Mongabay.co.id

Gugah Peka Pencemaran lewat Parfum Aroma Polusi

 

 

 

 

 

 

Tiga jenis parfum berjajar dalam etalase kaca di Auditorium 3 CGV Grand Indonesia, 25 Agustus lalu. Tak seperti produk sejenisnya, parfum-parfum itu sajikan bebauan yang bisa memperburuk aroma tubuh dengan aroma polusi udara, polusi air dan polusi tanah.

Greenpeace Indonesia, produsen ketiga parfum itu, berupaya mengajak masyarakat kenali aroma terkini bumi. Seperti nama yang mereka berikan pada koleksi produk itu, Our Earth.

Di lokasi pameran, seorang panitia menawari saya merasakan ketiga ‘wewangian’ ini. Parfum pertama, beraroma polusi udara. Namanya The Smoky Air. Lewat sebuah alat bantu yang telah disediakan, saya meneteskan parfum ini lalu menghirupnya.  Saya dekatkan hidung, tak ada aroma kuat.

“Mungkin karena sudah biasa menghirup udara polusi,” kelakar panitia.

Saya coba hirup parfum kedua, The Smelly River. Tanpa ragu saya langsung mendekatkan ke hidung. Seketika, bebauan busuk menyumpal napas.

“Ini bau sekali,” kata saya sambil mengerutkan dahi. Rasanya seperti menghirup aroma selokan air yang berhari-hari tersumbat dan ditumpuki sampah organik maupun anorganik.

Parfum ketiga, The Peril Soil, saya bersikap lebih hati-hati. Dalam jarak setengah meter, beberapa tetes parfum sudah hadirkan sensasi melewati tempat pemrosesan akhir (TPA). Saya langsung meletakkan alat bantu yang diberikan panitia, bau tanah tercemar sungguh menyebalkan.

Ketiga parfum itu dibuat oleh Dedi Mahpud, guru kima asal Bogor juga merangkap konsultan kimia industri di beberapa perusahaan. Ketika Greenpeace mengajaknya bikin parfum beraroma polusi, dia terkejut sekaligus tertantang.

“Saya kira mau bikin parfum wangi, saya sudah siapin formula dan bahan bakunya. Pas ditanya, jawabannya ini (parfum polusi). Idenya, wah gila. Saya merasa tertantang. Boleh dibilang itu ke luar dari logika masyarakat biasa,” kata Dedi kepada Mongabay.

Tidak seperti parfum biasa yang mengandalkan wewangian berbahan alkohol, ketika membuat parfum polusi, dia harus mengumpulkan bahan-bahan alami seperti daging ikan, ayam dan sayur-mayur. Meski bau menyengat, namun parfum itu disebut aman karena dibuat dengan 100% bahan alami.

Dedi berharap, produk yang dia kerjakan selama tiga bulan itu dapat menginspirasi banyak orang untuk mengurangi pencemaran udara, air maupun tanah. “Target kami Indonesia harus bersih, semoga ini jadi parfum beraroma polusi pertama dan terakhir,” katanya.

 

Parfum baru air tercemar. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Hadirkan pengalaman

Bagi Greenpeace, satu tujuan peluncuran produk itu adalah menghadirkan pengalaman bagi masyarakat kelas menengah untuk merasakan dampak polusi, yang selama ini banyak dirasakan masyarakat rentan, tak punya akses dan termarjinalkan.

Charlie Albajili, Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Greenpeace Indonesia mengatakan, produk-produk itu dibuat dalam jumlah terbatas dan tidak diperjual-belikan. Penggunaan parfum sebagai alat kampanye pelestarian lingkungan merupakan pertama kali di dunia.

Produk-produk itu, katanya, diharapkan membuka mata masyarakat, bahwa polusi sudah menempel di tubuh, layaknya parfum yang digunakan setiap hari.

Selain itu, memberi pengalaman bagi masyarakat kelas menengah dan yang hidup berkecukupan, untuk memahami situasi warga di lokasi-lokasi terdampak polusi udara, air maupun tanah hingga dapat menunjukkan solidaritas.

“Melalui produk ini, masyarakat yang jauh dari polusi, benar-benar bisa merasakan seperti apa mengganggunya pencemaran air, tanah dan udara. Ketika masyarakat sudah mengalami, biasanya mereka tidak akan lupa,” katanya.

 

Parfum tanah tercemar. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Momen tepat

Buruknya kualitas udara Jabodetabek sejak bulan lalu, dianggap jadi momen tepat untuk mengingatkan pengabaian terhadap masalah ini merupakan pelanggaran hak hidup sehat dan berdampak kerugian ekonomi.

Berdasarkan laporan Greenpeace dan IQ Air Visual, Juli 2020, polusi udara di Jakarta menelan biaya ekonomi Rp21,5 triliun, atau 1,7 kali lipat dari defisit BPJS, dan setara dengan 26% anggaran Kota Jakarta pada 2020.

“Yang harus dilakukan menyelesaikan dari akar masalah, seperti sumber-sumber pencemar dari industri, transportasi, pembakaran sampah secara terbuka, maupun pembakaran dari PLTU. Situasi saat ini sudah darurat, aksi nyata harus diambil oleh pemerintah,” kata Charlie.

Dia menilai, solusi-solusi itu sebenarnya sudah tertuang dalam gugatan warga yang dimenangkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 16 September 2021. Meski warga kembali memenangkan gugatan di pengadilan tinggi, namun presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagai tergugat, masih mengajukan kasasi.

“Dengan kondisi darurat seperti ini, pemerintah harusnya mencabut kasasi itu, dan segera melaksanakan amar putusan yang ada.”

 

Pafrum aroma udara tercemar. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia
Peluncuran parfum beraroma polusi. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version