Mongabay.co.id

Orang Mentawai Ingin Hutan Mereka Terjaga

 

 

 

 

 

 

 

“Kalau hutan hilang, juga semua daun-daunan, kami akan jadi miskin. Itulah alasan kami melarang hutan dirusak. Kami tidak boleh dimiskinkan,” kata Kelak Sagulu, saat diskusi di Jakarta dalam rangkaian acara Riung Mentawai, 30 September lalu.  Dalam acara ini selain diskusi juga ada workshop tatto Mentawai.

Kelak adalah Sikerei, sebutan bagi tabib Suku Mentawai, di Kepulauan  Mentawai, Sumatera Barat.  Dalam diskusi yang diselenggarakan Trend Asia bersama Yayasan Citra Mandiri Mentawai dan LBH Padang itu dia jelaskan pentingnya hutan bagi masyarakat Mentawai.

Sebagai sikerei, Kelak meramu obat dari tumbuh-tumbuhan, yang juga bahan pangan, serta kebutuhan ritual adat.

“Semua daun-daun dibutuhkan, karena hutan adalah sumber kehidupan,” katanya dengan bahasa Mentawai.

Dari luas sekitar 600.000-an hektar Kepulauan Mentawai, pemukiman hanya 3.000-an hektare. Sekitar, 491.000-an hektar sudah sebagai kawasan hutan, 109.000 hektar areal penggunaan lain (APL).

 

Aliran sungai dari air terjun Singunung yang berlokasi di hutan dusun Sirilanggai, Siberut Utara, Mentawai. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Sikerei khawatir,  hutan menyempit akan berdampak pada Suku Mentawai.  Masyarakat, katanya, bisa sulit mencari tanaman pangan, obat-obatan, sampai ritual budaya, serta terjadi kemiskinan. Dia juga khawatir kalau hutan rusak mengancam keberadaan sikerei.

Heronimus Tatteboruk, perwakilan Masyarakat Adat Mentawai membenarkan kecemasan kalau hutan mereka rusak. Selain merugikan masyarakat adat, praktik-praktik perusakan hutan juga menyebabkan lingkungan hidup mereka terdegradasi.

Investasi skala besar silih berganti masuk Mentawai sejak 1970-an dari HPH, HTI, sawit sampai atas nama ‘energi terbarukan.’ Bisnis skala besar ini mendapat penolakan dan Masyarakat Mentawai.

“Sekarang ini sudah kekeringan, satu minggu tidak turun hujan di Mentawai, air susah. Kalau hujan satu minggu akan terjadi longsor. Ini fakta yang kami lihat,” katanya.

Pembangunan yang diperlukan Masyarakat Mentawai, katanya, yang tak merusak ekosistem, dan mendukung pelestarian budaya.

“Kehidupan masyarakat adat sangat bergantung pada alam. Sekarang, yang menjadi kecemasan kami, ada ancaman kehancuran Mentawai.”

 

 

Kelak Sagulu, sikerei atau tabib Mentawai ini mengatakan, mereka hidup bergantung hutan dari bahan pangan, obat-obatan sampai ritual adat. Kalau hutan hilang, bagaimana mereka bisa hidup. Hutan Mentawai harus terjaga. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai mengatakan , Masyarakat Mentawai punya kedekatan kultural dengan hutan dan tanah. Bagi mereka, hutan punya fungsi memenuhi kebutuhan obat, religiusitas, upacara adat maupun kebutuhan ekologis.

Mentawai kaya keragaman hayati, antara lain,  ada sekitar 60 jenis pangan lokal yang jadi sumber pemenuhan gizi Masyarakat Mentawai.

Tidak hanya memanfaatkan kearifan lokal,  Suku Mentawai juga menunjukkan praktik pertanian berkelanjutan. Rifai percaya, pola pengelolaan dengan tak tebang habis dan tidak kenal konsep bakar lahan, berkontribusi memberi kesempatan pohon-pohon untuk tumbuh.

“Kita punya utang pada Masyarakat Mentawai. Kalau bicara perubahan iklim, banyak negara harus jadi Mentawai. Karena kalau kita dukung mereka, kita punya harapan untuk keberlanjutan,” katanya.

Mentawai, katanya,  bisa tangguh, mandiri  dan berkelanjutan kalau hutan terjaga. “Kalau hutan tidak ada, kita melucuti ketangguhan mereka.”

