Mongabay.co.id

Udara Jabodetabek Buruk, Pemerintah Bentuk Satgas Pengendalian Pencemaran

 

 

 

 

 

 

 

Sejak beberapa pekan ini, langit Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek), termasuk Serang, Banten,   berselimut kabut polusi. Dari pemantauan kualitas udara, seperti dari IQAir, sejak beberapa pekan ini udara buruk, kerap berada pada level tidak sehat bahkan sangat tidak sehat.  Konsentrasi PM2,5 jauh melampaui ambang batas yang direkomendasikan WHO, yakni di angka 5 mg/m3 (mikrogram per meter kubik).

PM2,5 adalah partikel berdiameter kurang dari 2,5 mikrometer atau hanya sekitar 3% dari ketebalan rambut manusia, dan tak terlihat mata telanjang. Ukuran partikel yang kecil ini memungkinkan menembus paru-paru manusia, dan menyebabkan gangguan kesehatan.

Menurut IQAir, pada Agustus, nilai rata-rata harian tertinggi tercatat pada 6 Agustus 2023 di angka 164 (tidak sehat) dan PM2,5 sebesar 81,6 mg/m3 atau 16 kali lebih tinggi dari ambang batas WHO. Data itu mereka dapat dari 20 kontributor termasuk BMKG, IQAir, PurpleAir dan Air Now.

Data platform pemantau kualitas udara Nafas Indonesia, sampai 12 Agustus 2023, mereka mencatat lima wilayah Jabodetabek dengan paparan PM2,5 dalam kategori tidak sehat yakni, Tangerang Selatan, Bogor, Depok, Tangerang dan Jakarta.

Piotr Jakubowski, Co-Founder Nafas mengatakan, data-data itu diperoleh melalui 120 alat pemantau kualitas udara yang tersebar di Jabodetabek. Total, Nafas memiliki 200 alat pemantau yang juga tersebar di Bandung, Semarang, Jogja, Bali dan Belitung.

Dia menilai, berdasarkan penyebaran, polusi terdiri dalam dua jenis yakni hiperlokal dan lintas batas. Polusi hiperlokal berasal dari daerah terdekat, atau dalam konteks ini, di lingkup Jabodetabek. Polusi lintas batas terjadi karena angin membawa polutan dari sumber asal ke wilayah yang lebih jauh.

“Polusi udara adalah masalah sistemik, masalah perindustrian, transportasi, logistik, energi, ada juga masalah pengelolaan sampah. Ini harus dijalankan dengan strategi yang multisektoral juga,” katanya ketika dihubungi Mongabay, 17 Agustus lalu.

 

 

 

Dari mana sumbernya?

Berdasarkan inventarisasi Dinas Lingkungan Hidup Jakarta dan Vital Strategies yang didukung Bloomberg Philantropies, berdasarkan jenisnya, persentase penggunaan bahan bakar di Jakarta, yakni, gas 51%, minyak 49% dan batubara 0,42%.

Sementara, persentase penggunaan bahan bakar di Jakarta berdasarkan sektor meliputi, transportasi 44%, industri energi 31%, perumahan 14%, manufaktur industri 10%, serta komersial 1%. Persentase itu dianggap menunjukkan sumber pencemar polusi udara di Jakarta belakangan ini.

Sigit Reliantoro, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mempertegas dengan data pada 2022 terdapat 24,5 juta kendaraan bermotor di Jakarta, 78% adalah sepeda motor.

Selain itu, kondisi atmosfer sepanjang 27 Juli sampai 9 Agustus 2023, menunjukkan sumber emisi di Jakarta bersifat lokal. Tidak ada kontribusi polusi dari Suralaya ke Jakarta, karena angin bertiup ke arah Selat Sunda.

“Ini menegaskan sebagian besar sumber emisi berasal dari Jakarta sendiri dan daerah hinterlandnya,” katanya, dalam media briefing, 13 Agustus lalu.

Dia menilai, langkah paling penting adalah meningkatkan pergerakan manusia tanpa memperbanyak mobilitas kendaraan, dan mengoptimalkan uji emisi kendaraan bermotor untuk memenuhi baku mutu.

