Mongabay.co.id

Kebakaran Taman Nasional Tanjung Puting, Seorang Pemadam Tewas, Api Belum Padam

 

 

 

 

 

Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah terus meluas termasuk di Taman Nasional Tanjung Puting. Pada penghujung September, seorang pemuda, Said Jaka Pahlawan, tewas saat memadamkan api di kawasan konservasi di Tanjung Puting itu.

Usia 23 tahun saat dia tewas mencoba memadamkan kebakaran di dalam kawasan taman nasional yang masuk Kabupaten Kotawaringin Barat itu.  Jaka, merupakan mandor perusahaan perkebunan sawit, PT Kumai Sentosa (KS). Di masa karhutla tugasnya bertambah. Dia juga tim pencegah api masuk ke konsesi perusahaan.

Sekitar satu bulan terakhir, titik api (hotspot) tak pernah padam dari taman nasional. Semula, api banyak muncul di kawasan timur dan tenggara. Secara pasti, api bergerak ke barat melalui jalur selatan taman nasional. Kumai Sentosa,  berbatasan dengan taman nasional di bagian barat. Tepatnya, masuk peta administrasi Desa Sungai Cabang.

Akses menuju Sungai Cabang dari Pangkalan Bun, ibukota Kotawaringin Barat, hanya mungkin melalui jalur air. Untuk ke sana, perlu waktu sekitar dua jam pakai speed boat dengan menyeberangi Teluk Kumai yang berhadapan dengan Laut Jawa. Kalau pakai perahu biasa, sekitar empat jam.

Soal waktu persis Jaka meninggal belum diketahui. Said Yusuf, pamannya tidak mengetahui persis kejadian di sana. Dia dan keluarga sudah menerima jenazah 1 Oktober 2023. Yusuf mendapat cerita kalau ponakannya ditemukan dalam keadaan meninggal dunia.

“Sebagian (tubuhnya) memang terbakar. Mukanya terbakar,” kata Yusuf. Dia tak tega melihat jasad Jaka.

Sumber saya di lapangan, menyebut lokasi Jaka tewas masih berada dalam kawasan taman nasional, berjarak sekitar 300 meter dari kanal besar perbatasan kawasan taman nasional dengan konsesi perusahaan, yang biasa disebut boundary. Jaka ditemukan sekitar pukul 21.00 WIB, 30 September.

 

 

Dia lantas dievakuasi dan sampai ke Pangkalan Bun sekitar 1 Oktober sepitar pukul 02.00.. Fachruddin,  Direktur RSUD Sultan Imanudin Pangkalan Bun, menyebut, jenazah Jaka terbakar 90%.

Rekan-rekan Jaka mulai kehilangan kontak dengannya sejak 30 September, pukul 14.00. Karyawan di lapangan dibekali HT untuk alat komunikasi. Seorang temannya menyebut Jaka memang orang yang bersemangat. “Kerjanya kuat.”

Jalil Harahap, Direktur PT Kumai Sentosa mengakui ada karyawannya yang tewas saat pemadaman karhutla. Jaka, katanya,  tewas saat memadamkan api di dalam taman nasional.

“Yang pasti api di taman nasional. Kita sedang memadamkan api di taman nasional. Bantuin taman nasional supaya jangan merambat ke kebun. Maksudnya gitu,” kata Jalil, 2 Oktober lalu.

Kumai Sentosa, merupakan perusahaan yang diputus bersalah secara perdata dalam kasus karhutla pada 2019. Lolos dari tuntutan pidana hampir Rp1 triliun, perusahaan ini diputus bersalah secara perdata. Dalam putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) Nomor 527 PK/Pdt/2023, Kumai Sentosa harus membayar denda Rp175 miliar.

Mahkamah Agung menyatakan,  perusahaan bertanggung jawab mutlak (prinsip strict liability) atas peristiwa karhutla di wilayah yang mereka kelola, di Desa Sungai Cabang. Perusahaan juga dihukum untuk pemulihan lingkungan hidup pada areal terbakar.

Untuk menghadapi karhutla kali ini, Jalil merasa perusahaan sudah siap.  Kumai Sentosa punya alat pemadaman lengkap. Dia sebut ada rutusan pompa air, dengan 300 personel yang disiagakan. Mereka juga sudah membangun menara pantau 11 unit, melintang utara-selatan, sesuai batas dengan taman nasional. Dia mengklaim, standar pencegahan karhutla di perusahaannya melebihi ketentuan pemerintah.

