Mongabay.co.id

Nasib Macaca di Tengah Himpitan Kawasan Industri Nikel di Morowali

 

 

 

 

 

 

Jalan beraspal di Desa Labota, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, mulai lengang, Mei lalu. Jalan itu biasa ramai dengan para pekerja di kawasan industri nikel, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).  Tak jauh dari sana, di  hutan kecil tersisa, dari kejauhan terlihat dahan pohon bergerak-gerak.

Satu monyet dengan dominasi wajah warna hitam menyembul dari balik dedaunan kanopi pohon. Moncong relatif panjang. Dari ketinggian pohon, dua bola matanya mengamati jalan dan tumpukan sampah di bahu jalan. Monyet tadi mendadak hilang dari rimbunan pohon itu.

Selang beberapa menit, beberapa monyet dewasa dengan ekor pendek muncul duduk sejajar dari balik pagar seng. Beberapa jantan dewasa bernasib miris, kaki kanan buntung.

Beberapa monyet usia remaja terlihat menyusul. Mereka berjalan ke sana kemari di atas pagar seng, sembari mengamati tumpukan sampah di sepanjang bahu jalan. Ada juga tumpukan sampah yang baru saja dibuang warga yang datang dari pemukiman di seberang jalan.

Tidak lama kemudian induk monyet bersama anaknya, menyusul bergabung bersama kawanan yang mengais sampah.

Tidak jauh dari mereka terpampang baliho di pagar seng menginformasikan penjelasan singkat ilmiah mengenai primata mamalia berjenis Macaca tonkeana dengan sebutan lokal boti.

Boti primata endemik Sulawesi Tengah dalam daftar CITES berstatus appendix II. Primata ini dianggap rentan karena terus mengalami penurunan populasi lebih dari 30% dalam 40 tahun terakhir.

 

Boti di atas pagar yang dibawahnya tempat sampah. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Menurut IUCN, boti hanya ditemukan di hutan hujan dengan ketinggian sedang dari ketinggian laut hingga 2.000 meter dari permukaan air laut (mdpl). Kepadatan populasi boti berkisar sampai lima individu per satu kilometer persegi.

Herni, warga Desa Labota bilang, boti mulai terlihat di sekitar pemukiman sejak 2021, ketika IMIP memperluas pembangunan, dan menyisakan hutan kecil.

Boti keluar dari hutan ke jalan hanya untuk mencari sisa-sisa makanan dari sampah rumah tangga yang berserakan di bahu jalan. Sesekali, Herni memberi makan monyet lantaran iba melihat mereka mengais sampah di tengah habitat yang terkepung industri nikel dan pemukiman.

“Terpaksa kita kasih makan pisang. Mereka mau makan apa?”

Benar saja, selama beberapa jam saya memantau aktivitas sekelompok boti itu, ada warga yang datang memberi–melemparkan makanan ke seberang jalan, tepat di sekitar beberapa boti yang sedang mengacak-acak sampah.

Kemunculan boti di sekitar pemukiman mengundang perhatian pengguna jalan, yang menyempatkan diri menyaksikan boti dari dekat.

 

 

Boti induk bersama anak-anaknya di pagar, di tepian hutan tersisa di Morowali. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Deforestasi

Kelangsungan hidup boti di hutan sempit itu rupanya mendapat perhatian dari komunitas Pemerhati Lingkungan Bahodopi (PLB) dan beberapa komunitas pemuda lain, yang menggabungkan diri dalam perkumpulan bernama “Sahabat Macaca.” Dalam kegiatan mereka difasilitasi dari dana tanggung jawab social (CSR) IMIP.

Komunitas itu bersama-sama memberi pangan berupa aneka jenis buah secara rutin dua kali dalam rentang waktu selama satu pekan. Aktivitas rutin itu sejak  pertengahan 2022.

PLB mendata sekitar 20 boti tergabung dalam satu kelompok terjebak dalam hutan sempit seluas belasan hektar yang masih berstatus area penggunaan Llin (APL).

Selain memberi pakan, Sahabat Macaca intens mengedukasi warga untuk tidak memberi makan kepada boti yang berkeliaran mencari makan di tumpukan sampah.

Mereka juga monitoring menjangkau–warga yang ketahuan menjerat boti lalu menjual hasil buruan secara daring.

“Kami temui langsung, diberi pemahaman tentang status perlindungan boti dan tidak boleh ditangkap. Kami membantu melepasliarkan boti, dan ada yang kakinya terluka,” kata Nova Eliza, Koordinator PLB.

PLB mencoba menanam aneka pohon pisang, rambutan, mangga, dan kopi sebagai tanaman pakan jangka panjang. Tanaman produktif itu untuk menunjang kebutuhan pangan boti, di antara himpitan industri nikel dan lonjakan pertumbuhan penduduk–pekerja IMIP.

