Mongabay.co.id

Burung Pepak, Penjelajah Serasah Hutan di Bangka Belitung

 

 

Sore itu, lompatan kecil seekor burung di tanah menarik perhatian kami. Warnanya nyentrik. Bulu, dada dan perutnya berwarna hijau, kepala hitam dengan mahkota cokelat di atasnya. Sementara tunggirnya berwarna merah terang, penutup sayap biru dengan bercak sayap putih.

Meski malu-malu, dengan kaki kecilnya ia terus mendekat ke arah kami yang sedang mengobrol di pondok kebun Pak Itin, di sekitar kaki Bukit Peramun, Desa Air Selumar, Belitung.

“Itu burung pepak, sudah biasa berjalan di sekitar kebun, mengais dan mematuk tanah untuk mencari makanan kesukaannya, seperti cacing, siput ataupun serangga kecil,” kata Pak Itin, penjaga Hutan Kemasyarakatan [HKm] Bukit Peramun [115 hektar].

Kawasan hutan Bukit Peramun dengan tinggi 129 m dpl ini merupakan habitat burung pepak, panggilan masyarakat Kepulauan Bangka Belitung untuk burung paok hijau [Pitta sordida], salah satu spesies burung pengicau dalam keluarga Pittidae.

“Di sini masih banyak, sering ketemu di kebun-kebun warga. Tidak pernah diburu apalagi di makan, karena dagingnya amis,” lanjut Pak Itin.

Baca: Caecilian Billiton, Amfibi Endemik Belitung yang Ditemukan Kembali Setelah Lima Dekade

 

Burung pepak banyak menghabiskan waktu di tanah, namun punya kemampuan terbang jauh seperti burung pada umumnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Burung pepak banyak menghabiskan waktu di lantai hutan. Tapi jangan diremehkan, ia juga punya kemampuan terbang jauh seperti burung pada umumnya.

“Saat bertemu burung pepak, seringkali ia berjalan dan melompat di tanah. Kalau kita diam, ia nampak jinak dan mudah ditangkap. Tapi saat didekati, ia akan mulai melompat, lalu terbang menjauh,” lanjut Pak Itin.

Ketika tidur, burung pepak sering bertengger di atas dahan atau ranting pohon. Tidak terlalu tinggi, sekitar 2-3 meter dari permukaan tanah.

“Ia juga sering ditemukan sendiri, jarang berkelompok. Sarangnya ada di dalam tanah, biasanya disela akar pohon besar yang dibuat dari rerumputan dan serasah daun,” lanjut Pak Itin.

Menurut penelusuran Mongabay Indonesia, selain di Belitung, burung pepak juga masih sering terlihat di Pulau Bangka. Menurut Sukardi, salah satu tokoh adat di Dusun Tuing, Kabupaten Bangka, burung pepak sering terlihat di sekitar kebun dan hutan Bukit Tuing.

“Burung pepak lebih sering terlihat di kawasan hutan yang tanahnya lembab dan banyak tertutup daun. Seringkali juga terlihat di sekitar hutan kerangas di pesisir Tuing, serta kebun campuran atau kelekak,” lanjutnya.

Baca: Kangkareng Hitam yang Semakin Sulit Dijumpai di Hutan Bangka Belitung

 

Burung pepak bermain di sekitar pot bunga di kebun Pak Itin. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebaran luas

Spesies Pitta sordida punya wilayah sebaran yang sangat luas, mulai dari barat laut India hingga New Guinea, yang membentang sejauh lebih dari 8.600 kilometer.

Penelitian Ericson et al. [2019] menyatakan, Pitta sordida setidaknya punya 13 subspesies. Salah satunya adalah subspesies bangkana yang ada di Bangka Belitung. Keberagaman wilayah distribusi serta subspesies ini, sejalan dengan banyaknya variasi dalam morfologi, vokalisasi, dan ukuran tubuh.

“Variasi bulu terutama terdapat pada warna dahi dan mahkota [dari merah, cokelat hingga hitam], jumlah warna hitam, merah dan biru pada perut dan panggul, serta keberadaan dan ukuran bercak sayap berwarna putih,” tulis penelitian itu.

Dalam penelitian yang sama, para peneliti menyelidiki sejauh mana isolasi daratan dan hubungan glasial di wilayah kepulauan Indo-Australasia menjelaskan keragaman genetik yang diamati pada Pitta sordida.

“Kami menemukan bahwa peristiwa perubahan geologi tidak dapat menjelaskan diferensiasi genetik saat ini di spesies Pitta sordida yang kompleks. Sebaliknya, siklus glasial-interglasial [naik dan turunnya permukaan air laut akibat perubahan suhu selama Zaman Es] mungkin memainkan peran utama di dalamnya,” tulisnya.

Baca: Ulin, Pohon Penjaga Ekosistem Hutan Bukit Peramun

 

Kondisi hutan Bukit Peramun yang dipenuhi serasah dedaunan menjadi habitat ravorit burung pepak. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan lagi, pada masa glasial [Zaman Es], permukaan air laut bisa mencapai 120 meter lebih rendah dibandingkan saat ini dan jembatan darat terbentuk di Paparan Sunda [yang mencakup Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Malaysia] serta Paparan Sahul yang mencakup New Guinea, Australia, dan pulau-pulau di dekatnya.