“Coba cek sama Bu Murlan (Kepala Balai TNTP). Antisipasi kami, sarpras kami, itu lebih dari cukuplah. Lebih dari yang SK Mentan-lah. Sudah melampaui target yang ditentukan mentan.”

Jalil mengatakan, apa yang terjadi pada Jaka adalah musibah. Dia bilang, jauh-jauh hari sejak titik api terpantau di wilayah timur taman nasional, mereka selalu memberikan perkembangan informasi kepada Balai TNTP dan instansi-instasi terkait. “Kami korban. Api itu dari Seruyan,” ucap Jalil.

“Bu Murlan juga lihat ke lapangan kemarin, bagaimana upaya kami memadamkan api. Sudah maksimal. Namanya musibah.”

Fajar Dewanto, pegiat konservasi orangutan dan restorasi hutan, mengenal situasi di Tanjung Putting, yang amat sulit dipadamkan bila sudah terlanjur terbakar luas. Dia menduga, sebelum meninggal, Jaka terlebih dahulu terjebak dalam asap yang pekat. Bernapas pada situasi asap tebal yang ditiup angin kencang, bisa membuat orang kehabisan oksigen, dan pingsan.

Kemungkinan lain, Jaka bisa saja terperosok ke dalamnya gambut yang terbakar, hingga sulit bergerak, sebelum tubuhnya diterjang api. “Situasi di lapangan bisa banyak hal. Di sinilah pentingnya komunikasi satu komando. Karena kalau situasinya krusial semua harus ikut satu komando,” katanya.

Naoval Aqli, dari Manggala Agni Pangkalan Bun, mengatakan, sempat terlibat membantu pemadaman di Tanjung Puting, wilayah Desa Sungai Cabang. “Kalau tiga minggu lalu, api sudah bisa dikendalikan. Tidak bisa dikatakan padam, namun bisa dikendalikan. Karena kondisi di dalam kota banyak titik api baru, kami kembali ke dalam kota. Saat ini,  kondisi di sana kami belum tahu pasti karena tidak ada personel.”

Dia jelaskan, mobilisasi merupakan kendala utama memadamkan api langsung di TNTP. Titik api sulit dijangkau. “Karena dari kepala api ke sumber air itu jauh. Teman-teman waktu itu menjaga di titik yang dijangkau. Pas kepala api sampai di titik api yang dijaga, baru bisa dikendalikan.”

Sisi lain, kata Naoval, Manggala Agni Pangkalan Bun punya keterbatasan personel. Total ada 54 orang, untuk wilayah kerja lima kabupaten. Selain, Kotawaringin Barat, ada Sukamara, Lamandau, Seruyan dan Kotawaringin Timur.

Saat ini,  yang bersiaga di Pangkalan Bun tinggal satu regu. Selebihnya diperbantukan menangani karhutla di sekitar Sampit, Kotawaringin Timur, dan Sukamara.

Basuki Budi Santoso, pegiat konservasi dan restorasi hutan yang lama bekerja dalam kawasan TNTP menyebut,  pangkal dari kekacauan penanganan karhutla di sana karena keterlambatan pemadaman saat titik api saat masih sedikit.

“Sudah lama banget itu. Titik api dari daerah Sungai Perlu. Tapi itu sudah berminggu-minggu sampai ke situ. Ketika titik api muncul itu, apakah sudah ada penanganan? Masalahnya itu. Api sampai daerah situ (batas taman nasional di barat) melewati waktu yang panjang. Kasus ini sering. Titik api muncul, penanganannya berapa minggu kemudian,” kata Basuki.

Jalil Harahap mengatakan, beberapa waktu lalu sempat ada water boombing menggunakan helikopter. Menurut dia, itu sudah terlambat. “Sudah besar. Besar banget,” katanya.

 

Kebakaran hutan dan lahan gambut di Desa Sungai Cabang, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Tanjung Puting, 5 Oktober 2023. Foto: warga Sungai Cabang

 

 

Apa yang seharusnya dilakukan?

Apa yang seharusnya dilakukan? “Harusnya secara teori kita stay dan fokus pemadaman berhari-hari di sana,” kata Naoval.

