Mongabay.co.id

Konferensi Tenurial 2023: Jaga Ruang Hidup, Masyarakat Sipil Harus Perkuat Gerakan

 

 

 

 

 

Organisasi masyarakat sipil harus memperkuat gerakan untuk menjaga keberlanjutan ruang hidup, ruang produksi dan lingkungan hidup. Seruan itu terungkap dalam Konferensi Tenurial 2023 yang mengusung tema “Mewujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis Melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam”. Acara ini berlangsung pada 16-17 Oktober di Jakarta.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, upaya penguatan penting karena berdasarkan isu-isu sektoral, gerakan masyarakat sipil dinilai masih terfragmentasi dan terpecah ketika terjadi intimidasi, ancaman pembubaran serikat petani, hingga penangkapan tokoh-tokoh gerakan.

Selain itu, katanya,  tanpa penguatan dan tanpa persatuan, ancaman terhadap tanah-tanah rakyat akan makin besar. “Yang bikin masyarakat bertahan di atas tanahnya adalah penguatan organisasi rakyat. Karena rata-rata penyelesaian konflik agraria itu di atas 25 tahun sampai 30 tahun,”  katanya, Senin (16/10/23).

Dari catatan KPA, sepanjang 2015-2022,  terjadi sedikitnya 2.719 konflik agraria yang berdampak pada 5,88 juta hektar. Kemudian, dalam tiga tahun terakhir, terdapat kurang-lebih 105 konflik agraria dampak dari proyek strategis nasional (PSN).

 

Baca juga: Konferensi  Tenurial 2023:  Konsolidasi Masyarakat Bahas Persoalan Agraria dan Sumber Daya Alam

 

 

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Dewi Kartika, Sekjen KPA, kemudian Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekretaris Jenderal bidang Politik dan Hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat jumpa pers di acara Konferensi Tenurial 2023. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

 

Dewi contohkan,  kasus masyarakat berkonflik dengan perusahaan sawit di Seruyan, Kalimantan Tengah. Masyarakat adat yang seharusnya jadi pemilik tanah, justru diperhadapkan pada model penyelesaian inti plasma yang tidak pernah terealisasi sejak 2001.

“Kasus Seruyan adalah gambaran paling nyata bahwa kedaulatan masyarakat adat atas wilayahnya dibolak-balik. Solusi-solusi palsu itu yang ingin kami buka kembali,” kata Dewi juga Ketua Steering Committe dalam Konferensi Tenurial 2023 ini.

Menurut dia, situasi itu buah dari kebijakan ekonomi, politik dan hukum yang liberal dan kapitalistik. Tanah-tanah rakyat, kekayaan agraria dan sumberdaya alam jadi komoditas yang bisa diambil paksa untuk kepentingan investasi dan bisnis skala besar.

Dampaknya, berdasarkan data KPA, dalam 10 tahun terakhir terjadi kriminalisasi terhadap 1.934 orang, 814 orang mengalami kekerasan, 78 tertembak dan 69 tewas karena mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya. Serta, menyebabkan jutaan orang jadi petani gurem (lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar).

“Sembilan tahun ini pemerintah gagal menuntaskan konflik agraria struktural dan gagal menjalankan reforma agraria yang dijanjikan seluas 9 juta hektar,” katanya.

 

Hasil panen dari kebun-kebun masyarakat dan petani yang sebagian sedang terancam berbagai kepentingan skala besar. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menjelaskan, penguatan gerakan rakyat makin penting karena kebijakan agraria belakangan memperuncing ketimpangan hak terhadap tanah, akses terhadap sumber daya alam dan fungsi lingkungan.

“Di mana 60% ruang kita dikuasai oleh 1% populasi di Indonesia,” katanya.

Dari sisi kebijakan, dia menilai, pemerintahan Presiden Joko Widodo mengingatkan periode kedua masa pemerintahan Orde Baru. Dengan proyek-proyek yang tidak bisa ditolak masyarakat, mengerahkan militer atau kepolisian dalam skala besar, hingga pemberian stigma pada masyarakat yang berupaya mempertahankan ruang hidupnya.

