Mongabay.co.id

Riset: Smelter Nikel di Bantaeng Punya Dampak Buruk untuk Lingkungan dan Warga Sekitar

Aktiitas di kawasan smelter PT Huadi Nickel Alloy Indonesia di Bantaeng, Sulawesi Selatan

 

Sebuah riset berjudul “Bertaruh pada Smelter” yang dikeluarkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar bersama Trend Asia baru-baru ini melaporkan jika keberadaan pabrik pengolahan nikel dan smelter yang berada di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Kabupaten Bantaeng,  Sulawesi Selatan berdampak pada kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitar lokasi.

Dampak pengoperasian smelter yang dimiliki oleh PT Huadi Group yang ada di dua desa, yaitu Papan Loe dan Borong Loe, menyebabkan debu beterbangan, secara khusus di tiga dusun yang terletak berdampingan dengan smelter, yaitu Mawang, Kayu Loe dan Balla Tinggia.

“Keluhan warga adalah asap, debu dan bau yang menyengat yang bersumber dari dalam smelter. Bau menyengat hingga Desa Layoa, di Kecamatan Gantarang Keke. Puncak dari aroma menyengat itu pada malam hari,” papar Ady Anugrah Pratama, peneliti utama riset dari LBH Makassar saat peluncuran hasil riset ini di Makassar (20/7/2023).

Bau itu pun dapat tercium hingga jalan poros Bantaeng-Bulukumba, semakin kencang angin, maka bau ini akan semakin terasa.

“Asap yang dikeluarkan melalui mulut cerobong menyelimuti perkampungan yang berada di sekitar perusahaan. Jika terkena mata, menimbulkan perih. Dalam hitungan kami, ada delapan cerobong dari empat perusahaan yang terus mengepulkan asap di sekitar Pajukukang,” tambah Ady.

 

Kehadiran smelter juga menimbulkan limbah air, di mana pihak perusahaan membuang langsung limbah ke laut, sehingga air berwarna coklat dengan aroma yang menyengat. Foto: LBH Makassar/Trend Asia.

Baca juga: Menilik Pabrik Smelter Nikel di Bantaeng

 

Tidak hanya polusi udara, limbah air yang dikeluarkan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI) langsung dilepaskan ke laut, sehingga air berwarna coklat dengan aroma yang menyengat.

Limbah tersebut masuk ke dalam aliran air sungai, yng mengalir di bawah jembatan di Dusun Kayu Loe, Desa Papan Loe, Pajukukang.

Pihak paling terdampak akibat limpasan limbah adalah para petani rumput laut, yang jadi mata pencarian utama warga setempat. Tanaman rumput laut yang berada dekat dermaga jetty banyak yang rusak dan gagal panen.

“Masyarakat di Dusun Mawang dan Kayu Loe mengeluhkan kapal-kapal pembawa batubara dan pengangkut ore yang sering menerobos bentangan rumput laut. Kondisi ini berlangsung terus-menerus,” tutur Ady.

“Kepada pihak perusahaan mereka berharap agar lokasi rumput laut mereka dibebaskan. Namun perusahaan hanya menawarkan janji. Hingga kini belum ada ganti rugi dari perusahaan.”

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah menemukan pelanggaran hal pengelolaan lingkungan hidup oleh PT HNI. Sanksi administrasi paksaan dituangkan dalam keputusan Menteri LHK Nomor SK 5897/ MENLHK-PNLHK/PPSALHK/GKM.0/07/2022 tentang Penerapan Sanksi Administrasi Paksaan kepada PT Huadi Nickel Alloy Indonesia.

Majalah Tempo pada edisi 27 Agustus 2022 dalam publikasinya “Terkepung Polusi Smelter Nikel”, melakukan uji laboratorium air limbah di laboratorium Sucofindo. Hasil laboratorium yang keluar 14 Juli 2022 mendapatkan temuan bahwa air limbah melampaui atas ambang baku mutu yang telah ditetapkan dalam Peraturan Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2015 tentang baku mutu air.

 

Aksi warga masyarakat dan aktivis menolak kehadiran smelter. Foto: LBH Makassar/Trend Asia.

 

Keringnya Sumur Warga

Masalah lain yang ditimbulkan oleh kehadiran smelter adalah makin sulitnya warga mendapatkan air bersih dari sumur, yang rata-rata berkedalaman 5-10 meter. Sumur adalah sumber utama warga untuk mandi, minum dan bersih-bersih.