Basuki mengatakan, api tidak bisa ditunggu. Melokalisir api di lahan gambut memang bisa dilakukan tetapi itu cara yang tidak efektif ketika sudah terlanjur besar dan meluas.

“Itu berat. Kalau memadamkan kecil kemungkinan. Benar kalau sudah dibatasi, kalau itu di batas kanal. Kanalnya dijaga betul. Masalahnya, yang jaga kanal ini berat. Karena melawan asap, melawan angin,” kata Basuki.

“Kalau menurut saya, yang paling vital, saat titik api muncul terbaca satelit, itu harus didatengin. Sesulit apapun! Artinya apa? Itu masih kecil, luasan kecil, api belum melebar. Karena gambut lambat ya. Tapi kalau sudah terlambat sampai seminggu, titik api akan melebar.”

Basuki menyadari, mendatangi titik api yang jauh tidak mudah. Baginya, jauh lebih berbahaya membiarkan api yang sudah membesar. “Kalau titik api muncul, satu regu cukup untuk melokalisir api yang kecil.”

“Api yang baru muncul, asap belum sebanyak ini. Kalau sekarang ini titik api sudah tidak terhitung. Sudah menggabung. Bukan titik lagi. Sudah menjadi blok,” katanya lagi.

Basuki sangat mengenal kawasan TNTP. Hampir dua dekade lembaga yang dinakhodainya, Friend of The National Park Foundation (FNPF) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, merestorasi hutan Tanjung Puting. Mereka sudah menanam ratusan ribu pohon di sana. Tiap musim kemarau yang menimbulkan api, dia dan koleganya terpaksa meninggalkan bibit-bibit pohon yang disemai dan siap tanam, untuk pemadaman.

Pada kebakaran kemarau panjang 2015, Basuki dan Fajar Dewanto mengorganisir puluhan relawan dari berbagai kalangan profesi untuk memadamkan api. Majalah Tempo Edisi Akhhir 2015 menjulukinya sebagai Sang Penjaga Tanjung Puting. Dia menangis karena ribuan pohon yang mereka tanam hangus saat itu.

Kini,  lembaganya tak lagi terikat kerja sama dengan kementerian yang dipimpin politikus Partai Nasdem, Siti Nurbaya itu. Dia tidak menyesali berhentinya kerja sama itu. Situasi karhutla membikin ribuan anak-anak pohon yang dilahirkannya di TNTP yang dia khawatirkan.

Lebih dari sekadar menangisi terbakarnya pohon-pohon, kesedihan lebih nyata saat ini kehilangan seorang kader konservasi Said Jaka Pahlawan. Jaka,  adalah salah satu kader konservasi, yang semasa sekolah menengah pernah berkegiatan dengan FNPF.

Jaka bekerja di Kumai Sentosa karena dia jadi tulang punggung keluarga. Semangat melekat pada dirinya, tak lepas dari keterlibatan dalam pendidikan konservasi yang pernah dia jalani.

“Kebakaran hebat telah merenggut hidupmu dari semua yang mencintaimu. Engkau gugur di lahan yang ingin kau selamatkan dari hangus terbakar. Suatu kehormatan bagiku pernah bertemu denganmu. Selamat jalan Said Jaka Pahlawan, selamat jalan anak muda pemberani!” tulis Basuki di laman Facebook-nya.

 

Api dari kawasan taman Nasional Tanjung Puting terus berjalan memasuki area Desa Sungai Cabang, pada 2 Oktober 2023. Foto: warga Sungai Cabang

 

Api meluas

Awal Oktober bersamaan kabar tewasnya Jaka,  saya menerima informasi dari warga Desa Sungai Cabang kalau api memasuki area perusahaan dan kebun-kebun masyarakat. “Yang masuk (api) infonya daerah Sungai Buaya,” kata Riky Irawan, pemuda Sungai Cabang.

Riky mengatakan, situasi di PT KS tampak panik. Dia memantau keadaan di lapangan dan melalui radio komunikasi. “Pada panik semua. Karyawan dialihkan ke sana (lokasi kebakaran) semua. Di Blok 70 semua karyawan, termasuk istri-istri karyawan patroli,” katanya.

Per 4 Oktober, areal masyarakat melintang utara-selatan sejauh tiga kilometer, mulai terbakar. Lebarnya bisa sampai satu kilometer membujur barat-timur. Dari luasan itu, setidaknya, 50 hektar kebun produktif milik masyarakat hangus.

