Mongabay.co.id

Was-was Ekosistem Karst Banggai Kepulauan Hancur Kalau Masuk Perusahaan Tambang

 

 

Banggai Kepulauan kaya keragaman hayati di darat maupun lautan. Masyarakat bergantung hidup dari sektor perikanan, perkebunan dan pertanian. Kini, eksosistem karst di kabupaten di Sulawesi Tengah ini, terancam tambang. Aktivis lingkungan dan mahasiswa pun tergabung dalam Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah (Sulteng) unjuk rasa di depan Kantor Gubernur dan DPRD Sulteng, 7 September lalu. Mereka meminta,  Pemerintah Sulteng harus menghentikan segala pemberian izin untuk penambangan di kabupaten itu.

Mereka juga meminta Pemerintah dan DPRD Sulteng mengevaluasi dan mencabut beberapa izin pencadangan dan satu izin operasi produksi perusahaan tambang batu gamping di kabupaten kepulauan itu.

“Perusahaan-perusahaan ini pasti akan merusakan ekosistem Kawasan Karst Banggai Kepulauan dan ruang hidup masyarakat setempat,” kata Mohammad Taufik  dari Jaringfan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, bagian dari koalisi.

Untuk itu, katanya, Pemerintah dan DPRD Sulteng harus menghentikan segala rencana pemberian izin penambangan dan mengevaluasi maupun mencabut izin pencadangan dan izin operasi produksi yang sudah keluar.

Sekitar 85%  daratan Banggai Kepulauan adalah ekosistem karst yang area penting bagi masyarakat sebagai perlindungan terhadap tata air dan juga perlindungan keanekaragaman hayati.

Daratan Banggai Kepulauan seluas 2.489 Km2 dengan memiliki 12 kecamatan, 141 desa dan tiga kelurahan, serta penduduk 117.526 jiwa. Data Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah menyebut, ada sekitar 31 perusahaan berencana menambang batu gamping di eksositem karst Banggai Kepulauan. Satu perusahaan, katanya, sudah memiliki izin operasi produksi 2022 sampai 2025, yaitu PT Aurora Cahaya Lestari seluas 113.70 hektar.

Delapan perusahaan lain, katanya, masih pencadangan atau belum berproduksi seluas1.011,00 hektar. Sedangkan, 23 perusahaan masih mendorong penyesuaian ruang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Banggai Kepulauan seluas 3.725,55 hektar.

Koalisi memperkirakan, lebih setengah atau sekitar 56%  dari seluruh kecamatan di Banggai Kepulauan akan diduduki perusahaan tambang itu.

Karst itu di Banggai Kepulauan, katanya, sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Daerah Banggai Kepulauan Nomor 16/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan.  Dalam kebijakan itu menyebutkan tujuannya demi tercipta ekosistem karst sederhana, terpadu dan optimal, mewujudkan keseimbangan tata guna lahan dengan daya dukung ekosistem, serta mendorong kelestarian mutu lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Perlindungan itu dibuat juga karena, bentang alam karst memiliki komponen geologi yang unik, berfungsi sebagai pengatur alami tata air, keanekaragaman hayati serta menyimpan nilai tambah. Juga perlu dilestarikan guna mencegah kerusakan, menunjang pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

 

Aktivis lingkungan dan mahasiswa pun tergabung dalam Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah (Sulteng) unjuk rasa di depan Kantor Gubernur dan DPRD Sulteng, 7 September lalu. Mereka meminta Pemerintah Sulteng harus menghentikan segala pemberian izin untuk penambangan di kabupaten itu.. Foto: Jatam Sulteng

 

 

Usai perda dibuat, karst Banggai Kepulauan pun masuk dalam empat  Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) di Indonesia yang wajib dilindungi dari kerusakan. KEE merupakan kawasan dengan ekosistem penting di luar kawasan konservasi.

Bupati Bupati Banggai Kepulauan pun membuat Surat Keputusan Nomor 224/2022 mengenai penetapan kawasan bernilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati ekosistem karst Banggai Kepulauan.

Di wilayah itu, ada 124 sumber mata air, satu sungai bawah tanah, 17 gua, dan 103 sungai permukaan. Semua itu, terhubung dengan karst. Selain itu, ada lima danau, satu adalah Danau Paisupok di Kecamatan Bulagi Utara, yang sudah terkenal karena air sebening kaca.

Inventarisasi Burung Indonesia 2017 menyebutkan, karst Banggai Kepulauan ini didominasi batuan gamping yang mengalami karsifikasi atau proses pelarutan yang berlangsung selama jutaan tahun. Hingga bentang alam karst ini memiliki rongga bawah permukaan sebagai sumber air dan jadi habitat satwa.

Kondisi ini, katanya, karst Banggai Kepulauan ini sebagai reservoir air bawah tanah raksasa yang memiliki sistem drainase, dan jadi kunci untuk mengetahui sistem hidrologi kawasan.

Dengan memiliki formasi geologis unik dan kompleks seperti itu, ekosistem karst Banggai Kepulauan ini jadi tempat habitat penting bagi beragam flora dan fauna khas, langka serta endemik.

