Mongabay.co.id

Apa Tindak Lanjut Pasca Terbit Perda Perlindungan Masyarakat Adat Aru?

 

 

 

 

Masyarakat adat di Kepulauan Aru,  alami ketidakadilan berpuluh-puluh tahun di atas tanah kelahiran mereka. Masyarakat jadi korban beragam kepentingan hingga berdampak multi dari sosial, ekologis maupun budaya dan lain-lain. Masyarakat melawan dan berjuang dengan berbagai cara termasuk lewat mendorong aturan perlindungan Masyarakat Adat Aru. Pada 2022, Peraturan Daerah soal Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia Urlima, terbit. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kepulauan Aru pun mendesak tindak lanjut pasca penerbitan perda itu.

Eko Cahyono, peneliti Papua Study Center (PSC) mengatakan, perda sebagai upaya menghalau laju bisnis ekstraktif masif di Aru belum tentu terbukti . Meskipun begitu, katanya, perda setidaknya jadi dasar hukum bagi masyarakat adat dan hak-hak agrarianya.

Dengan perda itu, katanya, ada pengakuan legal negara atas masyarakat adat di Aru. “Ini hal sangat penting,” katanya dalam diskusi yang digelar Papua Study Center di Cikini, Jakarta, Juli lalu.

Pasca perda, katanya, langkah penting agar semua pihak mendorong implementasi di pemerintah daerah.  “Misal, pemda perlu segera membentuk tim verifikasi masyarakat hukum adat yang mengakomodir semua pihak. Pemda juga harus menyiapkan anggaran untuk mendukung tim verifikasi masyarakat adat,” katanya.

Kalau perda tak jalan, katanya, akan tetap muncul ragam masalah yang akan terus mengancam Masyarakat Adat Aru.

 

Baca juga: Bila Ekosistem Rusak, Keanekaragaman Hayati dan Masyarakat Adat Aru Bakal Terancam

Masyarakat Adat Marfenfen di depan Pengadilan Negeri Dobo Kepulauan Aru jelang sidang putusan sengketa lahan melawan TNI AL. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Mercy C. Barends, anggota DPR Dapil Maluku mengatakan, Masyarakat Aru berwatak nomaden laut, dengan sejarah panjang tenurial antar pulau, terikat dengan sejarah adat sama.

Mengabaikan hak masyarakat adat atas tanah air di Aru, katanya, akan menimbulkan goncangan sosial dan perlawanan seperti sekarang.

Saat ini,  situasi masyarakat adat tak kunjung membaik, antara lain masih banyak berhadapan dengan berbagai konflik karena investasi masuk Aru.

Ada empat tahapan konflik, katanya, pertama, konflik Masyarakat Adat Marfenfen dengan TNI-AL sejak 1991 hingga kini.

Masyarakat adat Aru menggugat praktik-praktik klaim kepemilikan tanah ke Pengadilan Negeri Dobo November 2021. Ironisnya, gugatan mereka kalah dengan argumen bukti-bukti masyarakat lemah secara hukum.

“Tahun kemarin (2022) empat bulan bersama tim mengadvokasi di Jakarta dan bertemu dengan berbagai pihak. Kecuali belum sempat ketemu Menkopolhukam, Machfud MD, hampir semua sudah kita ketemu, terakhir dengan Angkatan Laut, rapat resmi,” katanya.

Kedua, kata Mercy, kasus PT Menara Group, 489.000-an hektar hampir dikuasai. Berkat perjuangan panjang masyarakat dan berbagai pihak melalui SaveAru, Menteri Kehutanan saat itu—kini Lingkungan Hidup dan Kehutanan—tak berikan pelepasan kawasan hutan. Menara Group gagal investasi perkebunan tebu. Ketiga,  proyek peternakan sapi.

“Dulu, zaman orde baru pemerintah ambil tanah rakyat atas nama proyek perkebunan monokultur. Land grabbing. Sekarang oxigen grabbing, tree grabbing.”

Untuk rekomendasi agar konflik agraria tidak berkepanjangan di Kepulauan Aru, mereka menyiapkan rencana dan strategi percepataan pemetaan masyarakat adat.

Rekomendasi lain, pengakuan masyarakat adat harus dilampirkan dengan peta wilayah, dan mekanisme penyelesaian konflik. Program dan kebijakan untuk memberdayakan dan memberikan manfaat kepada masyarakat adat disesuaikan kepentingan konservasi, ekosistem, penjagaan hutan sesuai peraturan berlaku. Juga penguatan kapasitas masyarakat adat terkait tata kelola hutan.

“Harus perkuat rakyat dari sisi litigasi dengan memperkuat para legal di mana-mana. Juga memastikan proses non litigasi kuat.”

