Mongabay.co.id

Tambang Wadas Jalan Terus, Pakar Hukum: Bukti Kegagalan Negara Lindungi Warga

 

 

 

 

 

Suara protes dan penolakan warga Wadas, Kecamatan Purworejo, Jawa Tengah,  lahan mereka jadi area tambang untuk pasokan material proyek Bendungan Bener,  seakan tak digubris pemerintah. Proyek pembangunan jalan terus.

Boden, warga Wadas mengatakan, selama ini, alam Wadas memberi mereka penghidupan lewat hasil perkebunan. “Kalau itu kemudian ditambang, kami harus bagaimana?” katanya.

Dia menolak untuk menyerahkan tanah untuk ditambang. Baginya, melepaskan lahan, sama dengan menyerahkan masa depan.

Keteguhan Boden itu harus berhadapan dengan sikap ngotot pemerintah. Bahkan, awal September lalu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purworejo mengundang para pemilik lahan guna dimintai tanda tangan.

“Tidak ada ruang untuk menyampaikan hak kami. Tidak ada pilihan. Kami hadir, jelas itu tidak sesuai apa yang kami perjuangkan. Kami tidak hadir, dianggap setuju dengan pemberian ganti rugi,” ujar Boden.

BPN mengundang warga para pemilik lahan di Wadas, termasuk mereka yang menolak untuk melepaskan lahan.

 

Baca juga: Warga Wadas Bertahan, Tolak Penambangan buat Proyek Bendungan Bener

Tambang pengerukan matrial untuk bangun Bendungan Bener, mulai jalan di Wadas. Foto: Foto: dokumen Gempadewa

 

Pemanggilan itu disebut-sebut sebagai tahap akhir sebelum pemerintah mengambil paksa lahan milik warga. Mereka yang tidak hadir, uang ganti rugi akan dititipkan di pengadilan (konsinyasi). “Kami benar-benar tidak punya pilihan,” kata Boden.

Penuturan yang sama disampaikan warga lain, Susi. Dia bilang, sejak awal, tidak pernah tahu bila Wadas akan jadi lokasi pertambangan. Warga, tidak pernah diajak musyawarah.

“Kami baru tahu setelah orang-orang dari kecamatan datang ke Wadas dan menyampaikan ada penambangan untuk Bendungan Bener,” kata Susi.

Mendengar itu, Susi dan warga sontak menolak. Rencana itu tidak hanya membuat lingkungan di Wadas rusak juga warga terusir.

Bagi Susi, Wadas tak hanya tempat tinggal. Lebih dari itu, alam Wadas yang menjadi bagian dari perbukitan Menoreh adalah sumber penghidupan.

Menurut Susi, ada sekitar 27 mata air terancam bila tambang itu diteruskan. Padahal, dari sumber-sumber itu warga mengandalkan pasokan air.

Alasan penolakan lain, kata Susi, hilangnya mata pencaharian. Sebagian warga Wadas bekerja sebagai petani. Dengan jadikan Wadas area tambang, sekaligus menghilangkan sumber mata pencaharian warga.

“Kami ini hanya bekerja sebagai petani. Kalau tanah dirampas, kami harus bertani dimana? Kami tidak akan bisa lagi menanam sayuran,” katanya.

Rencana tambang di Wadas, juga akan menimbulkan dampak sosial tak sedikit. Warga yang terusir, harus menata hidup, mencari sumber pencaharian baru dari nol.

“Ini yang membuat kami terus menolak. Mengapa pemerintah begitu ngotot dan mengintimidasi kami untuk menyerahkan tanah-tanah kami. Padahal itu hak milik kami.”

Susi pun telah mengadukan persoalan itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sampai saat ini belum ada perkembangan lanjutan.

 

Baca juga: Kasus Desa Wadas, Pakar: Cara Pembangunan Rawan Rugikan Rakyat

Protes warga atas tambang di Wadas untuk material Bendungan Bener. Foto: dokumen Gempadewa

 

 

Sewenang-wenang

Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas simpati kepada warga yang terus melawan kebijakan pemerintah menambang Wadas. Dia mendukung sikap itu.

“Sejak awal, PP Muhammadiyah bersama organisasi masyarakat sipil konsisten mendukung gerakan ini,” katanya saat media briefing situasi terkini konflik agraria di Wadas.

Busyro mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah pada warga Wadas merupakan bentuk kesewenang-wenangan. “Ini merupakan tragedi kemanusiaan.”

Celakanya, situasi itu tidak hanya dialami warga Wadas juga masyarakat lain yang terdampak proyek-proyek strategis nasional (PSN), seperti di Sumatera Utara.

