Mongabay.co.id

Warga Pulau Lae-lae Gelar Ritual Songkabala, Tolak Bala Tolak Reklamasi

 

Daeng Bau berdiri di sebuah kursi batu sambil mengangkat tinggi-tinggi sebuah gambar perempuan yang terlihat seperti merengkuh laut. Di belakangnya adalah sebuah bangunan berisi kuburan tua, di mana sebuah ritual ziarah dilakukan sebelumnya.

Orang-orang berkumpul di depannya sambil sesekali menyoraki, mendukung apa yang disampaikan perempuan paruh baya ini.

“Kami hari ini bukan demo tapi ingin menyampaikan bahwa inilah simbol kami sebagai nelayan. Kami ini istri nelayan, kami perempuan nelayan, kami memeluk laut dan laut pun memeluk kami. Kami tidak ingin dipisahkan dari laut dan karang,” ungkapnya.

Orasi Daeng Bau hari itu adalah salah satu bagian dari ritual Songkabala yang dilakukan oleh warga dan aktivis di Pulau Lae-lae, Makassar, Sulawesi Selatan, pekan lalu. Kegiatan hari itu adalah aksi budaya untuk menolak rencana Pemprov Sulsel untuk melakukan reklamasi di pulau yang hanya berjarak sekitar 1,5 km dari daratan Kota Makassar.

“Kepada teman-teman media, sampaikanlah ke seluruh Indonesia bahwa di Pulau Lae-lae itu hidup seribuan orang yang tidak ingin hidupnya diganggu wilayah tangkapnya. Hari ini kami melakukan ritual ini dengan semangat bahwa Allah, Nabi Muhammad dan leluhur kami mendukung kami menolak reklamasi,” lanjut Daeng Bau.

Ritual Songkabala sendiri adalah ritual tolak bala yang dilakukan setiap tahun warga Pulau Lae-lae dengan mengunjungi makam leluhur sebelum akhirnya melepaskan sesembahan atau larung di laut. Bedanya tahun ini dilakukan secara dramatikal, dan dihadiri seratusan tamu dari berbagai daerah, dan bahkan dari luar Kota Makassar.

baca : Kontroversi di Balik Reklamasi Pantai Makassar, Antara Kepentingan Rakyat dan Pengembang

 

Daeng Bau berorasi menyuarakan suara perempuan Pulau Lae-lae menolak rencana Pemprov Sulsel untuk reklamasi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Irfanuddin Gozali, Direktur Artistik Gymnastic Emperium, yang menjadi koreografer aksi dramatikal tersebut menyatakan bahwa aksi yang mereka lakukan tersebut bisa disebut sebagai koreografi sosial.

“Kita cari cara untuk menyuarakan isu-isu reklamasi yang dialami oleh masyarakat pesisir saat ini dengan pendekatan seni, sejarah dan kebudayaan. Kita melewati situs-situs sejarah di Pulau Lae-lae, dan ketemu juga subjek-subjek sejarah yang ada,” katanya.

Dalam aksi ini, para penonton diajak berkeliling mengalami secara langsung pengetahuan yang ada di Pulau Lae-lae serta isu sosial yang muncul dalam kaitannya dengan reklamasi. Di sepanjang lintasan juga terdapat sejumlah pos persinggahan kuliner yang menyajikan kuliner khas Lae-lae berbahan dasar hasil laut, yang terancam hilang seiring dengan adanya reklamasi.

Menurut Irfanuddin, hal yang menarik dari aksi mereka tersebut karena melibatkan masyarakat dan aktivis-aktivis yang selama ini menolak reklamasi, tidak sekedar menjadi penghubung ataupun penonton.

Irfanuddin menyebut aksi mereka tersebut sebagai collective careness, yaitu upaya perlawanan reklamasi dengan cara merawat, advokasi secara kultural, melawan secara kultural dan reflektif, lembut dan simbolik.

“Jelas kita lihat tadi di perjalanan ini penuturan tentang posisi masyarakat di sini bahwa mereka menolak reklamasi,“ tambahnya.

Penggunaan ritual Songkabala sebagai simbol perlawanan reklamasi secara spiritual ingin menyerap energi banyak orang, karena perjalanan dalam menolak reklamasi ini masih panjang.

“Jadi kita butuh energi besar dan dengan ritual ini kita berharap energi itu muncul. Energi itu dalam aspek sosial mungkin disebut solidaritas, transparansi. Saling percaya dalam konteks gerakan bersama itu penting. Songkabala itu menyatakan keinginan kita menolak reklamasi.”

baca juga : Reklamasi Pulau Lae-Lae dan Gugatan Ruang Hidup Warganya

 

Di sepanjang lintasan juga terdapat sejumlah pos persinggahan kuliner yang menyajikan kuliner khas Lae-lae berbahan dasar hasil laut, yang terancam hilang seiring dengan adanya reklamasi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurut Anwar Jimpe Rahman, Direktur Biennale Makassar, kegiatan ini merupakan bagian dari Kerjasama Makassar Binealle dengan International Dance Festival (IDF).

Mereka kemudian mengundang Gymnastic Emperium untuk residensi di Pulau Lae-lae dan membantu warga untuk membuat koreografi sosial untuk menyatakan ide, gagasan dalam kaitannya dengan penolakan reklamasi Pulau Lae-lae.

“Ini semacam rentetan acara menolak bencana, bermakna bahwa ada reklamasi yang mengancam serta kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak ke mereka,” katanya.

Menurut Anwar, fokus kegiatan tahun ini ke isu reklamasi Pulau Lae-lae sendiri adalah berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan setahun terakhir yang kemudian memunculkan gagasan bahwa masalah pesisir menjadi isu penting di mana banyak masyarakat yang dirugikan oleh proyek-proyek reklamasi, termasuk di wilayah Mariso dan sepanjang pantai utara Makassar.

Makassar Biennale sendiri adalah ajang seni budaya dua tahunan yang telah dilakukan sejak 2015 dengan tema abadi terkait maritim. Untuk tahun ini, selain dilaksanakan di Kota Makassar, kegiatan juga dilakukan di Kota Parepare, Pangkep, Labuang Bajo dan Nabire. (***)

 

 

Exit mobile version