 

Tong sampah yang biasa menjadi tempat boti mengais makanan. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

PLB juga menyurati Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulteng, meminta BKSDA mengevakuasi boti dari hutan desa Labota.

“Tidak ada tanggapan,” ujar Nova.

Mongabay upaya konfirmasi ke BKSDA Sulteng, namun tidak memperoleh jawaban.

Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) mengatakan, deforestasi di Morowali terjadi melalui ‘skema pertambangan’.

Dalam empat tahun, luas hutan lindung di Bahodopi berkurang dari  10.820,43 hektar pada 2019 menyusut  tinggal 10.378,73  hektar pada 2022.

“Memang kalau rata-rata dilihat di rencana tata ruang Sulteng, itu ada deforestasi yang direncanakan. Salah satunya kawasan industri, yang ditetapkan menjadi kawasan industri, obyek vital nasional,” katanya.

BPS Morowali mencatat, penduduk di Kecamatan Bahodopi melonjak pasca pandemi COVID19, dari 7.754 jiwa pada 2019 jadi 50.171 jiwa dalam 2022.

Gifvents mempertanyakan bagaimana komitmen IMIP menjaga keanekaragaman hayati, mengingat boti salah satu spesies ‘kunci’ Sulawesi. Seharusnya,  dalam RKAB perusahaan ini memuat keanekaragaman hayati di Bahadopi yang menyusun ekosistem hutannya.

Herlan Kuart, bagian CSR IMIP mengatakan, tidak mengerti pada 2021 tiba-tiba muncul boti. “Kami sama sekali buta soal hewan endemik.”

Herlan tak yakin hutan sempit yang tersisa itu bisa menjadi habitat boti, lantaran ukuran pohon tergolong kecil-kecil.  IMIP hanya bisa berharap kepada masyarakat membantu sisa hutan yang ada sebagai habitat boti.

“Sampai saat ini kami belum menemukan solusi yang betul-betul bagus dan baik,” kata Herlan.

 

Boti mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan harus bertanggung jawab

Jatna Supriatna, ahli primata terkemuka di Indonesia, mengatakan,  harus ada tanggung jawab sosial maupun tanggung jawab dari lingkungan perusahaan.

“Harus dipindahkan ke hutan yang lebih luas. Itu di suatu tempat dimana makanan dan habitat cukup. Walaupun nantinya macaca itu dikasih makan dan sebagainya tidak akan survive juga. Karena itu akan mengganggu masyarakat dan sebagainya.”

Dia sedih mendengar perilaku sekelompok macaca turun ke pemukiman memakan sampah. Perilaku itu sudah menyalahi fisiologi dari biologi monyet.

Jatna khawatir, kalau macaca hidup berdampingan dengan pemukiman warga akan menyebarkan rabies, zoonosis, dan penyakit-penyakit lain pada tubuh monyet.

Hutan tersisa seluas belasan hektar yang menjadi habitat boti di Labota, dinilai terlalu sempit dalam menunjang daya jelajah primate ini. Satu kelompok macaca perlu hutan seluas 40 hektar sebagai habitat alami.

 

Boti, satwa endemik Sulteng, yang kehilangan habitat di Morowali. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Dalam penelitiannya Deforestation on the Indonesian island of Sulawesi and the loss of primate habitat menyebut,  pertambangan merupakan ancaman nyata yang berkelanjutan bagi primata dan habitatnya.  Disebutkan seperti di Sulawesi Tengah, ada operasi pertambangan besar, terutama nikel, IMIP, didirikan dengan investasi Tiongkok, menjadi pusat industri nikel dari hulu ke ke hilir; dari penambangan hingga peleburan dan produk akhir untuk diekspor ke Tiongkok.

Esti, pembina edukasi Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) di Sulawesi Utara, menilai, pertambangan nikel atau industri olahan nikel sangat mengganggu habitat boti di hutan alami yang tersisa.

PPST mengidentifikasi menyempitnya area hutan habitat macaca memicu peningkatan perburuan satwa ini, meski masyarakat telah diedukasi untuk tidak memburunya.

“Mau tidak mau harus ada bantuan dari pemerintah, untuk membuat salah satu area perlindungan macaca yang jauh dari masyarakat.”

Hari menjelang sore, hilir mudik pekerja IMIP yang hendak pergantian shif kerja meningkat di Jalan Labota. Sesekali terlihat kendaraan roda empat dan roda dua tengah melintasi jalur trans Sulawesi menepi ke bahu jalan, mendekati kawanan monyet yang sedang mengais-ngais sampah.

Tidak jarang ada orang yang melemparkan makanan ke kawanan boti. “Kita kasihan juga lihat mereka mau makan apa.”

 

 

*******

 

 

Exit mobile version