Mongabay.co.id

Skema JETP Harus Lirik Transisi Energi Tingkat Komunitas dan Masyarakat

 

 

 

 

 

 

Peluncuran dokumen investasi dan kebijakan komprehensif (comprehensive investment and policy plan/CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) mundur ke ahir tahun ini dari rencana awal 16 Agustus lalu. Pemerintah nyatakan akan konsultasikan dokumen CIPP JETP kepada publik dan hitung ulang perencanaan sebelum rilis. Kalangan organisasi msyarakat sipil menyerukan, pendanaan transisi energi seperti JETP ini  mesti menyasar pengembangan energi komunitas,  maupun masyarakat adat/lokal,  bukan hanya yang padat modal.

“Jangan kemudian melihat nanti begitu kita transisi energi yang dikembangkan energi-energi yang sebenarnya padat modal. Ya mungkin geothermal skala besar, PLTA atau hidro skala besar,” kata Bhima Yudhistira,  Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS),belum lama ini.

Dia bilang, begitu pada melirik energi terbarukan sebagai sebuah transisi dan ada profit, maka profit akan mengalir kepada old money atau kepada mereka yang sebelumnya untung dari energi fosil.

Bagi masyarakat sekitar proyek-proyek berskala besar, ternyata tidak mendapatkan manfaat signifikan.

 

Longsor terjadi di area proyek PLTA Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Indonesia, katanya,  mungkin  perlu belajar  JETP di Afrika Selatan.  Begitu ada pensiun atau penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara ternyata belum disiapkan hingga berdampak terhadap masyarakat juga. Karena proyek skala besar, masyarakat merasa dinomorduakan  di dalam proses transisi.

Akhirnya,  masyarakat mau bikin energi berbasis komunitas tetapi sudah terlambat karena bimbingan teknis dari dana hibah juga sedikit yang mengarah kepada transisi di level komunitas.

Hingga, realisasi JETP sedang bermasalah  di Afrika Selatan.

“Saya pikir konteks dari komunitas ini harus terus disuarakan.”

Dia bilang, selama di suatu tempat ada aliran irigasi,  sungai, dan matahari bersinar, maka ada kesempatan membangun mikrohidro sampai solar panel. Di Indonesia, sudah banyak pengembangan energi level komunitas ini.  Jadi, sudah tidak ada alasan lagi komunitas dikesampingkan dalam transisi energi.

 

Baca juga: Warga Was-was Ngungsi ke Hutan, Mahasiswa Protes Eksplorasi Panas Bumi di Pulau Buru

Aksi mahasiswa di Jakarta, protes eksplorasi panas bumi di Pulau Buru. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Bagaimana kalau alat-alat rusak, seperti panel converter atau baterai? Dia bilang, masyarakat kalau dapat kesempatan pelatihan maka akan bisa perawatan alat ataupun kerusakan tangani sendiri. Dengan begitu, katanya, akan muncul teknisi-teknisi yang bisa membantu dalam jangka panjang di tingkat komunitas.

Dia bilang, sebenarnya ini bersambut sekali. Maka jangan sampai ada diskoneksi atau ketidakcocokan antara narasi transisi energi di kalangan elit, dengan yang dibutuhkan masyarakat. Pelatihan-pelatihan bagi perangkat desa,  pemuda di level komunitas dan hibah lebih besar diperlukan. Terutama, katanya, di dalam program JETP harusnya hibah itu dikelola langsung komunitas untuk transisi di level yang sangat kecil.

“Bayangkan kita punya 75.000 lebih desa di Indonesia. Itu yang tercatat oleh pemerintah yang menjadi penerima dari dana desa. Kalau masing-masing saja mereka bisa mengganti 30% ketergantungan sumber listrik sebagian besar  kita tahu sekarang dari batubara. Mereka ganti dengan transisi di level komunitas, itu kita nggak akan pernah ribut soal naik turun tarif listrik.”

Bhima mengatakan, ada kaitan antara komunitas yang punya kemandirian soal energi. Pengaruhnya,  secara langsung pada pengeluaran rumah tangga tiap bulan, jadi lebih hemat.

Mereka bisa menabung uang sebagian dan menyekolahkan anak lebih.

Suriadi Darmoko Pengkampanye 350 Indonesia mengatakan,  kilas balik dari target JETP antara lain adalah puncak emisi ketenagalistrikan  pada 2030. Terus, ada bauran energi terbarukan. pensiun dini, dan percepat industri lokal.

“Target-target ini sebenarnya secara spesifik atau dalam implementasinya mungkin sangat mungkin untuk ada peran komunitas atau bahkan pendanaan JETP diarahkan untuk ke komunitas. Agar ikut berkontribusi terhadap pencapaian target ini. Terutama pada  pencapaian target untuk mengurangi emisi. Kemudian target di bauran energi  terbarukan di sektor ketenagalistrikan sebesar 34%,” kata Moko, panggilan akrabnya.

Namun, katanya, dalam target prioritas JETP, belum ada porsi pendanaan JETP untuk komunitas atau untuk mendukung  pemenuhan listrik berbasis energi terbarukan di komunitas. Pemerintah sekalipun  sekalipun tidak menyebut itu .

Dia katakan, harusnya mereka yang selama ini mendapatkan keuntungan besar dari energi fosil itu mentransisikan bisnis secara mandiri tanpa dukungan lagi.

 

Para perempuan Pocoleok, protes rencana pembangunan pembangkit panas bumi yang akan terdampak bagi lahan adat mereka. Foto: Anno Susabun

 

Pendanaan komunitas

Moko bilang, kebutuhan pendanaan di komunitas sangat jelas. Berdasarkan   ekspedisi yang sedang dilakukan 350.Org, ditemukan kebutuhan-kebutuhan pendanaan komunitas sebagian justru akibat dari hibah pembangkit listrik energi terbarukan di masa lalu yang sangat topdown.

Pembangunan PLTS diserahkan tanpa disertai peningkatan atau pengembangan kapasitas masyarakat bahkan tidak dibarengi dengan hibah hanya hibah fisik tidak dibarengi peningkatan manajemen juga keahlian teknis.

Akibatnya, tegas Moko, banyak proyek mangkrak, apalagi yang sifatnya monumental.

Dia cerita temuan di Gunung Sawur, Lumajang, banyak dusun ingin mengakses listrik tetapi jaringan transmisi terbatas. Dana JETP, katanya, terutama yang bersumber dari hibah bisa untuk mendanai ini.

Contoh lain,  di Kedungrong, pemanfaatan listrik juga masih terbatas di area itu sekitar 50 keluarga. Artinya,  kata Moko, ada kebutuhan pendanaan untuk pengembangan jaringan ketenagalistrikan dan kebutuhan lain untuk membangun pembangkit baru.

“Dari data yang kami dapat, ada 4.400 desa dari 75.000 desa  akhir 2022 disebutkan  belum teralisI listrik.”

Dia contohkan, Bali itu rasa rasio elektrifikasi desa 100% tetapi ada Desa Ban tidak mendapatkan akses listrik dari PLN,  kemudian mendapatkan hibah dari KESDM .

Meskipun rasio elektrifikasi sudah 100%, katanya, ada bagian-bagian yang belum bisa tersentuh jaringan listrik PLN. “Itu pentingnya pendanaan JETP untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi terbarukan di komunitas-komunitas yang selama ini belum teraliri listrik.”

 

Energi surya atap yang dikembangkan masyarakat. Minat masyarakat tinggi terhadap surya atap, Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

•••••••

 

Exit mobile version