Mongabay.co.id

Jangan Buang Sampah ke TPA Sarimukti

 

Jangan buang sampah ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Sarimukti, sekalipun ada rencana penambahan lahan baru 10 hektar. Kontraknya memang baru berakhir pada Desember 2023, tetapi Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana menambal umur hingga tahun 2025.

TPA yang berjarak 45 kilometer dari Gedung Sate, hampir dua pekan tidak beroperasi lantaran kebakaran sejak Sabtu (19/8/2023) lalu. Hingga Kamis (31/8/2023) kondisi masih belum normal.

Api membakar sampah di area seluas 25 hektar, asapnya tak hanya menurunkan kesehatan warga. Tapi juga bikin riweuh empat pemerintah kabupaten/kota sekaligus, karena terjadi penumpukan sampah.

Mungkin karena itu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil melalui Kepgub No.658/Kep.579-DLH/2023 mengeluarkan keputusan status darurat sampah untuk wilayah Bandung Raya terhitung 24 Agustus hingga 24 September 2023.

Keruwetan tampak terlihat di beberapa sudut Kota Bandung. Di jalan-jalan arteri hingga wilayah padat penduduk terlihat timbunan sampah.

Sebenarnya kota berpenduduk 2,7 juta jiwa ini punya armada pengangkutan sampah sejumlah 188 unit untuk mengangkut 1.300 ton dari total sampah 1.500 ton per hari. Hanya sekitar 10 persen yang terserap dan diolah melalui program pemilahan. Sisanya berpotensi mencemari lingkungan dan aliran sungai.

Kepala Pelaksana Harian Wali Kota Bandung Ema Sumarna mendadak pusing menghadapi masalah sampah kotanya. Sampai membuat satuan tugas (satgas) khusus untuk menangani pengelolaan sampah.

“Kalau ini tiap harinya (sampah) terus bertambah kan bahaya,” kata Ema, Senin (28/8/2023) lalu.

baca : Bandung yang Masih Berkutat dengan Sampah, Sampai Kapan?

 

Proses pemadaman kebakaran di TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 23 Agustus 2023. Petugas kesulitan memadamkan api yang membakar seluas sekitar 7 hektare TPA Sarimukti yang sudah overload itu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ema memang patut gusar, karena bila sudah sepuluh hari pengangkutan sampah tersendat, bakal terjadi penumpukan 13.000 ton sampah di wilayahnya. Sementara kuota tampung dari 55 tempat pembuangan sementara sampah (TPS) sudah melebihi kapasitas.

“Tidak ada alternatif lain selain TPA Sarimukti. Kita kewalahan,” katanya.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar, kebakaran di TPA Sarimukti mencapai lebih dari 16 hektar. Sebanyak enam desa dan kelurahan di Kabupaten Bandung Barat dan dua wilayah lainnya di Kabupaten Cianjur terdampak kebakaran. Kehidupan masyarakat di sebagian wilayah ini, terutama yang berada di dekat TPA terganggu.

Pemprov Jabar, pada Jumat (25/8/2023) lalu telah menyiapkan lahan tempat pembuangan sementara seluas 6,3 hektar di sekitar TPA Sarimukti. Agaknya, skema itu pun belum mampu mengurai masalah sampah.

Sementara itu, kondisi tidak jauh berbeda terjadi di Kota Cimahi. Data Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi menunjukan sampah yang diproduksi mencapai 226 ton atau setara 57 truk sampah. Dari jumlah tersebut, hanya terangkut 47 truk sampah dalam sehari. Penutupan TPA Sarimukti menyebabkan sekitar 1.000 ton sampah di Cimahi tidak terangkut. Saking menumpuknya, mereka berupaya membuang di TPA terdekat, salah satunya ke Bantargebang yang dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta.

 

Tidak belajar dari pengalaman

Kota-kota di Bandung Raya seperti kelimbungan karena mengurus sampahnya. Mereka dituntut punya solusi taktis jangka pendek demi meminimalisir timbunan yang terus menumpuk.

Sebenarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan pendekatan kumpul-angkut-buang (end of pipe) dengan mengandalkan TPA sudah perlu diubah. Mengingat produksi sampah terus meningkat sejalan dengan peningkatan populasi penduduk.

baca juga : Sampah Perkotaan, Bom Waktu yang Terus Berdentang

 

Aktivitas pembuangan sampah di TPA Bantargebang yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta di Bekasi, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kepala Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Emenda Sembiring, memaklumi hal itu. Katanya, sudah seharusnya TPA mulai tidak digunakan sebagaimana amanat perundangan-undangan. Kecuali hanya untuk residu.

Pengelolaan TPA, katanya, tidak optimal karena pengelolaan hanya memberlakukan sistem terbuka (open dumping) atau sampah dibuang tanpa ada perlakuan apapun. Padahal seharusnya perlu dilakukan control landfill dan sanitary landfill agar pengoperasian TPA berkelanjutan. Tetapi dua skema itu jarang dilakukan.

“Biasanya jika tidak berjalan, ini berkaitan dengan biaya dan anggaran,” kata Emenda, saat dihubungi Mongabay Indonesia pada Rabu (30/8/2023).

Anggaran memang menjadi satu diantara banyak variabel penentu pengelolaan sampah yang ideal. Jika sehat, orang bisa lebih berdaya untuk menaikkan taraf hidupnya. Jika pemerintah cukup dana, banyak opsi yang bisa dipakai. Kira-kira begitu analogi Emenda.

“Jika hanya mendorong perubahan perilaku, masyarakat kita belum cukup aware (peduli) karena infrastrukturnya memang belum disiapkan betul. Sehingga mereka merasa itu sia-sia jika dalam pengangkutannya saja masih juga dicampurkan,” terangnya. Memang mengandalkan kesadaran warga tidak cukup, dibutuhkan sistem untuk mengubah perilaku warganya.

Di sisi lain, selama 18 tahun TPA Sarimukti beroperasi, pemerintah daerah tidak berbenah. Buktinya, belum ada perubahan sistem tata kelola persampahan. Padahal historis TPA tersebut difungsikan karena kedaruratan pasca tragedi TPA Leuwigajah.

Di level nasional, pemerintah berkeinginan melakukan perbaikan. Melalui Peraturan Presiden No.97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dengan menargetkan 70 persen penanganan sampah dan 30 persen pengurangan sampah dari sumbernya pada tahun 2025.

perlu dibaca : Teknologi Mudahkan Upaya Pengurangan Sampah Plastik, Seperti Apa?

 

Operator memantau kinerja Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPA Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Oleh karena itu, pengelolaan sampah perlu bertransformasi. Apalagi teknologi pengolahan telah berkembang sangat maju. Sampah bisa dijadikan sumber energi dan bahan bakar seperti refuse derived fuel (RDF) atau solid recovered fuel (SRF). Produk dari turunan pengelolaan sampah ini sudah ada penyalur (offtaker) yang menerimanya.

Pendekatan itu wajib mulai diberlakukan kata Emenda. Dia menekankan pemerintah di daerah mesti berhitung sebelum menentukan pilihan skema pengolahannya. Bisa dimulai dengan mengukur kemampuan mengalokasikan anggaran atau mengatur pembiayaannya. Karena solusi penanganan sampah bukan hanya persoalan memilih teknologi semata.

“Sebenarnya teknologi itu tidak selalu mengatakan yang mana yang bagus, namun yang mana yang tepat,” ujarnya.

Aspek teknis operasional juga perlu perhatian. Ketersediaan dana untuk memelihara, mengoperasikan, kemampuan kapasitas operatornya, termasuk institusi yang akan mengolah pun perlu diperhitungkan. Selama sampah masih tercampur, biaya akan menjadi lebih mahal dan effort-nya juga lebih besar. Sebab tidak ada pengolahan sampah yang cost recovery-nya 100 persen.

Emenda menyarankan kota/kabupaten dengan keterbatasan anggaran bisa memilih teknologi yang intermediate. RDF dan thermal bisa jadi pilihan. Tetapi kuncinya tetap pada master plan mereka.

