Mongabay.co.id

Nelayan Masalembu Menanti Keseriusan Pemerintah Tindak Kapal Cantrang

Nelayan, Aparat, dan Syahbandar Masalembu, Sumenep, Madura, Jatim, menaiki kapal KM Paku Samudera 3 yang diduga menggunakan alat tangkap cantrang dan tanpa dokumen SIPI. Foto: Kelompok Nelayan Rawatan Samudera Masalembu

 

 

 

 

Nelayan tradisional Pulau Masalembu, Sumenep,  mengeluhkan karena masih banyak kapal besar seperti dari Madura, Kalimantan maupun Jawa  menangkap di perairan laut yang jadi area tangkap mereka.  Makin mengkhawatirkan karena kapal-kapal luar itu banyak pakai alat tangkap cantrang.  Nelayan tradisional bersama organisasi masyarakat sipil mendesak, pemerintah menindak tegas dan tetapkan Kepulauan Masalembu sebagai zona tangkap nelayan tradisional.

Fikerman Saragih, Deputi Pengelolaan Pengetahuan Sekretariat Nasional (Seknas) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, sejak 1982,  perairan di Kepulauan Masalembu, sudah jadi arena konflik antar nelayan.  Makin lama,  nelayan dari luar makin banyak datang.

Tidak sedikit nelayan luar masuk areal tangkap dan tidak jarang pakai alat-alat tangkap terlarang seperti cantrang dan bahan peledak, potasium.

Berkali-kali antar nelayan bentrok bahkan sampai memburu, menangkap dan membakar kapal-kapal luar yang mereka pikir melanggar “aturan sosial” laut mereka.

“Nelayan tradisional Masalembu ini jarak tangkapnya sampai mereka tidak melihat lagi, tidak tampak lagi,” kata Fikerman kepada Mongabay, Juli lalu.

Tak hanya area tangkap sering diserobot nelayan luar, kapal-kapal yang datang ke perairan Masalembu banyak pakai alat tangkap cantrang dan bahan peledak yang bisa menghancurkan ekosistem laut.

 

Baca juga: Nelayan Masalembu Amankan Kapal Cantrang

Aparat dan nelayan Masalembu memeriksa ikan hasil tangkap KM Paku Samudera 3 asal Mayangan, Probolinggo, Jawa Timur yang diduga menggunakan jaring cantrang. Foto: Kelompok Nelayan Rawatan Samudera Masalembu

 

Nelayan Masalembu sendiri, dominan masih pakai alat tradisional saat menangkap ikan, mereka juga gunakan rumpon. Namun, kata Fikerman,  cara-cara tradisional ini kerap kali diganggu nelayan dari luar Masalembu.

Kepulauan Masalembu,  dekat dengan Pulau Kalimantan, kendati secara administratif berada di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

“Pengakuan ruang-ruang tradisional nelayan Masalembu ini yang harus diberikan legal oleh pemerintah supaya meminimalisir konflik antar nelayan Masalembu dan luar. Mereka sudah punya catatan sejarah panjang soal konflik nelayan ini,” katanya.

Masalembu,  memang punya potensi perikanan sangat besar. Namun, karena begitu banyak kapal beroperasi di area tangkap mereka, hasil tangkapan nelayan pulau ini pun mulai menurun, dari biasa satu ton, tinggal 500–600 kg sekali melaut.

Pera nelayan luar Masalembu, utama dari wilayah Pantura Jawa, tahu potensi ikan di sana. Apalagi, katanya, ikan di pantura mulai sedikit karena banyak sebab, antara lain, eksploitasi berlebihan.

“Jadi memang sumber daya perikanan ini sudah rusak, sudah terlalu eksploitasi berlebihan, maka rata-rata mereka pergi ke Masalembu sama pulau-pulau kecil lain di Pantura Jawa,”  katanya.

 

Baca juga : Kapal Cantrang Asal Luar Madura Kembali Resahkan Nelayan Masalembu

Nelayan, Aparat, dan Syahbandar Masalembu, Sumenep, Madura, Jatim, menaiki kapal KM Paku Samudera 3 yang diduga menggunakan alat tangkap cantrang dan tanpa dokumen SIPI. Foto: Kelompok Nelayan Rawatan Samudera Masalembu

 

Jailani, Wakil Ketua Persatuan Nelayan Masalembu, mengatakan para nelayan saat ini dalam posisi terancam seiring banyak kapal cantrang dari luar masuk.

Penangkapan ikan dengan cantrang, katanya,  merusak laut mereka hingga kini, nelayan Masalembu jadi kesulitan mendapat ikan.

Jailani bilang, mereka kalah bila harus bersaing dengan kapal besar. Namun menangkap ikan dengan cara tradisional tidak merusak ekosistem laut.

“Apalagi cantrang memang dilarang berdasarkan peraturan yang baru, cuma di sini ini produk hukum cuma di kertas, penegakan hukumnya sampai hari ini tidak kami rasakan. Kami harus berjuang sendiri mengusir cantrang itu,” katanya.

