Mongabay.co.id

Ikan Bermigrasi Indonesia Terancam Air Radioaktif Nuklir Jepang di Samudera Pasifik

 

Keputusan Pemerintah Jepang untuk melaksanakan pelepasan air olahan yang terkena radiasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima ke laut lepas, bisa memicu terjadinya pencemaran pada perairan laut di Indonesia. Hal itu bisa berdampak pada sumber daya perikanan di dalamnya.

Terjadinya kontaminasi radiasi pada air disebabkan PLTN mengalami kehancuran karena terdampak gempa bumi tsunami berkekuatan 9,0 skala richter (SR). Gempa yang terjadi pada 11 Maret 2011 itu menjadi keempat terkuat dalam sejarah yang tercatat di bumi.

Semua air yang terkontaminasi radiasi tersebut, oleh Pemerintah Jepang kemudian diizinkan untuk dilepaskan ke perairan laut Samudera Pasifik. Pada 24 Agustus 2023, pelepasan air dilakukan dengan total mencapai 1 juta metrik ton.

Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) Marthin Hadiwinata menyebut kalau kegiatan pelepasan air radiasi ke laut bebas adalah bentuk kejahatan dengan kategori pencemaran transnasional.

Bentuk kejahatan seperti itu, bagi Indonesia menjadi ancaman sangat berat dan berbahaya. Hal itu, karena wilayah perairan Indonesia terletak pada lintasan perbatasan perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Posisi tersebut membuat Indonesia ada di tengah pola arus yang bisa membawa air yang terkontaminasi tersebut terbawa masuk ke perairan Indonesia. Kondisi itu bisa berdampak langsung jangka pendek dalam rantai pangan perikanan.

“Juga, dampak jangka panjang yang akan terakumulasi dalam jaringan manusia,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

baca : Menakar Penggunaan Energi Nuklir dan Risikonya Bagi Lingkungan

 

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida memakan ikan yang ditangkap di perairan Fukushima pada Rabu (30/8/2023) untuk membuktikan kepada publik bahwa ikan dari perairan Fukushima aman dikonsumsi setelah pelepasan air olahan yang terkena radiasi PLTN Fukushima ke laut lepas. Foto : Kantor Cabinet Public Affairs Jepang via Kyodo

 

Dia memaparkan, ada spesies ikan bernilai ekonomi tinggi yang habitatnya ada di sekitar perairan Indonesia. Namun, dengan karakter ikan yang biasa melakukan migrasi, maka ada resiko ikan dari Indonesia akan singgah di Samudera Pasifik.

Ikan yang menjadi andalan Indonesia sebagai komoditas perikanan internasional itu, di antaranya adalah ikan Tuna Sirip Kuning atau Yellowfin Tuna (YFT). Ikan dengan sebutan lain Madidihang (Thunnus albacore) itu, dikelola secara regional karena bersifat shared, stradling, dan highly migratory.

Mengingat pentingnya komoditas YFT, maka sangat penting untuk menjaga perairan laut dunia, terutama antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik untuk tetap sehat dan bersih. Untuk itu, tindakan Jepang dengan mengizinkan pelepasan air ke Samudera Pasifik adalah bentuk tidak hormat atas prinsip kehati-hatian.

“Masih terdapat berbagai keraguan dari pakar atas ancaman yang dapat terjadi karena adanya pelepasan air yang terkontaminasi oleh radioaktif PLTN Fukushima,” jelas dia.

Pakar yang dimaksud, di antaranya adalah Pemantau Khusus Hak Asasi Manusia dan Racun, Marcos A Orellana; dan Pemantau Khusus Hak Asasi Manusia dan Hak Atas Pangan, Michael Fakhri dan David Boyd sebagai Pemantau Khusus Hak Asasi Manusia dan lingkungan hidup.

Marthin Hadiwinata menyebut kalau Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas dengan memutus hubungan dagang, khususnya produk perikanan yang berasal dari Jepang. Selain itu, Indonesia juga didesak untuk membawa persoalan ini ke forum internasional, termasuk nota protes dan diplomatik.

