Mongabay.co.id

Di Mana Puing Malaysia Airlines MH370? Kerang-kerang Kecil Ini Bisa Bantu Melacak Lokasinya

 

 

Seorang ahli geosains dari Universitas South Florida, Profesor Gregory Herbert, memimpin sebuah tim peneliti internasional untuk menciptakan metode baru yang dapat merekonstruksi jalur hanyut dan asal muasal puing-puing penerbangan MH370, pesawat yang menghilang di atas Samudra Hindia pada tahun 2014 dengan 239 penumpang. Dia terinspirasi sejak melihat sejumlah foto puing pesawat yang terdampar di Pulau Reunion, lepas pantai Afrika setahun setelah kecelakaan.

“Potongan pesawat berupa flaperon tertutup oleh teritip dan begitu saya melihatnya. Saya segera mulai mengirim email kepada penyelidik pencarian, karena saya tahu kimia cangkang teritip dapat memberikan petunjuk lokasi kecelakaan,” kata Herbert, dikutip dari Phys, edisi 23 Agustus 2023.

Sebagai seorang ahli biologi evolusi dan konservasi, Herbert mempelajari sistem-sistem kelautan dengan fokus khusus pada invertebrata seperti tiram, keong, dan teritip. Selama dua dekade terakhir, Herbert menciptakan dan menyempurnakan metode untuk mengambil suhu laut yang tersimpan dalam kimia cangkang hewan invertebrata laut.

Herbert sebelumnya telah menggunakan metode ini untuk menentukan usia dan risiko kepunahan keong kuda raksasa [Triplofusus giganteus] di lepas pantai Florida [AS], serta menyelidiki situasi lingkungan sekitar hilangnya koloni kerang tiram [Crassostrea virginica] di Jamestown, Virginia [AS].

Baca: Inilah Ikan yang Terekam Kamera pada Kedalaman 8.300 Meter di Bawah Laut

 

Ilustrasi Pesawat Malaysia Airlines MH370 dan teritip yang dapat digunakan untuk melacak lokasi pesawat tersebut yang hingga kini masih belum ditemukan. Sumber: Interesting Engineering

 

Teritip dan invertebrata laut berkulit lainnya, membentuk cangkang mereka setiap hari, menghasilkan lapisan-lapisan internal yang mirip dengan cincin-cincin pohon. Sifat kimia dari setiap lapisan ditentukan oleh suhu air sekitarnya, saat lapisan tersebut terbentuk.

Dalam penelitian ini, yang diterbitkan di jurnal AGU Advances, tim riset Herbert melakukan percobaan pertumbuhan teritip hidup, untuk membaca sifat kimianya dan untuk pertama kalinya, membuka catatan suhu dari cangkang teritip.

Setelah percobaan tersebut, mereka menerapkan metode yang berhasil ke teritip kecil dari puing pesawat MH370. Dengan bantuan para ahli teritip dan ahli oseanografi di Universitas Nasional Irlandia Galway, mereka menggabungkan catatan suhu air teritip dengan pemodelan oseanografi dan berhasil menghasilkan rekonstruksi jalur drift parsial.

“Sayangnya, teritip terbesar dan tertua belum tersedia untuk penelitian. Namun dengan penelitian ini, kami telah membuktikan bahwa metode ini dapat diterapkan pada teritip yang menempel pada puing-puing sesaat setelah kecelakaan untuk merekonstruksi jalur drift lengkap kembali ke asal kecelakaan,” ujar Herbert.

Baca: Tidak Bergerak 7 Tahun, Salamander Ini Tetap Hidup

 

Pelampung ini digunakan untuk mengumpulkan teritip untuk keperluan penelitian. Foto: Gregory Herbert/University of South Florida

 

Hingga saat ini, pencarian MH370 telah meliputi ribuan kilometer sepanjang koridor utara-selatan yang disebut “Seventh Arc [Busur Ketujuh]”. Penyelidik percaya, pesawat tersebut kemungkinan tetap melayang setelah kehabisan bahan bakar di udara.

Karena suhu laut dapat berubah dengan cepat sepanjang busur tersebut, Herbert mengatakan bahwa metode ini dapat mengungkap dengan tepat di mana pesawat itu berada.

“Ilmuwan asal Prancis, Joseph Poupin, ahli biologi pertama yang memeriksa potongan flaperon pesawat yang jatuh tersebut, menyimpulkan bahwa teritip terbesar yang melekat mungkin sudah cukup tua untuk bersarang di puing-puing sesaat setelah kecelakaan dan sangat dekat dengan lokasi kecelakaan sebenarnya, tempat pesawat berada sekarang,” kata Herbert.

“Jika memang demikian, suhu yang tercatat dalam cangkang-cangkang tersebut bisa membantu penyelidik menyempitkan pencarian mereka.”

Baca juga: Mengapa Hewan Beracun Tidak Mati karena Racunnya Sendiri?

 

Teritip ini diteliti pertumbuhannya sebagai bagian dari riset. Foto: University of South Florida

 

Bahkan, jika pesawat tidak berada di atas busur tersebut, Herbert mengatakan bahwa mempelajari teritip tertua dan terbesar masih bisa mempersempit area pencarian di Samudra Hindia.

“Mengenal kisah tragis dibalik misteri ini, memotivasi semua orang yang terlibat dalam proyek ini untuk mendapatkan data dan menerbitkan hasil kerjanya,” kata Nassar Al-Qattan, lulusan doktor geo-kimia baru-baru ini dari USF yang membantu menganalisis geo-kimia teritip.

“Pesawat itu menghilang lebih dari sembilan tahun lalu dan kita semua bekerja dengan tujuan memperkenalkan pendekatan baru yang dapat membantu melanjutkan pencarian, yang dihentikan pada Januari 2017. Mungkin, dapat membawa sedikit closure bagi puluhan keluarga dari para penumpang pesawat yang hilang itu.”

Penelitian ini dilakukan bekerja sama dengan Ran Tao, geosains spasial USF; Howard Spero, profesor emeritus dari Universitas California, Davis; serta ahli teritip dan oseanografi Sean McCarthy, Ryan McGeady, dan Anne-Marie Power di Universitas Nasional Irlandia Galway. [Berbagai sumber]

 

Exit mobile version