Mongabay.co.id

Swadaya Warga DIY untuk Pengembangan Energi Terbarukan

 

 

Baca sebelumnya: Pengembangan Energi Terbarukan di DIY Belum Maksimal, Ini Penyebabnya

**

 

Berbagai kelompok warga di DIY [Daerah Istimewa Yogyakarta] menginisiasi pemanfaatan energi terbarukan. Di Gunungkidul untuk pertanian, di Bantul untuk pariwisata, dan di Kulonprogo untuk rumah tangga.

Sawah di Gunungkidul ini tak lumrah. Saat musim kemarau, umumnya lahan mengalami kekeringan hingga retak, tapi di Kelurahan Ngawu, Kapanewon Playen ini tidak. Lahan sawah milik Kelompok Tani Lestari Bulak Sawah ini basah, tak kekeringan apalagi retak-retak.

Saat ribuan lahan sawah di Gunungkidul tak digarap petani, Kelompok Tani Lestari Bulak Sawah justru khusuk menanam. Mereka menanam palawija hingga sayur, seperti terong hingga cabai.

Mukjizat yang dimiliki Kelompok Tani Lestari Bulak Sawah di tengah kemarau di Gunungkidul  adalah pembangkit listrik tenaga surya [PLTS]. Pembangkit ini mampu mengangkat air sedalam 50 sampai 100 meter di bawah tanah, yang diubah menjadi listrik memalui panel surya.

Panel sekitar tiga meter persegi ini berdiri di tengah sawah seluas lima hektar. Di sekitar panel terdapat dua boks alumunium. Boks pertama berisi inverter yang mengubah listrik searah, dari panel surya jadi listrik bolak balik, untuk menggerakkan pompa air. Boks kedua berisi aneka ragam saklar dan pengaman instalasi.

Di samping panel surya dan dua boks itu, ada bangunan dari kayu mirip cakruk. Bangunan itu difungsikan untuk para petani Bulak Sawah istirahat. Di dalam bangunan, tertera jadwal piket yang mengoperasikan PLTS.

Pengurus Kelompok Tani Lestari Bulak Sawah Sumardi [41], menjelaskan panel surya tersebut berkapasitas 5.000 watt.

“Kapasitasnya tidak full, sekitar 3.000-an watt saja. Penurunan daya listrik dari panel surya terjadi karena matahari tidak terlalu terik. Selain itu, waktu teriknya hanya 6-7 jam,” ucapnya,  Sabtu (5/8/2023).

PLTS untuk pertanian di Kelurahan Ngawu, lanjut Sumardi, mulai digunakan awal 2022.

“Sebelumnya, kami hanya mengandalkan tadah hujan. Saat kemarau, saya kerja di Yogja. Sekarang bertani setahun penuh, hasilnya alhamdulilah,” tuturnya bangga.

 

Ketua Kelompok Pengelola Wisata Bukit Tinatar Wintarto, menunjukan panel surya yang digunakan untuk pasokan listrik di objek wisata tersebut. Foto: Triyo Handoko/Harian Jogja

 

Hemat biaya

Sebelum menggunakan PLTS untuk pertanian, lanjut Sumardi, Kelompok Tani Lestari Bulak Sumur berencana menggunakan listrik PLN.

“Tapi biayanyanya tinggi, ada biaya pemasangan apalagi ini di tengah sawah. Sekali isi pulsa Rp20ribu hanya untuk menarik air sumur sehari,” paparnya.

Biaya tinggi itu jadi alasan untuk memilih PLTS.

“Kebetulan, waktu itu kami dapat hibah panel surya dari kampus swasta di Yogja. Perhitungan menunjukkan, murah pakai panel surya,” terangnya.

Meskipun dapat hibah, mereka swadaya menambah biaya lain, seperti beli inverter, baterai aki, dan sambungan pipa paralon. Setiap orang waktu itu habis Rp2 juta untuk patungan.

“Sebelum menggunakan PLTS, para petani menggunakan diesel untuk menarik air dari sumur. Sehari bisa habis Rp20 ribu.”

Dengan PLTS, biaya yang dihabiskan petani untuk pengairan sawah hanya Rp30 ribu per bulan.

“Biaya ini rutin disetorkan ke kelompok untuk pemeliharaan dan tabungan. Bila ganti baterai ada uang,” katanya.

Hemat biaya dari pemanfaatan energi terbarukan dirasakan juga warga Kedungrong, Kelurahan Purwoharjo, Kapanewon Samigaluh, Kulonprogo, yaitu Kelompok Pengurus Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).

Ketua Kelompok Pengurus PLTMH Kedungrong Suhadi, menyebut kapasitas 700 ribu watt yang dihasilkan ini digunakan untuk 60 keluarga.

“Hampir seluruh warga Padukuhan Kedungrung pakai listrik PLTMH ini. Selain untuk rumah tangga kami gunakan juga untuk penerangan jalan kampung,” katanya.

PLTMH Kedungrong, jelasnya, pertama kali diinisiasi pada 2011. Saat itu ada mahasiswa KKN, mereka bikin PLTMH tapi kapasitasnya kecil. Selanjutnya, warga berinisiatif menambah kapasitasnya.

“Kami usulkan juga ke DPRD Kulon Progo, lalu disambungkan ke Dinas PU dan kami dapat hibah dinamo tanpa instalasi. Lalu, kami secara mandiri membuat instalasinya, termasuk ke rumah warga. Kami iuran Rp500 ribu per orang.”

Inisiatif dan swadaya warga, dilirik UGM sehingga ada bantuan peralatan.

“Kami diberi inverter tambahan, saklar pengaman, dan peralatan lain. Seorang pengurus kelompok kami dikirim ke Bandung satu minggu untuk pelatihan pengoprasian PLTMH,” jelasnya.