“Selain itu perlu juga mengangkat ini ke dalam forum sengketa internasional,” pungkas dia.

baca juga : Pembangkit Nuklir Bukan Solusi, Belajar dari Tragedi Fukushima

 

The tsunami-crippled Fukushima Daiichi nuclear power plant is seen from Namie Town, Fukushima prefecture, Japan August 24, 2023, in this photo taken by Kyodo. Kyodo/via REUTERS

 

Sebelumnya, Greenpeace Jepang juga mengkritik kebijakan yang diambil Pemerintah Jepang untuk melepaskan air radiasi ke laut lepas. Keputusan tersebut mengabaikan bukti ilmiah, melanggar hak asasi manusia masyarakat di Jepang dan kawasan Pasifik, dan tidak mematuhi hukum maritim internasional.

Manajer Proyek Greenpeace Jepang Hisayo Takada seperti dilansir Greenpeace Indonesia, mengatakan kalau pembuangan air radioaktif ke Samudera Pasifik menjadi bentuk mengabaikan kekhawatiran masyarakat, termasuk para nelayan.

Menurut dia, Pemerintah Jepang dan operator PLTN Fukushima, Tokyo Electric Power Company (TEPCO) dinilai keliru karena sudah menyatakan bahwa tidak ada alternatif lain untuk menyelesaikan persoalan air radiasi, selain melepaskannya ke laut lepas. Serta, melaksanakan dekomisioning atau menghentikan operasional reaktor nuklir.

Desakan melaksanakan dekomisioning dilakukan, karena sejak gempa bumi pada 2011 yang menghancurkan PLTN dan semua fasilitasnya, rencana untuk mengakhiri operasional reaktor nuklir terus berjalan namun selalu menemui kegagalan.

Padahal faktanya, puluhan ribu ton air yang sudah terkontaminasi radioaktif akan terus mengalami peningkatan jumlah. Kecuali, ditemukan solusi efektif dan tepat untuk menghentikan produksi tersebut.

“Kami sangat kecewa dan marah atas pengumuman Pemerintah Jepang yang membuang air yang mengandung zat radioaktif ke laut,” ungkap Hisayo Takada.

Kekecewaan itu semakin bertambah, karena Pemerintah Jepang mengabaikan kekhawatiran yang diajukan para nelayan, warga negara, penduduk Fukushima, dan komunitas internasional, khususnya di kawasan Pasifik dan negara-negara tetangga.

baca juga : Pembangunan Pembangkit Nuklir Tenaga Thorium di Pulau Gelasa, Sarat Kepentingan?

 

Kawasan PLTN Fukushima, Jepang. Foto : Christian Åslund/Greenpeace

 

Dia menyebutkan, terus meningkatnya volume air radioaktif dan rencana pelepasan air yang tertunda, menjelaskan bahwa telah terjadi kegagalan rencana melaksanakan dekomisioning reaktor nuklir yang ada di PLTN Fukushima.

Jika itu terus dibiarkan, maka air yang terkontaminasi akan terus terakumulasi selama bertahun-tahun. Jadi, opsi melaksanakan dekomisioning adalah solusi yang harus dilakukan segera oleh Pemerintah Jepang.

Kesimpulannya, Hisayo Takada menyebut kalau pencemaran yang sedang berlangsung di perairan laut Samudera Pasifik karena pembuangan limbah radioaktif, adalah bentuk kesengajaan yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang.

Tetapi, saat ada pilihan untuk menghentikan operasional melalui rencana dekomisioning, Pemerintah Jepang justru bersiap untuk memulai kembali lebih banyak pembangunan reaktor nuklir. Padahal, rencana dekomisioning PLTN Fukushima saja disebut banyak kelemahan, dan penambahan reaktor nuklir justru memicu lebih banyak resiko, terutama resiko keselamatan.

Lebih jauh, jika dikaitkan dengan isu ketahanan iklim yang saat ini melanda dunia, termasuk Jepang, keberadaan PLTN tidak menjadi solusi untuk menangani isu pemanasan secara global. Sementara, di saat sama Jepang juga gagal menghasilkan energi terbarukan yang aman dan berkelanjutan seperti energi angin dan matahari.

