Mongabay.co.id

Terbitkan PP Tambang Pasir Laut, Pemerintah Tak Belajar dari Kasus Pulau Kodingareng

 

Sebagai bentuk penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, sejumlah aktivis WALHI Sulsel dan nelayan Pulau Kodingareng Makassar melakukan aksi bentang spanduk di bawah air, di wilayah bekas penambangan pasir di perairan Sangkarrang, Makassar, Senin (31/7/2023).

“Kehadiran peraturan ini dugaan kami bertujuan untuk melegalisasi praktik penambangan pasir laut di Indonesia. Pemerintah tidak belajar dari kasus tiga tahun yang lalu di Pulau Kodingareng yang dampak dari penambangan tersebut masih dirasakan sampai sekarang,” ungkap Fitrah Yusri, Manajer Kampanye WALHI Sulsel.

Pasca penambangan pasir laut untuk kepentingan pembangunan Makassar New Port (MNP) beberapa tahun silam, sejumlah dampak masih dirasakan oleh masyarakat Pulau Kodingareng seperti terjadinya abrasi dan banjir rob, serta arus dan ombak yang semakin tinggi.

“Perekonomian keluarga nelayan belum pulih total, hingga saat ini banyak dari keluarga nelayan yang merantau keluar pulau untuk mencari penghidupan yang baru,” kata Fitrah.

Selain membentangkan spanduk, para penyelam juga melakukan monitoring ke bekas lokasi penambangan pasir tersebut. Hasilnya, meskipun aktivitas penambangan pasir laut telah dihentikan namun sisa-sisa kerusakan masih ditemukan seperti beberapa terumbu karang yang memutih (bleaching) dan juga lantai laut yang berlumpur.

“Kondisi ini sangat berbeda dengan wilayah lain yang tidak masuk konsesi, di mana terumbu karangnya sangat baik,” ujarnya.

baca : Pemerintah Indonesia Wajib Revisi PP tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut

 

Aksi aktivis WALHI Sulsel bentangkan spanduk menolak kehadiran PP No.26 tahun 2023 tentang pengelolaan sedimentasi laut, di wilayah bekas tambang pasir laut di perairan Sangkarrang, Makassar, Senin (31/7/2023). Foto: WALHI Sulsel.

 

Fitrah menilai dampak sosial dan lingkungan akan terus dirasakan nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng selama kebijakan terkait penambangan pasir laut tidak dihentikan, apalagi dengan kehadiran PP No.26/2023 tersebut.

“Kami menuntut peraturan pemerintah ini dihapus, karena akan banyak menimbulkan kerugian sosial-lingkungan bagi masyarakat dan bisa juga berpotensi merugikan keuangan negara seperti kasus dugaan korupsi pasir laut di perairan Galesong Takalar yang saat ini menjerat dua direktur dari perusahaan pemilik konsesi dan sedang dalam pemeriksaan Kejaksaan Tinggi Sulsel,” tambahnya.

 

PP Bermasalah

Menurut Arfiandi Anas, staf riset WALHI Sulsel, yang melakukan kajian terkait kerusakan lingkungan dan lemahnya penegakan hukum di Sulsel, keberadaan PP ini adalah karpet merah penambangan pasir laut dalam penyusunan IUP.

“Izin usaha pertambangan untuk penjualan dijamin penerbitannya oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batubara atau gubernur dalam Pasal 10 ayat 4, menunjukkan sifat aslinya dalam menarik daya tarik investor untuk menambang pasir laut di Indonesia,” katanya.

Ia menilai pembersihan sedimentasi sebagaimana diatur dalam PP ini dirancang untuk menarik investasi besar pada bisnis pasir laut.

“Reklamasi yang biasanya menjadi megaproyek telah diatur sedemikian rupa dalam pasal ini untuk mempermudah dan mengesampingkan fungsinya sebagai lembaga administrasi melakukan segala cara untuk menarik investor dan keuntungan bisnis di balik kehancuran ekologi.”

Arfiandi menilai dokumen perencanaan dan pengendalian di PP sebagaimana diatur dalam pasal 5 dan 6 menerobos instrumen perizinan lingkungan.

“Dokumen perencanaan yang dimaksud dalam pasal ini disusun oleh tim kajian yang mayoritas hanya diisi oleh pemerintah yang memiliki fungsi administratif namun tidak jelas tugas dan fungsinya untuk apa, terkesan hanya bertujuan untuk melegitimasi dokumen ini dibuat oleh multipihak.”

baca juga : KKP Targetkan PP Sedimentasi Laut Berjalan Tahun ini, Bagaimana Nasib Nelayan dan Dampak Lingkungan?