Sementara  itu, terpantau data kualitas udara di Anyer, Banten, melalui aplikasi AirVisual, dalam Agustus ini hampir tiap hari kategori tidak sehat. Seperti pada 19 Agustus ini, pagi hari alat pemantau di Serang itu menunjukkan level 169 dengan PM 2,5 sebesar 89,8.

 

Pantauan kualitas udara di Anyer, Sabru, 19 Agustus pagi, kualitas udara buruk.

 

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mempublis pada 2020 menyebut ‘ruang udara’ – di mana emisi mempengaruhi kualitas udara – luasnya jauh melampaui batas administratif Jakarta.

Laporan itu mencatat 136 fasilitas industri terdaftar, termasuk pembangkit listrik, yang bergerak di sektor-sektor dengan emisi tinggi dan berada dalam radius 100 km dari batas administratif Jakarta. Kondisi ini disebut memungkinkan polusi dari PLTU di luar Jabodetabek mencemari langit Jakarta.

“Inti dari studi ini, emisi di kota besar apalagi dikelilingi sumber polusi seperti PLTU itu cukup mempengaruhi. Emisi itu tidak terisolasi, misal, Suralaya saat ini kontribusinya kecil, tapi kalau PLTU di sekitar Jakarta banyak, kontribusinya bisa besar,” kata Katherine Hasan, Staf Analis CREA kepada Mongabay.

Faktor ‘ruang udara’ itu diperkuat pengamatan di masa awal pandemi COVID-19, awal Maret 2020. Ketika pembatasan sosial berlaku dan aktivitas masyarakat berkurang, CREA menyaksikan konsentrasi PM2,5 tidak berkurang secara signifikan, meski polusi NO2 berkurang 40% .

Menurut Katherine, polusi dari daerah lain yang tertiup angin sangat mungkin membuat PM2,5 tetap ada meski terdapat pengurangan mobilitas kendaraan bermotor di periode awal COVID-19.

“Karena, ketika aktivtas industri pembangkit tetap sama, berkurangnya lalu lintas kendaraan bermotor tidak serta-merta menghilangkan PM2,5,” katanya.

Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) mengatakan, saatnya mengendalikan pencemaran udara secara ketat, konsisten dan terus menerus. Langkah ini, katanya,  diawali dengan menjalankan razia emisi, baik emisi kendaraan bermotor, emisi pabrik, power plant, pembakaran sampah, dan lain-lain.

“Karena dari sinilah pembelajaran bagi semua untuk disiplin dan taat azas atas peraturan perundangan dalam pengendalian pencemaran udara,” katanya kepada Mongabay.

 

Baca juga: Studi Ungkap Polutan PLTU Batubara Sebabkan Kematian Dini

Pantauan kualitas udara di sekitar Kemang. Tidak sehat.

 

Peraturan nasional yang memandatkan penerapan manajemen kualitas udara harus dijalankan secara ketat dan konsisten di sektor transportasi, industri, pembangkit energi, pertambangan, konstruksi, pengelolaan lahan/hutan, pengolahan limbah dan lain-lain.  Tentu saja, katanya, dalam konteks Jakarta, tidak termasuk pengelolaan lahan atau hutan dan pertambangan.

Untuk mencapai itu, katanya, perlu peningkatan efektivitas kerja aparatur pemerintah terkait pengendalian pencemaran udara, pembinaan, peningkatan kapasitas, dan pemantauan terhadap sektor-sektor itu atas pemenuhan baku mutu emisi dan baku mutu udara ambien.

Dia menilai, sejauh ini aparat pemerintah tidak bekerja sama sekali.  “Mereka hanya melakukan rapat/koordinasi dan upacara-upacara kegiatan yang tak ada efeknya bagi penurunan emisi,” katanya.

Untuk sektor transportasi,  misal, Euro 4 Standard sebagai mandat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP 22/2021 melalui PermenLHK No P20/2017 tidak dijalankan auto-industry maupun oil industri,  tanpa sanksi apapun.