 

Pengurus Kelompok Tani Lestari Bulak Sawah, Sumardi memperlihatkan boks berisi baterai aki instalasi PLTS yang digunakan untuk menghidupkan pompa air guna pengairan sawah. Foto: Triyo Handoko/Harian Jogja

 

Mendongkrak ekonomi warga

Sejak itu pengembangan PLTMH makin maju, tidak hanya digunakan untuk rumah tangga tapi juga dunia usaha. “Ada tukang las di dusun kami, ada juga tukang kayu, dan lainnya itu sekarang listriknya pakai PLTMH ini,” ujar Suhadi.

Kelompok Pengurus PLTMH Kedungrong juga rutin menggelar rapat bulanan, terkait iuran, jadwal piket, dan rencana lain. Perbulan anggota PLTMH iuran sebesar Rp20 ribu.

“Iuran ini lebih kecil dibandingkan dengan biaya langganan listrik. Sebelum ada PLTMH, saya bayar listrik sekitar Rp250 ribu, sekarang hanya Rp100,” katanya.

Tantangan yang masih dihadapi Kelompok Pengurus PLTMH Kedungrong adalah hasil listrik yang belum stabil, sehingga jarang digunakan untuk perangkat elektronik.

“Inverternya perlu ditambah. Jadi, untuk TV, radio, dan mengisi ulang daya HP, disarankan menggunakan listrik PLN yang stabil, agar tidak cepat rusak,” jelasnya.

Daya ungkit ekonomi energi terbarukan juga dirasakan Kelompok Pengelola Wisata Bukit Tinatar, Kelurahan Srimulya, Kapanewon Piyungan, Bantul. Wisata Bukit Tinatar yang beroperasi sore hingga malam ini menggunakan PLTS untuk penerangannya. Lampu kerlap-kerlip di puncak Bukit Tinatar menjadi daya tarik wisata.

Ketua Kelompok Wisata Bukit Tinatar Wintarto menjelaskan, sejak awal dibuka objek wisata itu menggunakan PLTS.

“Ini merupakan daya tarik bagi pengunjung ditambah pemandangan dari ketinggian. Panel surya diinisiasi pengelola wisatanya sendiri yang difasilitasi kelurahan.”

Meskipun mendapat hibah panel surya, menurut dia, pengelola juga melakukan swadaya.

“Kami patungan Rp50 ribu per orang dengan total 40 anggota. Kami juga rutin bayar tiap bulan untuk operasional harian. Penggunaan panel surya dikarenakan di wilayah ini sinar mentarinya cukup terik. Berkat Wisata Bukit Tinatar, warga Jolosutro, dapat mendongkrak perekonomiannya,” jelasnya.

 

Ketua Kelompok Pengurus PLTMH Kedungrong Suhadi menunjukan instalasi PLTMH Kedungrong . Foto: Triyo Handoko/Harian Jogja

 

Inkonsisitensi kebijakan energi terbarukan

Tingginya minat masyarakat memanfaatkan energi terbarukan, terutama panel surya dengan sisitem PLTS atap rumah, menjadi tren secara nasional. Namun, semangat tersebut menurun karena pemerintah tak inkosisten mendukung PLTS atap rumah.

Juru Kampanye 350 Indonesia Suriadi Darmoko, menilai inkonsisitensi kebijakan pemerintah yang menghambat pemanfaatan energi terbarukan adalah pembatasan sebanyak 15% untuk pemasangan PLTS atap rumahan.

“Hal aneh lagi yang menghambat adalah perizinan, hanya diterbitkan dua kali setahun, di awal dan pertengahan tahun,” jelasnya.

Moko menjelaskan, inkosistensi pemerintah juga terlihat dari minimnya komitmen untuk mengehentikan penggunaan energi fosil.

“Saat ini, BUMN masih terus mendanai energi fosil dan terakhir adalah mendanai PLTU Captive Adaro di Kalimantan Utara. Pendanaan energi fosil mesti dihentikan dan dialihkan ke energi terbarukan,” ujarnya.

Sebaliknya, pemanfaatan energi terbarukan oleh masyarkat tidak tercerminkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT).

“Fokus pemerintah tetap pada industri energi fosil. Ini bisa kita lihat dari pembahasan RUU EBT yang lebih condong membahas energi fosil ketimbang energi terbarukan,” paparnya.

Inkosisitensi dan minimnya komitemen pemerintah pada penguatan energi terbarukan, menurut Moko, membuat geliat masyarkat melakukan pemanfaatannya menurun. Padahal, pemerintah dapat menerbitkan kebijakan yang memudahkan pemanfaatn energi terbarukan oleh masyarkat, terutama pada pendanaan yang jadi kunci utamanya.

“Banyak yang ingin memasang PLTS atap tapi tidak mendapatkan dukungan pendanaan dari institusi perbankan. Perplatsi (Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia) dalam satu diskusi pernah menyatakan, agar biaya penghematan setara dengan biaya cicilan. Setidaknya, pinjaman butuh tenor 8 tahun sementara saat ini pinjaman yang tersedia hanya memberikan tenor 5 tahun. Ini menyebankan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar kredit lebih besar dari penghematan,” terangnya.

Agar masalah pendanaan mendukung masyarkat dalam pemasangan PLTS atap rumahan, pemerintah perlu mencari skema yang tepat.

“Skema pendanaan perlu dibarengi kebijakan yang mendukung transisi energi pada tingkat rumah tangga,” pungkasnya.

 

Triyo HandokoJurnalis Harian JogjaTulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dan 350.org Indonesia

 

Exit mobile version