“Ini merupakan refleksi atas buruknya kebijakan di sektor hulu. Dalam hal ini adalah pusat, melalui sejumlah kementerian. PSN menjadi dalih negara untuk melakukan kejahatan terhadap warganya sendiri” katanya.

Busyro pun menilai,  sikap pemerintah yang memaksa warga Wadas menyerahkan tanah sebagai pelanggaran HAM. “Itu pelanggaran konstitusi karena pemerintah yang harusnya bertugas melindungi warganya justru bertindak sebaliknya.”

Pemerintah tidak boleh memaksakan kehendak dengan jalan konsinyasi. Menurut Busyro, konsinyasi yang ditawarkan pemerintah merupakan bentuk kesewenangan. Warga Wadas, katanya,  berhak menentukan sikap, mereka menerima atau menolak.

Indonesia, katanya,  bukan hanya milik pemerintah, para elit, atau konglomerat yang mengambil alih kekuasaan negara tetapi milik rakyat.

Raudatul Jannah dari LBH Yogyakarta, mengatakan, pemerintah tidak memiliki landasan hukum kuat memaksakan kehendak di Wadas. Beberapa aturan yang dipakai untuk meloloskan rencana itu, di nilai cacat prosedur alias maladministrasi.

“Tambang tidak termasuk dalam definisi kepentingan umum. Tetapi, pemerintah ugal-ugalan dengan memaksakan konsinyasi bagi warga yang menolak tambang.”

Nana menyayangkan putusan PTUN Semarang dan Jakarta yang tidak melihat detil kasus ini. Majelis hakim yang menolak gugatan warga hanya mendasarkan putusan pada PSN.

“Hanya karena status PSN, aturan-aturan lain diterabas. Padahal, untuk tambang itu ada aturan sendiri. Harus ada izin dan sebagainya,’ katanya.

Karena itu, dia pun menyebut bila tambang di Wadas adalah ilegal. Terlebih, izin penetapan lokasi (IPL) Wadas juga habis masa berlaku 7 Juni lalu.

Sayangnya, sekalipun IPL sudah habis masa berlaku, tahapan di lapangan tetap jalan seperti biasa, termasuk pembebasan lahan. Bahkan, saat ini, pembukaan akses jalan tinggal menyisakan ratusan meter ke lokasi  tambang.

“Harusnya ini disetop dulu karen IPL sudah habis. Jangan hanya karena status PSN pemerintah atau pemrakarsa main terobos saja,” kata Nana, kini kasasi atas putusan PTUN sebelumnya.

Julian Duwi Prasetia, Direktur LBH Yogyakarta,  mengatakan, selain litigasi, upaya non litigasi juga ditempuh agar pemerintah mau mendengar suara warga Wadas. Usaha itu, katanya, belum membawa hasil berarti.

Beberapa lembaga negara yang sempat didatangi antara lain Komnas HAM, Ombudsman, sampai DPR. Sayangnya, tindak lanjut dari lembaga-lembaga itu belum berdampak signifikan.

Julian menyayangkan sikap pemerintah seolah melihat tambang di Wadas sebagai sebuah keharusan. Dengan begitu, tidak ada ruang bagi pemerintah mengkaji ulang keputusan ini.

“PSN ini seperti barang sakral, tidak bisa disentuh, tidak bisa direview.  Wong mereka punya kewenangan kok, kenapa tidak? Tanpa digugat pun sebenarnya kalau mau, pemerintah bisa me-review-nya,” kata Julian.

 

Warga protes pengerukan bukit untuk bangun bendungan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Kegagalan negara lindungi warga

Kritikan sama juga dari pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman. Menurut dia, konflik di Wadas menjadi bukti kegagalan negara melindungi dan menjamin hak setiap warga.

Alih-alih melindungi, negara terang-terangan memaksa warga menyerahkan lahan dengan cara konsinyasi. “Secara hukum itu cacat prosedur.”

Menurut Herlambang, apa yang dilakukan negara pada warga Wadas bukan hanya pelanggan hukum juga konstitusi.  Dia menyebut, ada 10 dosa atau pasal dalam konstitusi yang dilanggar negara.

Pertama, negara berdosa atas kewajiban konstitusional untuk menjamin hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hal ini, katanya,  sebagaimana tertera dalam Pasal 28 A UUD’45.

Kedua, negara membiarkan kekerasan terjadi pada anak-anak Wadas. “Kita saksikan kekerasan itu terjadi dan dampaknya sampai sekarang masih terasa,” kata Herlambang.

