Mongabay.co.id

Perdagangan Karbon, Solusi atau Ilusi Atasi Krisis Iklim?

 

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia meluncurkan pasar karbon pada September ini. Untuk mekanisme perdagangan,  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan peraturan teknis penyelenggaraan bursa karbon melalui peraturan Nomor 14/2023. Aturan ini sebagai pedoman ketentuan tata cara penyelenggaraan perdagangan karbon di bursa karbon, operasional dan pengendalian internal penyelenggara bursa karbon. Ia juga ketentuan mengenai persyaratan maupun tata cara perizinan penyelenggara bursa karbon.  Kalangan organisasi masyarakat sipil menilai,  perdagangan karbon alih-alih jadi jalan mitigasi perubahan iklim, sebaliknya,  sebagai jalan sesat atasi krisis iklim.

“Kami menganggap, perdagangan karbon sebagai jalan sesat dalam mengatasi krisis iklim. Perdagangan karbon hanya menjadi alat mempertahankan ekstraktivisme dan finansialisasi alam, sembari mengenalkan praktik tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu dari pemasaran hijau (greenwashing),” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional, belum lama ini. 

Sejak 2016, Indonesia resmi meratifikasi Perjanjian Paris usebagai komitmen ntuk mengatasi perubahan iklim melalui Undang-undang Nomor 16/2016. UU ini soal Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.

Pemerintah Indonesia pun membuat Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk menempatkan fungsi layanan hutan menjadi jasa yang dikonversi menjadi nominal tertentu.

Setelah itu, pemerintah juga mengeluarkan UU dan peraturan dari berbagai kementerian terkait untuk melengkapi kerangka kebijakan perdagangan karbon. Misal, UU Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), yang mencakup aturan mengenai bursa karbon; dan UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, juga mengatur tentang pajak karbon.

 

 

Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar yang asap batubara dari operasionalnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat.   Dengan perdagangan karbon, pembuat emisi di satu wilayah, bisa mengganti ‘jaga’ emisi di wilayah lain. Organisasi masyarakat sipil menilai ini sebagai solusi palsu.  Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ada juga, katanya,  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/2022 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional. Juga Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16/2022 tentang tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon sub sektor pembangkit tenaga listrik.

Untuk sektor kehutanan, kata Uli,  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun menerbitkan Keputusan Menteri No.168/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FoLU) Net sink 2030 untuk pengendalian perubahan iklim. Selain itu, KLHK juga mengeluarkan Surat Edaran  No.5/2023 tentang aksi iklim dan tata kelola kerjasama karbon, yang disebar kepada semua gubernur di Indonesia.

Semua kebijakan itu, katanya, untuk mendukung perdagangan karbon yang diklaim sebagai langkah mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah dampak krisis iklim. Padahal, kata Uli, pelepasan emisi karbon bukan sekadar melepas GRK ke udara, juga terkait perusakan sistematis sosial-ekologis.

“Penurunan emisi GRK adalah keharusan, pemulihan kemampuan lingkungan dan sosial dalam menghadapi krisis iklim juga kemutlakan. Emisi GRK dan perusakan lingkungan maupun sosial tak bisa dipisahkan, layaknya dua sisi mata uang,” katanya.

Jangan sampai, kata Uli, kebijakan dagang karbon sebagai bentuk pembiaran pelepasan emisi dan efek kerusakan sosial-ekologis di satu wilayah, dengan mengganti kurangi emisi dan perlindungan ekosistem di wilayah lain.

Upaya pemerintah mempersiapkan perdagangan karbon, katanya,  dengan menyampingkan pemulihan perusakan sistematis sosial-ekologis adalah jalan sesat atasi krisis iklim.

“Jika ditelusuri lebih jauh atas dokumen-dokumen negara, akan ditemukan,  persoalan pencemaran dan perusakan sosial-ekologis bentang alam di tempat sumber emisi jadi sekadar masalah emisi karbon. Perspektif yang bersifat reduksionis inilah yang menjadi landasan pikir pemerintah dalam upaya penyelesaian krisis iklim,” katanya.

 

Hutan adat di Mentawai. Masyarakat adat, salah satu yang rawan tertimpa masalah saat dagang karbon berjalan. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Jalan sesat lagi, katanya, kalau pengurangan emisi tetapi terpisahkan dari agenda pemulihan alam dan sosial. Sederhananya, penyelesaian krisis iklim hanya terpusat pada upaya menurunkan emisi tanpa memperhatikan keselamatan dan keberlanjutan sosial-ekologis di tempat sumber emisi (in situ) maupun wilayah lain (ex situ).

Dengan begitu, berarti pengurangan emisi adalah agenda yang memperbolehkan merusak wilayah lain, yang dapat menurunkan kemampuan alam dan manusia secara drastis menghadapi krisis iklim, bahkan bisa menyebabkan kepunahan.

“Agenda ini, jika kita benturkan pada kenyataan bahwa pelepasan emisi dan proses perusakan sosial- ekologis bersifat sistematis, secara gamblang bisa kita lihat bahwa perdagangan karbon bukanlah sarana penting mengatasi krisis iklim,” katanya.