“Setiap pilihan teknologi itu ada konsekuensinya. Karena kami yang berlatar belakang teknik lingkungan, kami percaya dengan rekayasa dampak paling minimal,” imbuhnya.

menarik dibaca : Pertama di Indonesia, Sampah RDF Jadi Pengganti Batu Bara

 

Petugas memperlihatkan sampah yang diolah dengan teknologi refuse-derived fuel (RDF) menjadi energi bersih di TPST Desa Tritih Lor, Cilacap, Jateng. Foto : dokumentasi panitia

 

Mahalnya Pengelolaan Sampah

Peneliti Program Zero Waste Cities dari Perkumpulan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), Fictor Ferdinand, mengkritisi pola manajemen TPA Sarimukti. Berdasarkan hasil risetnya, ditemukan beberapa prosedur landfill yang tidak dijalankan diantaranya pengecekan hitungan tonase setiap truk sampah.

Fictor merinci, semula kuota sampah yang disepakati ditampung di TPA Sarimukti adalah 1.360 ton tiap harinya. Tetapi sejak 2017, TPA Sarimukti ada peningkatan daya tampung sekitar 1.575-1.960 ton per hari. Jumlah peningkatan itu didominasi sampah dari Kota Bandung sebesar 68-73 persen.

Kini, total akumulasi sampah terhitung dari tahun 2006-2022 mencapai 15,4 juta ton meter kubik. Jumlah itu terbagi dalam 4 zonasi yang masing-masing tinggi elevasinya sudah mencapai 15 meter.

“Artinya kita sudah over capacity lebih dari 700 persen loh. Ini selalu tidak terkontrol dan selalu di atas kapasitas tampungnya karena tidak terkelola tadi,” kata Fictor.

Di sisi regulasi, Fictor mencermati, belum adanya dokumen acuan yang dibahas secara komprehensif. Lantaran minim keberpihakan secara politik baik pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terhadap rencana terpadu pengelolaan sampah.

Demikian pula dengan regulasi pembiayaan sampah. Kata Fictor, penentuan tarif retribusi acapkali tidak memperhitungkan cost recovery-nya. Alhasil, membebani APBD.

Kota Bandung, contohnya. Hanya menyerap retribusi 18 persen dari kebutuhan biaya total layanan. Sisanya, itu tombok ke APBD. Sesungguhnya situasi tidak menguntungkan. Apalagi sedang mempersiapkan beroperasinya Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka untuk enam kabupaten/kota.

baca juga : Pemanfaatan Bahan Bakar Sampah Plastik Munculkan Masalah?

 

Pekerja memilah sampah organik dan plastik di Rumah Pemilahan Sampah yang dikelola Waste4change di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tentunya, kantong anggaran menjadi pertimbangan nantinya. Pilihannya mampu bayar atau tidak. Jika mampu, Fictor memprediksi, paling buruk adalah pembengkakkan anggaran. Jika tidak ada kemampuan pasti bakal balik lagi ke cara usang lagi.

“Coba bandingkan tipping fee di TPA Sarimukti itu berkisar Rp50-60 ribu per ton. Sedianya pindah Legok Nangka itu ada kenaikan sampai enam kali lipat kenaikan ongkosnya atau sekitar Rp300 ribu. Itu pun sudah disubsidi Pemprov,” paparnya. Rencananya Kota Bandung diberi kuota 500 ton sampah per hari.

Sementara, perluasan TPA Sarimukti mungkin hanya sampai 2 tahun. Sedangkan transisi ke TPPAS Legok Nangka setidaknya butuh waktu 5 tahun, kata Fictor.

Di TPA Sarimukti, Gubernur Jabar, Ridwan Kamil mengakui landfill masih menjadi kebijakan pembuangan sampah saat ini. Namun, dia optimis. Transisi pengelolaan sampah menjadi energi bisa direalisasikan di Legok Nangka.

“Pemenang lelangnya sudah ditentukan PT. Sumitomo dari Jepang. Dalam dua tahunan semua persampahan ini akan beralih dengan sistem tidak buang di tempat tapi diolah oleh teknologi canggih menjadi listrik,” imbuhnya.

Legok Nangka bakal menjadi tumpuan selanjutnya. Namun dengan kondisi sekarang, tanpa upaya skenario pengelolaan sampah yang saling terintegrasi dan terkoneksi sampah akan selalu berakhir di TPA. Dan kita selalu ketiban akibatnya. (****)

 

Exit mobile version