“Seharusnya regulasi ini sudah berlaku sejak 2018, tetapi saat ini masih sedikit produksi kendaraan berstandar Euro 4 yang rendah emisi.  Demikian juga kebutuhan BBM untuk kendaraan Euro4 standar juga tidak dipenuhi oleh Pertamina.  Pembangkangan dilakukan oleh BUMN dan swasta.”

Jadi, katanya, pencemaran dari industri tidak ditindak hukum, begitu juga pembakaran sampah, pengangkutan material bangunan dan sampah tanpa penutup hingga mengekspos partikel debu.

“Kapal-kapal sandar di Pelabungan Tanjung Priok tidak diatur BBM-nya pakai apa hingga turut berkontribusi juga bagi pencemaran udara di Jakarta Utara.”

 

 

Dalam beberapa pekan ini, Jakarta dan beberapa daerah sekitar (Jabodetabek) kualitas udara buruk. Masyarakat sudah sulit dapatkan hak dasar udara bersih lagi. Berjaga-jaga, keluar rumah setidaknya pakai masker. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah bentuk satgas

Dalam rapat terbatas, 14 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo memberi beberapa catatan pada kementerian dan lembaga terkait. Dalam jangka pendek, Presiden meminta intervensi untuk memperbaiki kualitas udara Jakarta, dan rekayasa cuaca untuk memancing hujan. Juga, menerapkan regulasi percepatan penerapan Euro5 dan Euro6 khusus di Jabodetabek, serta memperbanyak ruang terbuka hijau.

“Dalam jangka menengah, konsisten melaksanakan kebijakan mengurangi penggunaan kendaraan berbasis fosil dan segera beralih ke transportasi massal,” kata presiden.

Dalam jangka panjang, kementerian dan lembaga terkait diperintahkan memperkuat aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, mengawasi sektor industri dan pembangkit listrik terutama sekitar Jabodetabek, dan mengedukasi publik.

Kementerian Lingkungan Hidup dan  Kehutanan pun menyambut dengan membentuk Satgas Pengendalian Pencemaran Udara Jabodetabek, pada 17 Agustus lalu.  Minggu depan akan mulai sosialisasi, sekaligus pelaksanaan uji emisi.  Rapat itu sekaligus penegasan langkah-langkah kerja cepat pengendalian pencemaran udara Jabodetabek.

Siti Nurbaya, Menteri LHK dalam rilis kepada media meminta segera dilakukan pemeriksaan lapangan terhadap semua unsur yang diduga memberi pengaruh pada memburuknya kualitas udara Jakarta dan Jabodetabek.   

Pembentukan Satgas KLHK terutama dalam untuk penegakan hukum ambang batas emisi kendaraan atau baku mutu pencemaran udara. Juga, klarifikasi mendalam PLTU unit-unit dalam manajemen PLN dan PLTU serta diesel dari pembangkit listrik independen atau individual se-Jabodetabek serta manufaktur dan stockpile batubara.

Pemeriksaan lapangan akan dilakukan satgas. Tugas penting dari satgas adalah mengidentifikasi sumber pencemaran dan pengawasan langsung di lapangan, memberikan supervisi dan koordinasi kewilayahan.  “Serta mengambil langkah-langkah hukum jika diperlukan, termasuk penegakan hukum guna menekan pencemaran udara dan memperbaiki kualitas udara di Jabodetabek,” kata rilis itu.

 

Dalam beberapa pekan ini, tiap hari, udara Jakarta dan sekitar buruk. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Apabila dalam pemeriksaan dan pengawasan ada pelanggaran terhadap baku mutu emisi atau baku mutu udara ambien, katanya,  akan ada langkah hukum baik pengenaan sanksi administratif, termasuk penghentian kegiatan, penegakan hukum perdata dan pidana.

Siti mengatakan, ruang lingkup kerja satgas ini mencakup antara lain, uji emisi, monitoring harian ISPU dan kualitas udara di Jabodetabek, kemungkinan modifikasi cuaca serta koordinasi dan supervisi untuk itu.