 

Puluhan nelayan Pulau Kodingareng menggelar aksi di laut di dekat Kapal Queens of The Netherlands, pada Agustus 2020. Nelayan menolak penambangan pasir yang dilakukan PT. Royal Boskali karena merusak wilayah tangkap ikan nelayan. Foto : WALHI

 

Selain itu, tambahnya, tak ada proses pelibatan masyarakat terdampak dalam dokumen perencanaan ini, seperti termaktub dalam pasal 2 UU No.32/2009, yang mengatur mengenai asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Arfiandi juga menilai penggunaan frasa ‘pengelolaan sedimentasi’ yang diselubungi tambang pasir laut ini bisa saja menjadi pintu belakang bagi pelaku usaha yang ingin menambang di lokasi yang bukan zona kawasan pemanfaatan umum tambang pasir laut (KPU-TB-P) di peraturan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) atau rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Padahal, dalam rencana ruang telah diatur mengenai zonasi penambangan pasir laut bukan tanpa sebab yang tidak jelas, ada proses panjang yang ada di dalamnya yang juga telah mengorbankan kepentingan rakyat.

“Hal ini berpotensi memperparah masalah adanya penambang-penambang yang lebih parah dari sebelumnya.”

Dari segi rencana zonasi, menurutnya, juga jelas persoalan sedimentasi dan penambangan pasir laut adalah dua hal yang berbeda. Ia menuding pemerintah dan para pebisnis mencoba mengakali hal tersebut dengan pelintiran kata pengerukan sedimentasi yang diperuntukkan untuk kebutuhan ekspor dan reklamasi.

baca juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

 

Aktivitas penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : independensi.com

 

Dampak UU Omnibus Law Cipta Kerja

Dalam kajiannya, Arfiandi juga menyoroti lahirnya sejumlah kebijakan daerah yang tidak berpihak terhadap masyarakat dan lingkungan hidup, sebagai tindak lanjut dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Salah satu bentuk penyesuaian yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ialah penggabungan tata ruang darat dengan ruang laut dalam satu aturan yakni Perda No.3/2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, di mana Sulsel merupakan daerah yang pertama kali melakukan integrasi ruang sejak keluarnya UU Omnibus Law Cipta Kerja tahun 2020.

Perubahan perda ini dinilai tidak memberikan perbaikan perlindungan bagi lingkungan hidup di berbagai sektor ruang, laut, kawasan hutan, perkotaan dan lain-lain.

“Aturan ini justru memperparah masalah yang telah ada sebelumnya dengan memberikan legalitas atau kemudahan untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam,” ujarnya.

Ia menilai wilayah pesisir dan laut telah menjadi wilayah eksploitasi dengan hadirnya Perda No.3/2022 tentang Tata Ruang Terintegrasi, karena masih memasukkan alokasi ruang tambang pasir laut dan reklamasi yang selama ini telah banyak ditentang oleh masyarakat, seperti reklamasi untuk pembangunan Makassar New Port dan Pulau Lae-Lae.

baca juga : Menyoal Aturan Buka Keran Ekspor Pasir Laut Indonesia

 

Petugas dari Ditjen PRL KKP melihat kapal pengangkut pasir laut di di perairan Pulau Rupat, Provinsi Riau, Senin (14/2/2022). KKP menghentikan operasional tambang pasir tersebut terkait aspek legalitas dan diduga menimbulkan kerusakan pesisir. Foto : KKP

 

Pemberlakuan Aturan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengharapkan aturan PP No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut bisa segera diterapkan tahun ini.  Perusahaan sudah mulai beraktivitas menggunakan PP No.26/2023 tersebut.

“Kalau Pak Menteri (Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono) pokoknya, maunya secepatnya, ya tahun ini,” kata Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi saat acara sosialisasi aturan tersebut di di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa, 25 Juli 2023.

Selain sosialisasi, acara tersebut juga digunakan untuk konsultasi publik untuk membahas bagaimana penerapan teknis PP 26/2023 berupa Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) dari PP No.26/2023 .

“Acara ini juga menampung semua masukan, kekhawatiran, kelemahan PP 26 ini dari pengusaha, NGO dan pihak lainnya,” katanya.

 

Exit mobile version