Inisiasi perdagangan karbon sebenarnya berawal dari Protokol Kyoto 1997. Saat itu, Protokol Kyoto menjadi basis operasional Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau (UNFCCC) yang mengatur hak mencemari udara yang dulunya diberi cuma-cuma kini bersifat eksklusif dan terbatas, serta membentuk mekanisme pasar yang fleksibel, didasarkan pada perdagangan emisi. Sederhananya, pendekatan yang diadopsi dunia untuk mengurangi emisi GRK adalah melalui perdagangan berbasis pasar.

Perdagangan emisi ini merupakan sebuah mekanisme untuk memperjualbelikan izin dalam mencemari dan menjual karbon. Ada sejumlah metode ditawarkan UNFCCC, seperti clean development mechanism (CDM). Ini metode dengan membuat proyek ramah lingkungan di negara berkembang, seperti bangun pembangkit listrik tenaga angin di India, atau tenaga surya di Tiongkok. Bantuan itu, katanya,  sebagai ‘penambal’ atau offset negara maju yang punya emisi melebihi batas.

Ada juga metode cap and trade atau ‘batasi dan dagangkan. Metode itu,  merupakan perdagangan “hak emisi” oleh perusahaan kepada perusahaan lain, ataupun negara ke negara lain. Negara-negara atau perusahaan-perusahaan dengan hak emisi surplus, misal,  dapat memperdagangkan kepada negara-negara atau perusahaan-perusahaan yang emisinya melebih batas yang ditetapkan.

Metode lain, reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD+) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang diklaim sebagai penyeimbang massa karbon dioksida GRK yang menumpuk di atmosfer. Skema ini, katanya,  membuat korporasi yang hendak mencuci dosa menginvestasikan dana untuk mencegah kerusakan hutan di negara berkembang penyimpan karbon,  terutama negara-negara pemilik hutan tropis besar, macam Indonesia. Hutan, katanya, jadi obyek proyek atau jadi komoditas.

Skema REDD+ ini memberikan kesempatan kepada perusahaan yang menjaga hutan dapat jatah emisi atau kredit karbon bagi industri mereka. Hal ini yang mengabaikan fakta sumber karbon dioksida sebenarnya dari perusahaan bahan bakar fosil, perkebunan monokultur sawit skala besar, logging, pabrik semen, pertambangan batubara, emas, nikel, serta aktivitas negara-negara industri sebagai penyumbang sebagian besar emisi karbon.

“Perusahaan atau negara-negara industri khawatir jika ekstraksi batubara, minyak bumi, gas atau monokultur sawit skala besar serta industri ekstraktif lainnya harus diakhiri. Hingga, REDD+ dipakai untuk menunda keputusan dengan berpura-pura melindungi hutan atau menanam jutaan pohon yang dianggap dapat membatalkan krisis iklim,” kata Uli. Seharusnya, negara maju dan korporasi menurunkan drastis emisi mereka.

 

Melepas karbon dengan mengganti hutan jadi kebun sawit di satu daerah, bisa ‘membayar’ lepasan emisi karbon di daerah lain. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ancaman bagi masyarakat

Perdagangan karbon yang digadang pemerintah sebagai salah satu solusi krisis iklim berpotensi menggusur dan merampas tanah dan hutan masyarakat adat dan komunitas lokal. Pasalnya, perdagangan karbon berdasarkan lanskap dan izin konsesi kehutanan perusahaan.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, perdagangan karbon akan merusak hubungan antara masyarakat adat dan hutan yang merupakan ruang hidup mereka. Masyarakat adat, katanya,  mamandang hutan bukan hanya dari segi ekonomi, juga religius, historis, kultural, dan ekologi.  Hutan, katanya, identitas masyarakat adat yang diwarisi leluhur untuk keberlangsungan hidup dan generasi mereka.

“Apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia dengan mangamini perdagangan karbon menjadi satu mekanisme pasar membuat hubungan masyarakat adat dan hutan serta sumber daya alam akan terputus. Ada sekitar 80% masyarakat adat tinggal di kawasan hutan,” katanya.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon menjelaskan hak atas karbon itu adalah milik negara. Sedangkan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 yang mengakui hutan adat dan wilayah adat, bukan milik negara.

Kebijakan itu, katanya, bertolak belakang, karena karbon bagian yang tak terpisahkan dari sekumpulan hak masyarakat adat yang bersumber dari hutan adat mereka.

AMAN pun pernah judicial review ke Mahkamah Agung Perpres Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, tetapi upaya itu ditolak. Perdagangan karbon, katanya, juga upaya kolonialisasi pemerintah terhadap penguasaan lahan dan hutan, serta ruang hidup masyarakat adat.

“Perdagangan karbon adalah solusi palsu mengatasi krisis iklim, dalam implementasinya tidak diimbangi dengan upaya pemulihan hak dan pengakuan serta perlindungan masyarakat adat yang selama ini menjaga ekosistem hutan.”