Ketiga, negara melumpuhkan pemenuhan kebutuhan dasar warga Wadas dan menjatuhkan kualitas hidup dan kesejshtersan warga. Hal itu sebagai pelanggaran Pasal 28 C ayat 1.

Keempat, negara berdosa karena tidak memberi jaminan hak atas bersama untuk memperjuangkan penolakan pertambangan di kampungnya. Hal itu sebagai pelanggan Pasal 28 C Ayat 2.

“Padahal warga Wadas punya mimpi memajukan kampungnya, bangsa dan juga negaranya.”

Kelima, warga Wadas tidak lagi diakui, dijamin, bahkan tidak dilindungi dengan sistem hukum yang adil. Selain itu, warga juga diperlakukan secara berbeda, di hadapan hukum, terutama berhadapan dengan program PSN Bendungan yang berdampak pada memaksa penambangan di kampung mereka.

Keenam, negara melanggar hak warga Wadas unyuk memperoleh informas dan mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Serta berhak memperoleh, mencari, memiliki  mengolah, menyimpan informasi dan mendapatkan informasi.

Menurut Herlambang, pelanggaran itu berkaitan dengan kasus peretasan dan serangan siber pada warga Wadas, hingga pemutusan akses internet.

Ketujuh, kekerasan oleh aparat dan premanisme menunjukkan kegagalan negara menjamin hak atas perlindungan diri pribadi dan keluarga, kehormatan, dan martabat, maupun harta benda dari rasa aman. Juga perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia.

Kedelapan, negara gagal menjamin hak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Kesembilan, negara gagal menjamin hak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Kesepuluh, negara gagal menjalankan mandat konstitusional melindungi, memajukan, menegakkan, memenuhi hak asasi manusia.

Herlambang mengatakan, sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi sempat melakukan kajian atas status hukum kasus Wadas. Hasilnya, mereka menilai rencana itu cacat hukum.

“Sampai hari ini kami ingin duduk bareng dengan ahli dari pemerintah. Kami siap bicara terbuka. Tetapi belum pernah dipenuhi oleh pemerintah.”

Menurut dia, ruang diskusi sangat penting agar kasus serupa tidak terus terjadi. Selain di Wadas, pemaksaan negara juga terjadi di banyak tempat.

David Effendi, perwakilan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah menyorori PSN banyak memicu konflik dengan masyarakat.

“Ini tak lepas dari nafsu pemerintah yang cenderung mengakomodir industri ekstraktif ketimbang ekonomi hijau. Ada Trenggalek, Banyuwangi yang sama-sama berkonfik,” katanya.

 

Aksi protes warga Wadas, yang ruang hidupnya terancam. Foto: dokumen Gempadewa

 

David memprediksi, ke depan, eskalasi konflik akan meningkat seiring dengan berlakunya   UU Cipta Kerja. Hal itu, katanya,  diperparah dengan sikap pemerintah yang seolah-olah tidak mau mendengar.

“Pemerintah tidak mau mengoreksi. Tidak mau mendengar berbagai macam masukan para ahli, akademisi, juga kelompok masyarakat sipil.” Sikap itu, katanya, seolah mengonfirmssi kalau klaim demokrasi hanya bualan belaka.

Sikap acuh pemerintah itu, katanya,  sebagai pengkhianatan terhadap amanat reformasi, terutama berkaitan dengan desentralisasi.

Desentralisasi itu,  sejatinya untuk memberi ruang daerah mengembangkan potensi wilayah secara mandiri. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya.

Rina Mardiana, dari Pusat Studi Agraria IPB mengatakan, konflik di Wadas merupakan potret bagaimana relasi kuasa dan paradigma pembangunan memicu krisis sosio agraria-lingkungan di tingkat tapak.

Konflik di Wadas, katanya,  memberikan pelajaran, pertama, bagaimana mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan yang menggunakan instrumen kebijakan negara dan melalui pengerahan aparat.

Kedua, sejauh mana dampak krisis sosio agraria-lingkungan serta konflik sosial antar masyarakat itu terjadi.

Rina menyebut, proses pengadaan tanah di Wadas memicu kontestasi antara negara versus rakyat. Negara, dengan perangkat yang dimiliki berhasil menundukkan warga dan sukses mendulang peralihan lahan dari tangan rakyat ke negara.

“Warga yang takluk itu selanjutnya disebut sebagai pihak pro.  Warga yang terus berjuang melawan potensi ancaman krisis agraria-lingkungan di tanah-air mereka, disemati stigma kontra,” kata Rina dalam rilis yang diterima Mongabay.

 

*****

Exit mobile version