Selain itu, juga pengawasan dan supervisi terhadap sumber-sumber pencemar tidak bergerak PLTU dan PLTD  serta manufaktur di Jabodetabek, pembakaran terbuka baik dari pembakaran sampah dan limbah elektronik. Juga pengawasan stockpile di pelabuhan atau di tempat-tempat pusat pergudangan, serta menggalakkan tanam pohon untuk anak sekolah dan masyarakat dengan bibit dari persemaian rumpin,  dan lain-lain.

“Saya minta segera dilakukan langkah-langkah itu, hingga bisa dilihat hasilnya. Penanganan jangka pendek seperti dan penanganan jangka panjang akan dilakukan secara komprehensif dan koordinatif,” kata Siti.

Siti pun memerintahkan Sekjen KLHK dan Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan upacara untuk uji emisi kendaraan bermotor pada kendaraan dinas dan pegawai lingkup KLHK. Langkah ini, katanya,  sebagai salah satu upaya memperbaiki kualitas udara di Jakarta.

Tujuan uji emisi ini, katanya,  untuk memastikan inspeksi dan perawatan kendaraan bermotor dengan baik hingga dapat memenuhi baku mutu emisi.

Kalau tidak memenuhi baku mutu emisi, katanya, pemilik kendaraan wajib melakukan perawatan dan atau gunakan bahan bakar ramah lingkungan. Dengan begitu,  emisi dapat memenuhi baku mutu emisi.

Sesuai arahan menteri, semua kendaraan bermotor yang memasuki kawasan Kantor KLHK harus lolos uji emisi.

Bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi, akan diberikan satu kali kesempatan uji emisi ulang. Selanjutnya akan uji emisi lagi dalam tiga minggu ke depan, dan evaluasi.

 

 

Pantaian 19 Agustus 2023 pagi hari, alat pantau memperlihatkan dokinan udara tidak sehat di Jakarta dan sekitar.

 

Pemerintah harus serius

Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah lebih serius dalam mengendalikan polusi udara di Jakarta, termasuk penyusunan kebijakan.

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia berharap, draf Peraturan Gubernur Jakarta tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara tidak hanya bagus di atas kertas tetapi harus memberi ruang masyarakat memantau implementasinya.

Meski demikian, dia melihat ada ambiguitas dalam upaya menurunkan beban emisi, khusus pada PM2,5 yang ditetapkan di angka 41% pada 2030.

“Ini PM2,5 dari rata-rata tahunan atau dari semua sumber pencemar, karena dari draf pergub yang kami temukan belum ada lampirannya,” katanya dalam konferensi pers Koalisi Ibukota, 13 Agustus lalu.

Bondan mengatakan, kalau 41% adalah penurunan PM2,5 dalam satu tahun, maka nilai masih 20 mg/m,3 di atas baku mutu ambien tahunan 15 mg/m. 3 Ini  sesuai lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 22/2021. Karena, PM2,5 tahunan di Jakarta berada pada kisaran 30-40 mg/m3.

Dia mendesak, pemerintah mengedepankan rencana strategis dan solusi jangka panjang, seperti inventarisasi emisi berkala, pengetatan baku mutu udara ambien dan sistem peringatan.

Elisa Sutanudjaja, satu dari 32 warga yang mengajukan citizen law suit pencemaran udara Jakarta mengatakan, pemerintah tidak boleh hanya memberi anjuran pada masyarakat untuk berpindah dari transportasi pribadi pada transportasi publik-massal, tanpa memberi daya tarik pada masyarakat. Misal, tarif transportasi murah, lokasi terjangkau, nyaman dan mudah.

Oke-lah untuk Jakarta yang sudah punya 60% transportasi publik-massal, masih bisalah orang berpindah. Tapi wilayah satelit Jakarta yang transportasinya gitu-gitu aja. Gimana caranya mengharap perpindahan 3 juta pengendara ke transportasi massal, kalau tidak disediakan sarananya?” tanya Elisa.

 

Kabut polusi menyelimuti langit Jakarta dan sekitar. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

********

Exit mobile version