkaji lebih lanjut yang berpola sama, kebetulan ini tahun politik. Kita tahu politik berbiaya tinggi, jangan pula gadaikan (kawasan) semurah-murahnya,” kata Timer.

 

*****

 

Exit mobile version