Dia pernah bersama para nelayan melakukan aksi mengejar kapal nelayan luar Masalembu yang menggunakan cantrang.

Dalam perjalanan sejarah nelayan Masalembu, konflik itu pernah sampai berujung pada pembakaran kapal. Jailani bilang, nelayan dilema. Satu sisi mereka ingin penegakan hukum, ada penindakan terhadap nelayan-nelayan yang melanggar aturan, tetapi penegak hukum tidak cepat menindak.

Bukan itu saja. Pihak berwenang, katanya, kadang malah saling lempar tanggung jawab antara satu instansi dengan instansi lain.

Hingga, para nelayan tangkap sendiri terhadap kapal-kapal yang mengganggu areal tangkap mereka.

“Kita usir juga kondisinya bisa konflik, jadi dilema,” keluh Jailani.

Saat angin kencang, kapal-kapal nelayan luar yang biasa melaut di areal 12 mil, mereka bersandar ke pulau-pulau kecil di Kepulauan Masalembu, seperti Masakambing.

Saat kembali ke tengah laut, kapal-kapal ada yang nakal menyalakan lampu kapal sejak dari pinggir untuk menarik ikan-ikan ke tengah.

Perilaku seperti itu, kata Jailani kadang dilakukan nelayan luar hingga ikan-ikan di sekitar pulau, yang seharusnya jadi incaran nelayan lokal, tergiring ke tengah.

Hasil tangkapan nelayan Masalembu dijual ke Pulau Jawa dan Kalimantan. Mereka tidak menyimpan lama hasil tangkapan karena tidak ada mesin pendingin. Listrik memadai belum ada.

Musim pocok–istilah masyarakat Masalembu yang jatuh pada Juli– Agustus—adalah musim baik menangkap ikan. Potensi tongkol di perairan Masalembu cukup besar.

“Melihat kondisi nelayan di sini saya kasihan, bukan menjadi nelayan tambah sejahtera, jadi tambah susah. Apalagi,  harga BBM melambung tinggi, hasil tangkapan tidak seberapa.”

Jailani bilang, harga solar di Pulau Masakambing Rp9.000 per liter. Kalau di Pulau Masakambing dan Karamian Rp10.000 per liter. Untuk sekali melaut, katanya, perlu sekitar 10-20 liter.

Dia berharap pemerintah untuk membuat kantor di Masalembu hingga da pengawasan. Bila pemerintah mau membangun kantor di sana, warga sudah menyiapkan lahan gratis.

 

Baca juga : Nelayan Desak DKP Jawa Timur Tuntaskan Persoalan Perikanan di Perairan Masalembu

Perahu nelayan tradisional Masalembu. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Keadilan untuk nelayan

Walhi Jawa Timur,  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Kiara, dan Kelompok Nelayan Rawatan Samudra Masalembu menyampaikan desakan bersama kepada pemerintah, pertama,  agar menindak tegas kapal cantrang. Mereka juga desak pemerintah tetapkan Kepulauan Masalembu sebagai zona tangkap nelayan tradisional.

Kedua, mereka ingin Masalembu sebagai kawasan ekosistem esensial atau lindung agar ada perlindungan bagi biodiversitas laut. Juga, memperjelas zona rute kapal pengangkut agar tak sembarangan lewat dan mematuhi prosedur standar operasional dan lingkungan.

Ketiga, mereka menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6/2023 tentang tambang dan ekspor pasir laut. Mereka ingin atuan itu dicabut karena hanya akan makin memperparah ekosistem laut di Kepulauan Masalembu dan jadi ancaman nelayan tradisional.

Wachid Habibullah, Direktur LBH Surabaya, mengatakan,  bila ada kapal cantrang dalam radius 12 mil memang tidak melanggar secara hukum positif, tetapi secara sosial bisa kurang etik karena mengganggu aktivitas nelayan tradisional.

Dia berpendapat, harus ada sinergi antar instansi terkait seperti Kepolisian Air dan Udara (Polairud), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka, katanya, bisa lakukan upaya preventif dan penegakan hukum.

“Karena itu selain mengganggu ekosistem juga merugikan nelayan-nelayan lain,” kata Wachid.

Pemerintah dalam membuat regulasi harus pro rakyat dan tegas, bukan ganti menteri ganti regulasi, terutama yang berkaitan dengan teknis.

“Ketegasan mengenai regulasi terutama berkaitan teknis, itu harus tegas. Karena ada yang ngomong alat cantrang boleh, ada yang tidak boleh. Penegasan saja sebenarnya.”

Kebijakan sering berubah membuat warga di akar rumput kebingungan, belum lagi sosialisasi regulasi baru kepada warga minim.

“Akhirnya,  di tingkatan basis masyarakat itu bingung, dalam artian tidak ada penegakan hukum.”

 

Ikan tangkapan nelayan Masalembu. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version