Diketahui, sebelum ada izin dari Pemerintah Jepang, pada 8 Juni 2023 air limbah radioaktif sudah terkumpul hingga 1.335.381 meter kubik dan disimpan dalam tangki khusus. Tetapi, 70 persen dari air yang dihasilkan tersebut harus diolah kembali karena terjadi kegagalan teknologi pemrosesan advanced liquid processing system (ALPS).

Fakta tersebut membuat para ilmuwan memberikan peringatan keras kepada Pemerintah Jepang. Peringatan tersebut tentang resiko radiologi dari pembuangan tersebut yang belum sepenuhnya dilakukan penilaian.

Selain itu, ada dampak biologis dari tritium, radiokarbon (karbon 14/14c), strontium 90 (90Sr), dan yodium 129 (129I) yang akan dilepaskan dalam pembuangan tersebut. Mirisnya, semua peringatan yang bisa menjadi bencana alam dan kemanusiaan itu telah diabaikan oleh Pemerintah Jepang.

baca juga : Bagaimana Jika Limbah Nuklir Dibuang ke Angkasa, Atau Matahari?

 

Ilustrasi. Sekelompok ikan tuna sirip kuning (yellow fine tuna). Foto : fisheries.noaa.gov

 

Di sisi lain, Greenpeace Indonesia menyebut kalau Badan Energi Atom Internasional (IAEA) juga memberikan dukungan terhadap rencana Jepang untuk melepaskan air radioaktif. Namun sayang, lembaga tersebut gagal menyelidiki pengoperasian ALPS, dan mengabaikan sepenuhnya puing-puing bahan bakar radioaktif tinggi yang mencair dan terus mencemari air tanah setiap hari dengan volume hampir 1.000 meter kubik setiap sepuluh hari.

Hal lainnya, tahapan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) rencana pembuangan air radioaktif juga mengalami kegagalan yang komprehensif. Padahal, tahapan tersebut menjadi syarat dan kewajiban hukum internasional, karena ada resiko kerugian lintas batas yang signifikan terhadap negara-negara tetangga.

“IAEA tidak bertugas melindungi lingkungan laut global, namun tidak boleh mendorong suatu negara untuk melanggarnya,” ungkap Spesialis Nuklir Senior Greenpeace Asia Timur Shaun Burnie dikutip dari laman Greenpeace Indonesia.

Ketimbang memilih opsi lain, Jepang justru mengambil langkah salah karena pembuangan air radiasi ke Samudera Pasifik hanya akan membuat laut tercemar. Meskipun, laut di saat yang sama sedang menghadapi tekanan sangat besar.

“Ini adalah tindakan kebiadaban yang melanggar hak asasi manusia masyarakat dan komunitas di Fukushima, dan prefektur tetangga lainnya, serta kawasan Asia-Pasifik yang lebih luas,” pungkas Burnie.

Sedangkan pihak IAEA menyatakan telah hadir memantau pembuangan air olahan ALPS dari PLTN Fukushima Daiichi ke laut di lokasi tersebut dan menilai penerapan semua standar keselamatan internasional yang relevan untuk pembuangan air di Jepang.

“Para ahli IAEA hadir di lapangan untuk menjadi mata komunitas internasional dan memastikan bahwa pembuangan limbah dilakukan sesuai rencana dan konsisten dengan standar keselamatan IAEA. Melalui kehadiran kami, kami berkontribusi untuk menghasilkan keyakinan yang diperlukan bahwa proses tersebut dilakukan dengan cara yang aman dan transparan,” kata Direktur Jenderal IAEA Rafael Mariano Grossi seperti dikutip dari laman IAEA.

Analisis independen IAEA di lokasi mengkonfirmasi bahwa konsentrasi tritium dalam air encer yang dibuang jauh di bawah batas operasional yaitu 1.500 becquerel per liter.

 

Exit mobile version