Mongabay.co.id

Penanganan Konflik Manusia dengan Gajah Perlu Libatkan Banyak Pihak

Gajah sumatera jinak di CRU difungsikan untuk meminimalisir terjadinya konflik manusi dengan gajah liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Konflik atau interaksi negatif antara manusia dengan gajah sumatera masih terjadi di Aceh.

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh menunjukkan, tahun 2019 terjadi  106 kali konflik, pada 2020 [111 kali], dan 2021 [145 kali]. Sementara, dari Januari hingga Juli 2022, tercatat 62 kasus.

Konflik terjadi di Kabupaten Aceh Jaya, Pidie, Aceh Tengah, Nagan Raya, Bener Meriah, Pidie Jaya, Aceh Selatan, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Barat dan Kota Subulussalam.

Kepala BKSDA Aceh Gunawan Alza, mengatakan konflik terjadi akibat habitat gajah terganggu dan juga hilangnya kearifan lokal masyarakat.

“Interaksi negatif ini masih kami tangani dan perlu keterlibatan semua pihak, bukan hanya BKSDA,” ungkapnya, Senin [24/7/2023].

Baca: Jalur Jelajah Terganggu, Konflik Gajah Liar dengan Manusia Kerap Terjadi

 

Gajah sumatera jinak di CRU difungsikan untuk meminimalisir terjadinya konflik manusia dengan gajah liar. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Teungku Sulaiman, warga Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, mengatakan konflik terjadi karena habitat gajah, sehingga kehilangan tempat hidup.

“Saat saya kecil, jarang terdengar konflik manusia dengan gajah,” ungkap lelaki 75 tahun ini, Minggu [23/7/2023].

Menurut Sulaiman, nenek moyang masyarakat Aceh menganggap konflik dengan gajah sebagai pertanda bila manusia melakukan kesalahan. Misal, mengganggu kehidupan gajah.

“Dulu, adat di Aceh mengatur hutan untuk dikelola manusia dan hutan Tuhan. Nah, hutan Tuhan ini tidak boleh diganggu, tempatnya satwa liar hidup seperti gajah, harimau, badak, burung, bahkan ular.”

Sekarang, semua berubah. Hutan dibuka untuk keserakahan manusia. Gajah diburu untuk diambil gadingnya, lalu dijual.

“Ini adalah balasan yang harus kita terima, gajah tidak mungkin mengganggu, jika dia tidak diganggu. Sebagai gambaran, orang Aceh dulu, apabila ada ular masuk rumah tidak boleh dibunuh, harus dipindahkan. Orang Aceh dulu juga dilarang menyakiti binatang, bahkan untuk menyembelih ternak harus menggunakan pisau sangat tajam,” terangnya.

Baca: CRU dan Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera

 

Dua gajah sumatera ini diangkut dari CRU Trumon ke Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, untuk menggiring gajah sumatera liar keluar dari kebun masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hal senada disampaikan Hendra, pemerhati budaya di Aceh. Menurut dia, nenek moyang masyarakat Aceh sangat menghargai satwa liar di hutan. Masyarakat hidup berdampingan dan saling menghormati.

“Pantang bagi masyarakat Aceh menggunakan nama-nama hewan sebagai makian maupun hinaan.”

Bahkan, ada masyarakat Aceh yang menjadikan gajah atau harimau seperti saudara.

“Ini membuktikan, masyarakat Aceh sangat menghargai keberadaan satwa liar. Selain itu, belum ada literatur yang menyatakan masyarakat Aceh memelihara satwa untuk gagah-gagahan, hanya kerajaan yang memiliki gajah sebagai kendaraan perang,” ujarnya.

Baca juga: Mengapa Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera di Aceh Tinggi?

 

Gajah liar yang terpantau di Pinto Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hutan rusak

Perambahan kawasan hutan masih terjadi di dalam kawasan hutan di Provinsi Aceh. Hal ini menyebabkan terganggunya habitat gajah.

Awal Juli 2023, Mongabay Indonesia menelusuri jalan Kabupaten Aceh Barat Daya – Kabupaten Gayo Lues dan Jalan Gayo Lues – Aceh Timur. Dua jalan itu dibangun dengan membelah hutan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].

Di Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya, terjadi pembukaan kawasan hutan setelah jalan tembus itu semakin mudah dilalui. Di pinggir jalan, terlihat pembukaan kawasan hutan produksi terbatas yang masuk KEL.

Masyarakat Babahrot mengatakan, pembukaan lahan kebun tersebut tidak dilakukan  masyarakat setempat. Alasannya, masyarakat lokal tidak memiliki modal untuk membuka lahan hingga lebih lima hektar.

“Ini pekerjaan orang luar. Masyarakat di sini tidak akan mampu,” ungkap Nasruddin, warga Babahrot, Jumat [14/7/2023].

 

Penggiringan gajah liar agar keluar dari perkampungan warga di Desa Negeri Antara dan Blang Rakal, Kecamatan Pinto Rime Gayo, dilakukan menggunakan mercon. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan perhitungan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], sejak 1990 sampai tahun 2020, Provinsi Aceh telah kehilangan tutupan hutan sekitar 690 ribu hektar. Ini setara dengan sembilan kali luas Singapura. Dengan perhitungan, pada 1990 luas tutupan hutan Aceh mencapai 3,7 juta hektar.

Manager Geographic Information System [GIS] HAkA Lukmanul Hakim, pada Selasa [2/8/2023] mengatakan, pada 2022, tutupan hutan Aceh yang hilang mencapai 9.383 hektar.

“Khusus KEL, tutupan hutan yang hilang pada 2022 mencapai 4.676 hektar. Daerah yang tertinggi adalah Kabupaten Aceh Selatan [1.877 hektar], Aceh Timur [634 hektar], dan Aceh Utara [445 hektar],” ungkapnya.

 

Exit mobile version