 

Masyarakat Adat Moa sedang membersihkan sungai yang digunakan untuk pembangki listrik dengan kincir air. Merekalah para penjaga hutan. Bagaimana dampak terhadap masyarakat adat ketika perdagangan karbon datang? Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

 

Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional juga menilai, perdagangan karbon sebagai upaya mempertahankan dan memperpanjang ekstraktivisme dengan menjaga sikut kapital tetap dikendalikan negara-negara maju atau industrinya.

Urusan perdagangan karbon ini tidak ada hubungan dengan masyarakat adat, karena semua akan dipegang kendali oleh industri  melalui negara.

“Kita semua yang terdampak dengan krisis iklim, tapi dalam merumuskan solusi, alih-alih melibatkan masyarakat, yang terjadi justru memicu perluasan kerusakan bagi ruang hidup masyarakat adat,” kata Melky.

Dengan ada perdagangan karbon, industri yang jadi perusak hutan bisa dianggap sebagai penjaga hutan. Jadi, katanya, perdagangan karbon merupakan solusi palsu dalam menghadapi krisis iklim bahkan akan memicu persoalan baru. “Perampasan lahan dan penyingkiran masyarakat adat dan komunitas lokal.”

Skema atau upaya mengatasi krisis iklim,  katanya,  terlalu berisiko kalau hanya diserahkan ke negara. “Akan terlalu banyak hak yang akan dikorbankan.”

Menurut Melky, pemerintah cenderung tak mau menyentuh akar persoalan yang sebenarnya dalam mengatasi krisis iklim. Industri-industri ekstraktif itulah, katanya, yang jadi pemicu utama bumi ini sakit. Hutan terbongkar dan ruang hidup masyarakat adat, nelayan, dan petani hancur.

Roni Septian, Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga tak jauh beda. Katanya, perdagangan karbon adalah kamuflase oleh perusahaan-perusahaan perampas tanah, hutan, polutan, untuk menutupi krisis ekologi dan sosial yang sesungguhnya.

Dia bilang, perdagangan karbon jadi penyebab konflik agraria berikutnya di Indonesia.

Data KPA menyebut, pada 2022, luas wilayah terdampak konflik agraria naik 100% dari tahun sebelumnya, sedang korban naik 43%. Rinciannya, ada 212 konflik agraria sepanjang 2022 di berbagai sektor investasi dan bisnis berbasis korporasi. Konflik ini terjadi di 459 desa dan kota di Indonesia di atas tanah seluas 1.035.613 hektar dengan masyarakat terdampak sekitar 346.402 keluarga.

“Jika pemerintah berkomitmen mengatasi krisis iklim, harusnya mereka mencabut izin-izin perusahaan tambang dan sawit di kawasan hutan, dan lahan-lahan itu dikembalikan ke petani, masyarakat adat. Kenapa pemerintah harus mencari jalan memutar melalui skema perdagangan karbon?,” kata Roni.

 

 

Air sungai berubah warna kala di hulu ada pembukaan lahan untuk tambang nikel. Merusak hutan, merusak lingkungan tak bisa hanya dihitung dengan menambah atau mengurangi hitungan lepasan karbon di atas kalkulator, tetapi dampak kerusakan jangka panjang terhadap lingkungan dan manusia di sekitarnya, bagaimana? Foto: dokumen warga

 

Dengan melihat dinamika saat ini, Walhi, AMAN, Jatam, dan KPA, sama-sama menegaskan, perdagangan karbon adalah jalan sesat atasi krisis iklim. Mereka sama-sama menyuarakan, seharusnya Pemerintah Indonesia berhenti menerbitkan izin usaha pertambangan, hak guna usaha perkebunan sawit monokultur, dan izin sektor kehutanan. Juga setop pembangkitan listrik batubara dan gas, serta pembangunan industrial lain yang dibalut proyek strategis nasional (PSN), bukan malah perdagangan karbon.

“Pemerintah Indonesia harus benar-benar berhenti membongkar fosil dari dalam tanah. Jika pembongkaran karbon fosil di bawah tanah dan mengubah menjadi batubara, energi listrik, bensin, solar, dan kemudian membakarnya menjadi bahan bakar fosil, karbon akan tetap berada di atmosfer dalam waktu sangat lama,” kata Uli.

Pemerintah juga diminta rekognisi hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta melindungi praktik-praktik dalam menjaga hutan. Dari tangan-tangan masyarakat adat/lokal inilah yang selama ini menjaga dan memulihkan hutan tersisa di Indonesia.

Uli bilang, langkah keliru kalau korporasi yang diberikan hak mengkonservasi hutan melalui izin-izin restorasi ekosistem, yang justru menggusur rakyat demi perdagangan karbon.

“Negara-negara maju juga seharusnya mengoreksi kebijakan mereka yang terus mempertahankan industri fosil sembari mendapatkan keuntungan dari praktik perdagangan karbon dengan skema offset. Pertanggungjawaban mutlak atas loss and damage harus ditujukan pada pemulihan alam dan pemulihan hak rakyat yang selama ini terlanggar.”

 

Industri ekstraktif datang, hutan terbabat. Dalam perdagangan karbon, orang-orang terdampak karena ruang hidup mereka hilang, apakah masuk hitungan? Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version