 

Baca juga: Nasib Hutan dan Savana Kalau Peternakan Sapi Masuk Kepulauan Aru

Desa Marfenfen, Aru Selatan, Kepulauan Aru, Maluku dari udara.

 

Mufti Fathul Barri,  Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), mengatakan,  ‘pembangunan’ berorientasi pertumbuhan ekonomi minus pemerataan dan keadilan atas sumber-sumber agraria di Kepulauan Aru mengabaikan eksistensi masyarakat adat.

Kebijakan itu,  membuat masalah agraria belum selesai bahkan terus membuka peluang investasi masuk.

Alasan percepatan pembangunan di Aru, tetapi justru mendegradasi kehidupan masyarakat adat karena hanya mengedepankan logika eksploitasi, ekstraksi dan komodifikasi kekayaan alam.

“Akarnya kebijakan kawasan hutan di Kepulauan  Aru,  seperti tinggal melempar karet gelang dalam menentukan mana kawasan hutan produksi, konservasi dan lain-lain. Kebijakan kehutanan ini tidak nyambung dengan kondisi geografis Aru,” katanya.

Berbagai konsesi masuk ke Aru menyasar kawasan hutan.

Sebagai negara kepulauan, kata Ode, sapaan akrabnya, persepsi pembangunan seharusnya dalam marwah kepulauan. Saat ini, katanya,  terlalu bias darat dengan investasi ekstraktif skala besar.

 

Baca juga: Cerita Perjuangan Panjang Warga Selamatkan Kepulauan Aru

Mika Ganobal, pentolan Save Aru (tengah) bersama Direktur FWI dan Project Manager Mongabay Indonesia Ridzki R Sigit, di hutan P Kobror, Aru Tengah. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Kebijakan itu pun, katanya, menimbulkan  konflik agraria struktural di Aru. “Kebijakan politik pembangunan dan agraria yang mengabaikan dan minus kepekaan atas hak masyarakat adat jadi penyebab konflik agraria di Kepulauan Aru,” katanya.

Oek. Engelina Pattiasina,  Direktur Archipelago Solidarity Foundation, khawatir, Kepulauan Aru jadi korban pertarungan pengaruh di Pasifik Selatan. Sebab, menurut Engelina, pergeseran geopolitik ke Pasifik jadikan Aru ajang rebutan pengaruh antara Amerika dan Tiongkok.

Tiongkok, katanya, memperkuat pengaruh melalui permodalan. Amerika merespon dengan menggandeng Australia dan United Kingdom (Britania Raya) untuk membangun aliansi baru Aukus, singkatan dari Australia, United Kingdom dan United States pada 2021.

Dengan posisi strategis secara politik ekonomi itu,katanya, upaya mensejahterakan masyarakat di Kepulauan Aru,  berarti menjaga pertahanan dan keamanan nasional. Sebaliknya, mengabaikan pemenuhan kesejahteraan mereka, akan berakibat pada ancaman keamanan dan pertahanan nasional.

 

Pulau-pulau kecil Kepulauan Aru. Foto: Aziz Fardhani/FWI 2022

 

Mimin Dwi Hartono, dari Komnas HAM mengatakan,  penting kebijakan prioritas dan strategi khusus dalam upaya perlindungan atas hak asasi manusia dan ruang hidupnya di Kepulauan Aru.

Upaya Komnas HAM melalui Inkuiri Nasional untuk menyelesaikan konflik agraria di tingkat hulu kebijakan, melampaui penyelesaian kasus-per kasus, khusus, masyarakat adat relevan berlanjut.

Mika Ganobal, Camat Aru Utara Timur dan Koordinator SaveAru Island mengatakan,  ancaman Masyarakat Aru datang silih berganti. Aru,  kata Mika, bak primadona para investor yang bisa mengancam masyarakat karena menimbulkan dampak sosial, kerusakan lingkungan dan lain-lain.

“Dari dulu Masyarakat Aru hidup jadi nelayan dan petani.”

Kala usaha skala besar masuk, katanya, akan dampak juga bagi lingkungan,  laut dan darat mempunyai hubungan erat. Kalau laut atau darat rusak, katanya, akan berdampak kepada masyarakat.

Mama Ocha Gealogoy, perwakilan perempuan Desa Marfenfen, Kepulauan Aru mengatakan, tanah merupakan warisan pencipta alam semesta kepada para leluhur di Aru. Sebelum ada Indonesia, katanya, orang Aru sudah hidup di tanah Aru, termasuk orang Marfenfen.

 

Aksi Masyarakat Adat Marafenfen di Kepulauan Aru, menanti sidang gugatan di Pengadilan Negeri Dobo. Foto: AMAN

*****

Exit mobile version