Mongabay.co.id

Melihat Pembudidayaan Kepiting Kenari dari Pulau Obi

 

Provinsi Maluku Utara (Malut) dengan sekitar 805 pulau yang ada di dalamnya memiliki banyak potensi sumberdaya hayati, baik hewan maupun tumbuhan. Salah satunya adalah ketam atau kepiting kenari (Birgus latro).

Meskipun jumlahnya makin terbatas di Malut, kepiting kenari telah ditetapkan sebagai satwa buru oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SK.257/Menlhk/Setjen/KSA.2/5/2017.

Untuk tujuan penangkaran, pembesaran, dan pemanfaatan ada batasan jumlah individu yang boleh diambil dari alam dan bisa berbeda di tiap daerah tergantung populasi alaminya.

Penangkaran dan perdagangannya telah dirintis oleh Muhdar Hasanat, warga Pulau Obi yang dipusatkan di Pulau Gamumu, Halmahera Selatan, sejak 8 tahun lalu. Dia mendapatkan kuota indukan dan pemanfaatan alam penangkaran mulai tahun 2017 dan izin resmi penangkaran pada 2022 dengan sisa kuota yang masih dapat dimanfaatkan.

Adanya penangkaran itu, membuat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE) Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (ORHL) tertarik bekerja sama untuk studi populasi dan pembesaran ketam kenari. Kerja sama ini dilakukan Kepala PRBE Bayu Adjie dengan Muhdar Hasanat selaku Direktur CV. Pulau Gamumu Sejahtera (PGS) di Gedung BNC, Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno, Cibinong, Jawa Barat, Senin (31/7/2023) lalu.

“Saya berterima kasih kepada BRIN. Semoga mereka dapat mendampingi terutama memberikan masukan, dan data-data yang terpercaya untuk kemajuan penangkaran,” kata Muhdar.

baca : Begini Penampakan Ketam Kenari, Kepiting Terbesar di Dunia

 

Seekor kepiting kenari yang ditangkap setelah diberi umpan daging kelapa. Foto : Muhdar Hasanat

 

Dia menjelaskan kepiting kenari banyak hidup di beberapa pulau di Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan. Dia mendapatkan suplai bibit kepiting kenari untuk penangkarannya dari  Pulau Yoi Gebe dan Patani, Halmahera Tengah serta pulau Obi, Kayoa dan Gane di Halmahera Selatan.

“BRIN memberi standar yang bisa diambil yakni beratnya 1,3 kilogram ke atas. Kalau  dihitung cangkang punggung kepiting kenari atau disebut karapas sepanjang 9,5 cm. Di bawah itu tidak diperbolehkan,” jelasnya kepada Mongabay Indonesia di Pulau Bacan, akhir Juli lalu.

Saat ini populasi ketam kenari di Maluku Utara ibarat traffic light,  dari hijau menuju kuning. Karena itu pemerintah menetapkan termasuk hewan yang dilindungi. Meski begitu masih bisa ditangkap dengan batasan tertentu.

Muhdar diberikan jatah 4.000 ekor bisa ditangkap dalam setahun pada 2019 lalu. Namun realisasinya  tidak sebanyak itu. Jatah yang tersisa hingga 2021 masih ada 2000 ekor lebih yang belum dihabiskan. SK penangkapan ketam/kepiting kenari menjadi satwa buru dari KLHK itu diterima pada 8 Agustus 2017.

Kepala PRBE ORHL BRIN Bayu Adjie menjelaskan sudah saatnya menerapkan penangkaran kepiting kenari melalui ilmu dan riset yang telah dipelajari.

“UMKM menjadi wadah yang tepat dalam meningkatkan kapasitas peneliti. Kita memiliki keahlian dan teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Paling penting BRIN dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, setidaknya dalam hal mengakselerasi laju pertumbuhan dan meningkatkan populasi di alam,”ucapnya dikutip dari laman BRIN.

baca juga : Kepiting Kenari, Kepiting Terbesar di Dunia yang Suka Makan Kelapa

 

Pengukuran standar ketam kenari untuk diperdagangkan dari Halmahera Selatan, Maluku Utara. Foto : Muhdar Hasanat

 

Karena ketam kenari termasuk hewan yang dilindungi, lanjutnya, maka pemanfaatannya akan dibatasi dalam bentuk kuota. Dengan adanya penangkaran atau pembesaran, dapat memastikan populasi di alam aman dan tetap bisa dimanfaatkan secara terbatas.

“Kita dapat memanfaatkan biodiversitas dengan cara yang berkelanjutan, yaitu tanpa mengganggu populasi di alam, tetapi masih tetap dapat memanfaatkan melalui penangkaran perbanyakan dengan sentuhan teknologi dan pembesaran,” tambahnya.