Jembatan darat ini sesekali memungkinkan tersebarnya unsur tumbuhan dan fauna. Distribusi geografis Pitta sordida menunjukkan pentingnya penyebaran “batu loncatan” atau jembatan daratan di atas air, tidak hanya untuk akses ke pulau-pulau di laut dalam, tetapi juga dari satu paparan ke paparan lainnya.

“Hipotesis yang paling minim adalah rumah leluhur spesies Pitta sordida di kompleks Asia dan kolonisasi dari barat ke timur, mungkin melalui Wallacea,” lanjutnya.

Selain itu, hanya subspesies cucullata yang merupakan migran jarak jauh, musim dingin di Sumatera dan semenanjung Malaysia, namun berkembang biak hingga Himalaya di India, Nepal, dan Tiongkok.

“Jika ada yang berasumsi bahwa nenek moyang spesies Pitta sordida bermigrasi, perilaku ini hilang secara independen di semua garis keturunan kecuali cucullate,” tulis Per G. P. Ericson dkk.

Baca juga: Bukit Larangan, Habitat Tersisa Trenggiling di Pulau Bangka

 

Sebaran geografis taksa termasuk dalam kompleks spesies Pitta sordida. Ilustrasi: Ericson et al dan foto burung oleh Lynx Edicions

 

Dilindungi

Berdasrakan IUCN Red List, spesies Pitta sordida masih berstatus Least Concern atau Risiko Rendah, karena memiliki wilayah jelajah yang luas. Meskipun tren populasinya menurun, ini diyakini tidak akan cukup cepat mendekati ambang batas Rentan [Vulnerable], jika merujuk pada tren populasi [penurunan lebih dari 30 persen selama sepuluh tahun atau tiga generasi].

“Jumlah populasinya belum dapat dihitung, namun diperkirakan tidak akan mendekati ambang batas Rentan berdasarkan kriteria ukuran populasi. Oleh karena itu, spesies ini dievaluasi sebagai spesies yang Paling Tidak Berisiko,” dikutip dari situs resmi iucnredlist.org.

Namun, nasib berbeda dialami oleh sejumlah spesies burung pitta. Merujuk penelitian Shepherd et al. [2015] yang melakukan observasi pasar burung di Pulau Jawa, saat ini empat spesies diklasifikasikan Rentan, yakni Pitta Pitta schneideri dan Pitta P. venusta, keduanya endemik di Sumatera.

Selanjutnya, Pitta P. baudii berkepala biru endemik Pulau Kalimantan, yang mungkin juga menampung sebagian besar populasi global Pitta P. nympha populasi global saat musim dingin. Sementara tiga di antaranya diklasifikasikan hampir terancam, yakni Pitta P. caerulea, Pitta P. granatina, dan Mangrove Pitta P. megarhyncha.

“Banyak spesies burung pitta di Indonesia yang mengalami penurunan populasi akibat degradasi dan hilangnya habitat. Setidaknya sepertiga dari spesies tersebut sudah termasuk dalam kategori hampir terancam atau rentan,” tulis penelitian itu.

Sebagai informasi, saat ini paok hijau [Pitta sordida] bersama delapan spesies pitta lainnya di Indonesia merupakan jenis satwa liar dilindungi. Artinya, jenis ini dilarang ditangkap, diburu, terlebih diperjualbelikan dalam kondisi hidup ataupun mati. Ini merujuk pada  Peraturan Menteri LHK No. P 106 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

“Hukum yang melindungi pitta di Indonesia dan di seluruh Asia Tenggara perlu diperkuat dan ditegakkan secara efektif dan pada saat yang sama diperlukan program kesadaran yang kuat dan berkelanjutan untuk mendidik semua orang tentang dampak buruk perdagangan burung sangkar terhadap populasi burung liar,” tegas Shepherd et al.

 

Referensi jurnal:

Ericson, P. G. P., Qu, Y., Rasmussen, P. C., Blom, M. P. K., Rheindt, F. E., & Irestedt, M. (2019). Genomic differentiation tracks earth-historic isolation in an Indo-Australasian archipelagic pitta (Pittidae; Aves) complex. BMC Evolutionary Biology, 19 (1), 151. https://doi.org/10.1186/s12862-019-1481-5

Shepherd, C. R., Eaton, J., Asia, B., Shepherd, C. R., Eaton, J. A., & Chng, S. C. L. (2016). Pittas for a pittance: observations on the little known illegal trade in Pittidae in west Indonesia. BirdingASIA, 24(February), 18–20. https://www.researchgate.net/profile/James-Eaton/publication/292977680_Pittas_for_a_pittance_observations_on_the_little_known_illegal_trade_in_Pittidae_in_west_Indonesia/links/56b550f008ae5ad360578f22/Pittas-for-a-pittance-observations-on-the-little-known

 

Exit mobile version