Mongabay.co.id

Kekeringan dan Bencana Iklim: Menakar Aksi Adaptasi dan Ketahanan Iklim di Indonesia

 

Berita tentang bencana kekeringan yang melanda berbagai daerah di Indonesia telah meluas kemana-mana. Tahun ini Indonesia benar-benar dihadapkan pada krisis air bersih dan bencana kebakaran hutan yang utamanya dipacu oleh faktor kekeringan. Pemerintah melalui Kementerian LHK menyampaikan bahwa akhir September 2023 akan menjadi puncak kebakaran hutan dan lahan.

Kekeringan, banjir, longsor dan erosi adalah bencana yang sebagian besar disebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim disebabkan karena pemanasan global, dan bukan sebaliknya. Menurut laporan UNEP (United Nations Environmental Program) tahun 2022, hampir setengah dari semua bencana yang terjadi di muka bumi adalah bencana iklim.

Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 1 Januari hingga 31 Mei 2023 telah terjadi 1.675 kejadian bencana hidrometeorologi. Dari jumlah tersebut, lebih dari 90% merupakan bencana hidrometeorologi basah dan sekitar 7% bencana hidrometeorologi kering.

 

Permanen dan Irrecoverable

Hal yang perlu kita luruskan adalah bahwa perubahan iklim sifatnya permanen dan irrecoverable (tidak dapat dipulihkan). Tidak ada tindakan apapun yang dapat dilakukan untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim hanyalah sebatas menahan kenaikan konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, dan mengurangi dampak yang lebih buruk akibat perubahan iklim.

Aksi mitigasi yang ambisius seperti yang diminta Paris Agreement diperlukan untuk memperlambat laju pemanasan global dan bukan menghilangkannya. Sementara aksi adaptasi diperlukan agar dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi dapat diatasi dengan sebaik-baiknya, sehingga tercapai ketahanan iklim.

baca : Jalan Ke Depan Solusi Krisis Iklim

 

Presiden Joko Widodo meninjau penanganan kebakaran hutan dan lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Kabupaten Pelalawan, Riau, 17 September 2019. Foto: akun Facebook Presiden Joko Widodo

 

Sebuah penelitian menyatakan bahwa apabila aksi mitigasi yang ambisius tidak dilakukan, maka pada tahun 2100 gelombang panas akan lebih sering terjadi dan berlangsung lama dan menyebabkan kekeringan. Akibatnya bencana pangan global tidak bisa dihindarkan, terjadi migrasi besar-besaran, dan peningkatan penyebaran penyakit menular. Selain itu, seiring dengan mencairnya es di kutub, permukaan air laut akan naik secara signifikan, dan berdampak pada sekitar 275 juta penduduk bumi yang tinggal di kota-kota besar di pesisir pantai di seluruh dunia.

Menurut Center for Climate and Energy Solutions (C2ES), ketahanan iklim adalah kemampuan untuk mengantisipasi, mempersiapkan diri, dan menanggapi peristiwa berbahaya, trend, atau gangguan terkait iklim. Dalam meningkatkan ketahanan iklim diperlukan inovasi atau cara-cara bagaimana perubahan iklim bisa menciptakan temuan-temuan baru, mengurangi risiko terkait iklim, dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi risiko ini dengan lebih baik.

 

Tantangan dan Resiko

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan. Kerentanan ini diperburuk dengan penyalahgunaan tata ruang dan lemahnya koordinasi antar lembaga sehingga program dan kegiatan tidak bersinergi satu sama lain.

Di sisi lain, keterbatasan pendanaan, teknologi dan kapasitas kelembagaan serta sumber daya manusia dinilai masih menjadi hambatan yang cukup besar. Dengan kondisi tersebut, tidak heran jika saat mengalami iklim yang ekstrem seperti kekeringan seperti saat ini mudah menimbulkan bencana yang lebih besar dan berakibat timbulnya kerugian bagi manusia dan lingkungannya.

Jika tidak ada perbaikan yang signifikan terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan serta pola pembangunan, dampak perubahan iklim akan semakin buruk. Bencana iklim yang merugikan lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat akan terus meningkat, sehingga target pembangunan regional maupun nasional tidak akan tercapai. Tinjauan ekonomi perubahan iklim menyebutkan bahwa perubahan iklim merupakan rintangan besar dalam upaya pengurangan kemiskinan.

baca juga : Krisis Iklim Dan Alternatif Solusi Pendanaan Iklim Ke Depan

 

Warga melintas di deretan pohon yang meranggas karena musim kemarau. BPBD Lamongan menyebutkan kekeringan di Lamongan tahun ini meningkat. Ada 84 desa di 18 kecamatan terdampak kekeringan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Kondisi ini menjadi critical point, karena faktanya institusi atau organisasi yang melaksanakan kegiatan adaptasi berhenti pada satu atau dua tahapan saja. Banyak alasan yang membuat kondisi ini terjadi, diantaranya adalah karena kegiatan yang dilakukan lebih mementingkan kuantitas daripada kualitasnya. Disamping itu, keterbatasan pendanaan dan waktu, atau karena tidak jelasnya target sasaran dari kegiatan adaptasi dari sebuah program semakin menjauhkan dari tujuan sesungguhnya yang hendak dicapai.