Selain jadi wilayah vital bagi sumber-sumber penghidupan masyarakat sekitar, kawasan ini juga bisa jadi tempat penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan, juga tempat rekreasi dan wisata.

Sayangnya, kata Taufik, karst yang memiliki aspek abiotik dan biotik seluas 232.843 hektar dengan ketebalan mencapai 900 mdpl.

“Pemerintah daerah, provinsi, dan DPRD Sulteng harus serius ekosistem karst Banggai Kepulauan tak rusak hanya karena masuk investasi.”

Dia bilang, mayoritas warga Banggai Kepulauan Bertani, berkebun dan perikanan. “Pertambangan batu gamping akan merusak sumber penghidupan mereka,” kata Taufik.

Jemianto Maliko, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Banggai Kepulauan mengatakan, ada sekitar 27 komunitas masyarakat adat, lima di wilayah izin perusahaan tambang batu gamping. Hutan adat, katanya,  sebagai wilayah sakral bisa hancur kalau perusahaan masuk.  Kehidupan masyarakat adat maupun lokal, katanya, bisa  kehilangan sumber hidup.

“Hak-hak dari masyarakat adat Banggai Kepulauan bisa terancam,” kata Jemianto dalam diskusi koalisi akhir Agustus lalu.

 

Kuskus beruang sulawesi. Foto: Wikipedia

 

 

Spesies endemik

Karst Banggai Kepulauan ini terletak di Wallacea dengan keanekaragaman hayati tinggi. Riset Burung Indonesia Oktober 2020 hingga Januari 2021 menyebutkan, ada tujuh spesies endemik terancam punah, di Pulau Peling, dengan jangkauan dan populasi terbatas di seluruh wilayah. Tujuh spesies itu,  lima burung, dua mamalia. Lima spesies burung ini yakni, gagak Banggai (Corvus unicolor), celepuk Banggai atau burung hantu Banggai (Otus mendeni).

Kemudian,  burung walik Banggai (Ptilinopus subgularis), gosong Sula (Megapodius bernsteinii),  dan burung mandar muka-biru (Gymnocrex rosenbergii). Lalu, tarsius Pulau Peleng (Tarsius pelengensis) dan kuskus beruang Sulawesi juga dikenal sebagai phalanger beruang Sulawesi (Ailurops ursinus).

Andi Faisal Alwi, Sulawesi Program Officer Burung Indonesia mengatakan, tujuh spesies itu sangat bergantung dari keseimbangan ekosistem karst Banggai Kepulauan. Rata-rata keterancaman mereka karena habitat tergerus. Dengan  begitu, katanya, kalau sampai puluhan perusahaan tambang batu gamping masuk dan beroperasi di karst Banggai Kepulauan, pasti spesies itu makin terancam, bahkan bisa memicu kepunahan.

Sisi lain, katanya, Peling ini satu pulau kecil yang memiliki ancaman cukup serius, dari pertambahan populasi penduduk sampai pengelolaan sumber daya alam belum berkelanjutan.

Dia bilang, deforestasi dan degradasi habitat dengan ekosistem karst yang rapuh membuat pulau ini sangat rentan dari dampak perubahan iklim.

 

Ekosistem karst Banggai Kepulauan. Foto: Jatam Sulteng

 

Perlindungan dan aksi masyarakat

Dengan peraturan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem karst Banggai Kepulauan,  katanya,  sebenarnya jadi dasar Pulau Peling tak boleh dirusak. Apalagi, katanya, Pemerintah Kabupaten Kepulauan sudah menetapkan Taman Keanekaragaman Hayati Kokolomboi di Dusun Kokolomboi,  Desa Leme-leme,  Kecamatan Buko, sebagai bentuk nyata perlindungan karst.

Tak hanya itu, katanya, Pemerintah Banggai Kepulauan punya program kampung iklim guna mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Bahkan, kata Andi, beberapa desa sudah punya semacam model perlindungan berbasis masyarakat melalui kesepakatan pengelolaan alam desa dan rencana tata guna lahan.

Secara partisipatif, katanya, masyarakat dan pemerintah desa di Banggai Kepulauan sudah melakukan kajian spasial keragaman hayati dan upaya-upaya pengurangan ancaman pada spesies endemik dan tekanan pada habitat pentingnya.

Regulasi yang dibuat di tingkat desa itu juga melindungi sumber-sumber mata air, dan mendorong masyarakat mulai melakukan metode pengelolaan pertanian berkelanjutan.

Namun, katanya, berbagai upaya masyarakat dan pemerintah daerah itu bisa sia-sia kalau puluhan perusahaan tambang batu gamping masuk eksploitasi karst Banggai Kepulauan. Bahkan, katanya, wilayah pesisir yang beririsan dengan kawasan konservasi perairan pun akan terancam kalau pertambangan beroperasi.

“Perlu ada dukungan publik yang kuat terhadap perlindungan konservasi dan keanekaragaman hayati di Banggai Kepulauan. Perencanaan, kebijakan, dan pelaksanaan pembangunan pemerintah dan penataan ruang harus didasarkan pada perspektif ekologis.”

 

Perairan di Banggai Kepulauan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

 

 *****

 

Exit mobile version