Hal itu juga sebagai cara melindungi sekaligus memanfaatkan satwa dan tumbuhan secara bertanggung jawab. “Saya berharap, kerjasama ini bisa saling menguntungkan kedua belah pihak sekaligus berkontribusi dalam usaha pelestarian alam dan biodiversitas,” katanya.

Bayu menambahkan, ketam kenari merupakan hewan terbesar di kelompok crustasea yang tersebar di sejumlah wilayah tropis di dunia termasuk di Indonesia. Namun sebarannya terbatas di wilayah timur Indonesia yaitu diantara Selat Makassar sampai Papua, termasuk di Provinsi Maluku Utara.

Peneliti PRBE BRIN, Conni M. Sidabalok selaku Koordinator Tim PRBE BRIN menyampaikan, salah satu tujuan kerjasama ini dapat memberikan rekomendasi mengenai jumlah dan kriteria individu dewasa yang optimal untuk pembesaran ketam kenari yang dapat diambil dari alam tanpa merusak keseimbangan populasi di alam.

“Kami berupaya untuk menghasilkan panduan dalam melakukan pembesaran ketam kenari secara alami di luar habitat aslinya. Sehingga dapat menghasilkan produk publikasi internasional maupun nasional,” bebernya.

Harapannya manfaat kerjasama ini bisa saling tukar pengalaman yang baru untuk melakukan pembesaran ketam kenari antara PRBE BRIN dengan CV Pulau Gamumu Sejahtera. “Banyak aspek dalam pembesaran ketam kenari yang belum kita ketahui. Kerjasama ini merupakan kesempatan yang baik mengungkap terkait ketam kenari sebagai kontribusi kita di dunia ilmu pengetahuan dan pelaku penangkaran ketam kenari,” kata Conni.

baca juga : Malut Belum Ada Penangkaran Kepiting Kenari, Jual Beli Masih Ambil dari Alam

 

Seorang ibu memperlihatkan kepiting kelapa (Birgus latro) disalah satu warung makan di kota Ternate, Maluku Utara. Kepiting ini makin langka karena perburuan untuk dimakan. Foto : Akhyari Hananto/Mongabay Indonesia

 

Sekadar diketahui Maluku Utara dengan 805 pulau miliki beragam potensi baik darat maupun laut.  Salah satu potensi yang dimiliki adalah pulau pulau yang ada jadi  tempat  hidup  ketam/kepiting kenari. Hewan  ini sangat diburu untuk dikonsumsi tidak hanya di Maluku Utara tetapi juga dijual antarpulau hingga Jakarta dan Bali.

Data Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Dirjen KSDAE KLHK sesuai hasil riset LIPI/BRIN 2017 lalu menunjukan hampir semua pulau kecil di Malut punya potensi satwa ini. Ambil contoh di Halmahera Selatan ada di Pulau Pisang, Talimau, Pulau Kayoa atau Gamumu di Obi. Begitu juga  di Halmahera Tengah  seperti di Pulau Gebe Halmahera Barat,  Halmahera Utara  dan Halmahera Timur.

Sementara di Ternate sesuai riset Supyan dan kawan kawan dari  Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun 20015 lalu, menemukan  potensi kepiting kenari  ada di bagian barat pulau Ternate.  Riset  pada Juli – September 2015 ini mencari tahu potensi kepiting kenari berukuran dewasa sebagai salah satu upaya pelestarian terhadap hewan yang dilindungi ini.

Dari riset tersebut, induk ketam kenari yang ditemukan di stasiun pengamatan secara total adalah 46 individu per 40.000m2. Sampel yang diperoleh selama penelitian berjumlah 20 ekor  terdiri dari 13 ekor  jantan dan 7 ekor  betina. Hasil itu menunjukan bahwa di Ternate juga ada satwa ini meskipun sangat sedikit.

“Termasuk sangat kecil, namun masih memungkinkan dikembangkan mengingat rasio kelamin jantan dan betina secara umum masih seimbang,” tulis Sufyan, dkk, dalam riset itu.

Jika menginginkan adanya kawasan konservasi ketam kenari di Pulau Ternate  maka perlu penyediaan habitat yang ideal untuk kelangsungan hidupnya.

Kepala Seksi BKSDA Maluku Utara  Abas Hurasan bilang, kepiting kenari yang sebelumnya  masuk hewan yang  terancam  saat ini  jadi satwa buru. Hal ini melalui  hasil riset LIPI/BRIN pada 2017 lalu. Hasil itu jadi dasar KLHK mengeluarkan SK izin buru kepiting kenari bagi beberapa pengusaha yang mengajukan izin usahanya. Di Maluku Utara  hampir semua pulau miliki potensi  ketam/kepiting kenari. “Satwa yang diburu mengikuti prosedur aturan dan ketentuan. Tidak boleh over penangkapan, tentu dengan izin pemerintah,” katanya.

 

Exit mobile version