Apabila tidak ada perubahan terhadap pendekatan dan pola pembangunan saat ini, dipastikan angka kerugian akan semakin besar. Satu penelitian menunjukkan, apabila dilakukan intervensi baru, dengan pendekatan yang mempertimbangkan ancaman perubahan iklim di dalamnya, maka akan mampu menekan jauh kerugian yang ditimbulkannya saat bencana terjadi karena tata ruang, infrastruktur, jenis varietas tanaman, termasuk perubahan perilaku masyarakat kepada perilaku yang lebih mendukung terwujudnya ketangguhan sebuah wilayah.

 

Langkah Strategis

Adaptasi perubahan iklim dipandang sebagai pilihan penting dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Hampir satu dekade, Pemerintah Indonesia menyiapkan langkah strategis, agar Indonesia memiliki kapasitas adaptif yang lebih baik. Beragam kajian kerentanan sebagai basis ilmiah suatu daerah/wilayah digunakan untuk mengembangkan dan memilih bentuk adaptasi yang sesuai dengan magnitude yang akan ditimbulkan dari risiko perubahan iklim.

Namun, tantangannya adalah bahwa sampai saat ini belum ditemukan satu siklus adaptasi, baik pada level sektor/bidang maupun wilayah, yaitu mulai dari identifikasi dan kajian kerentanan, pilihan aksi adaptasi, implementasi proyek dan kegiatan adaptasi yang mencakup kegiatan struktural dan non struktual, yang perlu dilanjutkan. Proses adaptasi adalah proses yang literasi, yang tak pernah berakhir, sehingga hasil monitoring dan evaluasi kembali menjadi dasar pemikiran dalam menilai kerentanan yang dilanjutkan dengan kegiatan perencanaan dan seterusnya.

baca juga : Laporan IPCC Terbaru: Perubahan Iklim Ancam Kesejahteraan Manusia dan Kesehatan Bumi

 

Selain intensitas curah hujan yang tinggi. Pasangnya air laut juga menjadi pemicu terjadinya banjir di Gresik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Lalu apa yang musti dilakukan dalam jangka pendek?

Adanya pemetaan persoalan kebijakan, pendanaan, teknologi dan infrastruktur yang dibutuhkan. Kajian kerentanan perlu dilakukan untuk adaptasi perubahan iklim yang mendesak untuk dilakukan. Integrasi strategi kebijakan adaptasi dan pengurangan risiko bencana dan teknis adaptasi yang telah dan sedang dilakukan oleh berbagai sektor menjadi tujuan strategi jangka pendek. Proses ini menjadi bagian dalam pengembangan kerangka institutional dan political process, pengembangan stuktur mekanisme pendanaannya dan pertukaran informasi para pemangku kepentingan.

Pilihan adaptasi menjadi kebutuhan untuk mengisi kesenjangan dalam mengidentifikasi strategi adaptasi yang diperlukan untuk menghindari terjadinya maladaptasi. Sebaliknya, penilaian pilihan adaptasi ini akan menjawab secara spesifik kebutuhan adaptasi yang harus dilakukan. Pilihan adaptasi patut pula mempertimbangkan aspek pendanaannya. Selain menyampaikan kebutuhan teknis dan metodologi adaptasi, struktur mekanisme pendanaan yang paling riil dilakukan menjadi penting untuk ditawarkan oleh institusi keuangan publik maupun swasta.

Apabila hal ini dilakukan dengan terencana dan sistematis, maka menjadi jawaban terhadap aktivitas nyata di dalam negeri untuk menterjemahkan perhatian dan komitmen persoalan perubahan iklim, khususnya dalam membangun strategi dan aksi adaptasi.

Namun demikian keaktifan dan keterlibatan dalam perundingan dan negosiasi internasional untuk perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana tetap merupakan media/tools atau alat untuk mencapai tujuan besar dalam mengisi kebutuhan aksi perubahan iklim di dalam negeri guna mewujudkan ketangguhan wilayah dari bencana iklim.

Jika tidak ada perbaikan yang signifikan terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan serta pola pembangunan, perubahan iklim yang terjadi akan semakin berpotensi terjadinya bencana yang merugikan lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat dan target pembangunan regional maupun nasional. Tinjauan ekonomi perubahan iklim menyebutkan bahwa perubahan iklim merupakan rintangan besar dalam upaya pengurangan kemiskinan. (***)

 

 

*Ari Mochamad, Program Director Climate Change and Circular Economy, Save the Children-Indonesia

**Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Indonesia, UNITAR Climate Change Ambassador

Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version