 

Diskusi Mentawai di Jakarta yang diselenggarakan Trend Asia, Yayasan Citra Mandiri Mentawai dan LBH Padang, 30 September lalu. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Atas nama energi terbarukan

Kelestarian hutan di Mentawai terus menghadapi berbagai ancaman. Catatan Trend Asia menyebut, pada 2019, tiga pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) bambu dibangun di Desa Saliguma, Matotonan dan Madobag.

Proyek yang hanya beroperasi selama enam bulan, sebelum terkendala pasokan kurang dan mesin rusak, disebut mengakibatkan deforestasi dan memicu perubahan pola produksi masyarakat adat di Kepulauan Mentawai. Ketika pembangkit biomassa itu  kekurangan pasokan, yang dipakai sebagai pengganti kayu, kemudian diesel.

Pada tahun sama, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), juga memberikan konsesi seluas 19.876,59 hektar di Pulau Siberut kepada PT Biomass Andalan Energy (BAE). Nilai investasi diperkirakan lebih Rp1 triliun. Dari luasan itu, 11.000-an hektar merupakan hutan tutupan dan wilayah kelola dari sembilan komunitas adat.

Bagi pemerintah, pembangunan PLTBm berbahan bakar bambu di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, akan menerangi 1.233 keluarga, menghemat Rp14 miliar per tahun, serta meningkatkan pendapatan masyarakat hingga Rp2 miliar per tahun.

Pemerintah juga sebutkan, pembangunan PLTBm juga diarahkan untuk menyediakan energi listrik untuk daerah yang sama sekali belum teraliri listrik. Juga, upaya pengembangan energi baru terbarukan, hingga membangun daerah 3T atau tertinggal, terdepan dan terluar.

Namun, kata Amalya Reza, Manajer Kampanye Bionergi Trend Asia, narasi transisi energi hanya jadi justifikasi mengeksploitasi hutan dan ekosistem pulau-pulau kecil atas nama pemenuhan energi listrik.

Sedang, masyarakat sekitar tidak pernah mendapat ruang dialog untuk menyatakan persetujuan atau penolakan atas rencana pembangunan itu.

 

Pengolahan sagu secara sederhana di Desa Malancan, Siberut Utara, Mentawai. Masyarakat adat di sini, hidup bergantung hutan sekitar. Kehidupan mereka terancam kala pebisnis ekstraktif berusaha masuk. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Padahal,  katanya, pembangunan di wilayah hutan akan berdampak bukan saja bagi keberadaan masyarakat adat, juga mengancam berbagai flora fauna, termasuk empat jenis mamalia endemik, burung endemik, reptil dan jenis pohon dilindungi.

Selain itu, pembangunan eksploitatif berpotensi menghilangkan fungsi hutan, menjadikan monokultur yang memperparah lepasan emisi.

Indira Suryani, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menilai, wacana kebutuhan listrik merupakan agresi imajinasi masyarakat kota, dan dibangun dengan melekatkan stigma tertinggal pada kondisi hidup Suku Mentawai.

“Berhentilah berpikir Masyarakat Adat Mentawai seperti itu. Tirulah gaya hidup orang Mentawai yang sederhana, dan penuh penghormatan pada alam.”

Ruth Indiah Rahayu, peneliti dan konsultan gender, disabilitas dan inklusi mengatakan, industrialisasi termasuk PLTBm, dapat mengganggu kesatuan antara manusia dengan alam yang disebutnya sebagai keretakan metabolisme.

Karena bagi masyarakat adat, hutan adalah sesuatu yang luhur dan memberi hidup. Jadi, retaknya hubungan antara masyarakat Mentawai dengan alam, katanya, akan memengaruhi identitas, dan eksistensi masyarakat adat.

“Sikerei adalah orang yang memelihara metabolisme itu. Ketika terjadi deforestasi, tidak ada lagi tanaman obat untuk menyembuhkan dan menyehatkan proses metabolisme relasi antara manusia dengan alam,” ujar Ruth.

I Gede Robi Supriyanto, vokalis Navicula juga hadir dalam Riung Mentawai mengatakan, apapun dalihnya, pembangunan yang menyebabkan deforestasi akan membuat upaya Indonesia dalam mengatasi krisis iklim makin tak relevan.

 

Diskusi soal Mentawai dalam acara Riung Mentawai di jakarta, 30 September lalu. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia
PLTBm mangkrak di Mentawai. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version