Komoditas utama masyarakat Sungai Cabang adalah pisang dan kelapa. Dua komoditas itu mereka jual ke Kumai dan Pangkalan Bun. Sungai Cabang juga termasuk wilayah yang pernah menjadi pemasok pisang untuk pakan orangutan yang dilepasliarkan kembali ke taman nasional.

“Untuk beberapa bulan ke depan atau tahunan, kami sepertinya tidak mungkin lagi mengeluarkan kelapa dan pisang seperti yang sudah-sudah,” katanya.

 

 

Lalai bisa dihukum

LBH Palangkaraya menyoroti masalah karhutla ini. Mereka menyuarakan pentingnya tanggung jawab negara dalam menjamin terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat dari asap karhutla.

Aryo Nugroho Waluyo,  Direktur LBH Palangka Raya, berpendapat, kemungkinan ada kelalaian dalam penanganan karhutla di Tanjung Puting. Menurut dia, semestinya pengelola taman nasional ekstra menjaga kawasan.

“Jika ada titik api dan akhirnya meluas ini bisa dikatagorikan kelalaian,” katanya, 4 Oktober lalu.

Kelalaian, katanya,  ada ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 78 Ayat (4) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Ancaman hukuman berupa pidana penjara lima tahun dan denda sampai Rp1,5 miliar. “Seharusnya KHLK mempunyai rasa malu dengan kejadian area taman nasional mereka kebakaran.”

Siapakah yang lalai dalam kasus ini? “Kami, warga dan PT Kumai Sentosa itu korban. karena posisi kami pas di bawah kawasan (taman nasional). Api belum sampai, asapnya sudah melumpuhkan si pemadam,” kata Riky.

“Saya pribadi nggak masalah ada kawasan. Tapi kalau kebakaran tiap tahun yang dirugikan pasti masyarakat.”

Hingga 14 Oktober ini, api di Desa Sungai Cabang dan konsesi perusahaan belum padam total walau sudah terkendali. “Masih ada bara-bara api yang mebimbulkan asap, masih dijaga,” katanya.

Di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting upaya pemadaman masih berlangsung. Setiap hari,  water boombing dikerahkan ke kawasan Taman Nasional, bagian selatan.

Taman Nasional Tanjung Putting,  memiliki luas lebih 400.000 hektar. Secara administratif ia masuk ke dalam dua kabupaten, Kotawaringin Barat dan Seruyan. Balai TNTP mengemban banyak fungsi di kawasan ini. Tiga hal penting yang termasuk tugas dan fungsi mereka adalah melindungi dan mengamankan kawasan, mengendalikan dampak kerusakan sumber daya alam hayati, dan mengendalikan kebakaran hutan.

Apa kata balai? Sayangnya, upaya saya mendapatkan klarifikasi dari Balai TNTP, tidak mudah. Kepala Balai TNTP, Murlan Dameria Pane, sulit dihubungi. Permintaan wawancara melalui pesan Whatsapp saya, masih centang satu. Sejak pertengahan September 2023 kala api masih di dalam taman nasional saya sudah menghubungi Murlan.

Pada 2 Oktober pagi Murlan mengangkat telepon, dan bilang sedang zoom meeting. Dia mengaku belum mendapat informasi tentang kematian Jaka.

Sore harinya, kembali saya mem-verifikasi informasi lapangan. Lewat SMS, Murlan menjawab. “Saya masih menunggu laporan resmi dari lapangan dan dari kepolisian.”

Menurut Riky, orang-orang Balai TNTP sebenarnya tahu pelaku pembakar hutan itu dari wilayah Sungai Perlu.

Di musim kemarau, wilayah barat Sungai Perlu ditengarai jadi tempat yang menggiurkan bagi pemburu rusa. Membakar kawasan adalah cara ampuh untuk membuat kawanan rusa berkumpul. Beberapa minggu setelah kebakaran, rumput-rumput liar yang baru tumbuh akan menarik minat kawanan rusa. “Tapi dari mereka [balai] tidak ada tindakan tegas,” kata Riky.

Upaya pemadaman api di sekitar Sungai Buluh Kecil, dalam Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, pertengahan September 2023 . Foto: Tim Pemadam Kobar

 

*********

 

Exit mobile version