Ketika warga protes saat sumur-sumurnya mulai kering, perusahaan lalu mengedarkan air bersih menggunakan mobil tangki, meski itu pun tak bisa menjangkau keseluruhan warga. Beberapa warga lalu harus mengebor tanah lebih dalam lagi hingga 50 meter.

“Jika merujuk pada dokumen AMDAL, PT HNI akan menggunakan hasil penyulingan air laut untuk kebutuhan produksi. Namun faktanya, perusahaan menggunakan sumur-sumur bor di area perusahaan untuk kebutuhan produksinya,” jelas Ady.

Saat rapat dengar pendapat tanggal 29 Agustus 2022 di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bantaeng, perwakilan PT HNI  mengakui menggunakan air tanah untuk kebutuhan produksinya.

Padahal, Direktorat Jenderal Ketahanan Perwilayahan dan Akses Industri Internasional, Kementerian Perindustrian dalam surat edaran nomor B/284/KPAI1.3/IV/2022 tanggal 14 April 2022 menyebutkan larangan pemakaian air bawah tanah perusahaan industri di dalam kawasan industri.

“Aktivitas menggunakan air tanah secara berlebih, selain telah melanggar AMDAL, juga dapat diduga telah ada pelanggaran ketentuan pidana, karena telah menempatkan keterangan palsu dalam AMDAL, yaitu perusahaan yang beroperasi di kawasan KIBA akan menyuling air laut. Sementara pada kenyataannya perusahaan menggunakan air tanah,” lanjut Ady.

 

Warga antara lain mengeluhkan adanya polusi asap, debu dan bau yang menyengat yang bersumber dari dalam smelter, bahkan di jalan poros Bantaeng-Bulukumba, bau itu bisa menjangkau pengendara kendaraan yang melintas. Semakin kencang angin, bau ini akan semakin terbang jauh. Foto: LBH Makassar/Trend Asia.

 

Smelter Nikel di Bantaeng

Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) memiliki luas 3.154 hektar, yang telah ditetapkan sebagai Proyek Stategis Nasional (PSN). Kawasan ini rencananya akan diisi industri kimia, sandang, aneka kerajinan, industri hutan dan perkebunan, industri makanan, hingga hasil laut dan perikanan.

Pemda sendiri telah menerbitkan Perda Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Wilayah untuk kawasan industri.

“Pemda membuat kawasan industri, melakukan pembebasan lahan dan membentuk perusahaan daerah yang berdiri di dalam kawasan industri, memberikan kemudahan perizinan, suplai material, ketersediaan listrik serta fasilitas pendukung bagi investor seperti balai latihan kerja dan akademi Industri manufaktur,” jelas Ady.

Hingga saat ini, sejumlah perusahaan sudah berada di kawasan ini, seperti pengolahan jagung, paving block, isi ulang gas dan smelter nikel.

Kehadiran smelter di Bantaeng oleh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (PT HNI) proses konstruksinya dimulai tahun 2014 dan mulai berproduksi pada tahun 2018, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah pada 29 Januari 2019. Hingga saat ini terdapat 4 smelter yang beroperasi, yang masing-masing perusahaan mengoperasikan dua tungku.

 

Nelayan penjala ikan di Pa’jukukang dengan latar belakang pelabuhan PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Huadi Group memiliki enam perusahaan smelter nikel di KIBA, dimana empat diantaranya telah beroperasi, yakni PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry II. Sedang dua sisanya, yaitu PT Hanseng New Material dan PT Unity, masih dalam tahap konstruksi.

Bagi sebagian pihak, kehadiran smelter nikel menimbulkan pertanyaan, karena di Bantaeng sendiri tak ada tambang nikel.

“Saat itu Pemda Bantaeng melihat pemurnian biji mineral sebagai peluang karena menjadi kewajiban setiap perusahaan mengolah hasil tambang sebelum di ekspor ke luar negeri,” jelas Ady.

Menurut laporan ini, telah terjadi 13 kecelakaan kerja sejak kehadiran smelter di KIBA, lima diantaranya mengakibatkan hilangnya korban jiwa.

Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry menilai angka kecelakaan ini tergolong tinggi.

“Hasil riset Trend Asia tentang kecelakaan kerja untuk seluruh \wilayah industri nikel di Sulawesi dan Maluku, kami menemukan adanya 47 korban meninggal dunia dan 10 dugaan bunuh diri. Ini semua hasil dari regulasi dan oligarki yang membuat Indonesia mundur 40 tahun,” pungkas Ashov.

 

 ***

Foto utama: Aktivitas di pabrik smelter PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version