“Sekarang,  praktik penggunaan kekuasaan dan otoritas pemerintah sudah sama dengan masa Orde Baru, tetapi tidak ada partai politik yang mengambil sikap. Kami mau ingatkan seluruh partai politik untuk merespons situasi ini, karena mereka instrumen politik bagi masyarakat untuk menyatakan hak konstitusionalnya,” tegas Zenzi.

Dia bilang, gencarnya pembangunan yang tidak memperhitungkan fungsi lingkungan pada akhirnya berbuah bencana, seperti kebakaran gambut setiap musim kering, banjir dan lain-lain.

Padahal, katanya, Indonesia adalah negara yang dikarunia keragaman hayati besar dan menjadi salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia.

“Kemudian, ada perubahan posisi petani dan nelayan yang mulanya produsen pangan menjadi konsumen pangan. Ini bukan masalah sepele untuk negara kepulauan yang populasinya akan menjadi besar di masa depan,” kata Zenzi.

 

Pengunjung menyaksikan pameran visual di KT23. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Legitimasi hukum

Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekretaris Jenderal bidang Politik dan Hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara  (AMAN) mengatakan, keberpihakan pemerintah pada investasi, tampak dari revisi Undang-undang (UU) Mineral dan Batubara, revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hingga penetapan UU Ibu Kota Negara.

Selain itu, regulasi yang mengarah pada keadilan sosial dan lingkungan tidak kunjung selesai ataupun terimplementasi, contoh, TAP MPR IX/2001, UU Pokok Agraria tahun 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Perpres Reforma Agraria, hingga RUU Masyarakat Adat.

Eras khawatir, hukum yang seharusnya bertujuan mencapai keadilan dan melaksanakan mandat konstitusi malah untuk merampas hak-hak rakyat. Dampaknya, dalam proses hukum, peristiwa-peristiwa perampasan tanah masyarakat tidak akan dikategorikan sebagai tindak pidana.

“Ini (perampasan) diperintahkan oleh Undang-undang, dilegitimasi hukum.  Itu makin kuat dalam 10 tahun terakhir. Karena aturan-aturan hukum kita menciptakan sistem yang rumit untuk mengakui hak rakyat, sementara di sisi lain menciptakan sistem yang begitu sederhana untuk mengambil alih tanah-tanah rakyat ini.”

 

Salah satu panel diskusi di Konferensi Tenurial 2023 di Jakarta. Panel ini membahas soal  tenurial di kawasan otoritas, sampai kawasan otonom. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Eras menilai, dalam kurun waktu itu, keberpihakan pemerintah pada investasi memperhadapkan masyarakat adat dengan bisnis-bisnis yang mengkapling hutan dan wilayah produktif. Juga, bentuk-bentuk usaha lapar tanah, seperti pertambangan dan industri kehutanan.

Atas dasar itu, dalam satu dekade belakangan, katanya, pemerintah gagal memenuhi janji Nawacita, reforma agraria maupun pengelolaan sumberdaya alam yang seharusnya memberi kesejahteraan untuk rakyat.

Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menerangkan, keberpihakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada investasi tampak ketika menerbitkan 16 paket kebijakan ekonomi, sejak periode pertama kepemimpinannya.

Di periode kedua, keberpihakan itu dilengkapi dengan mengubah 70 peraturan untuk investasi lewat UU Cipta Kerja.

“Hukum yang merupakan turunan konstitusi untuk memberikan kehidupan kebangsaan yang bebas, melindungi segenap bangsa Indonesia dan memberikan keadilan sosial, justru untuk melindungi kepentingan investasi pemodal. Akhirnya di lapangan, polisi dan tentara bergerak atas dasar perintah.”

Menurut Isnur, tindakan-tindakan itu terjadi karena sejak reformasi hampir semua proyek dan program berfokus pada penguatan lembaga negara. Sisi lain, organisasi masyarakat sipil luput memperkuat jejaring komunitas masyarakat.

Karena itu,  Konferensi Tenurial 2023 menjadi momentum untuk memperkuat organisasi dan komunitas masyarakat sipil melalui refleksi dan evaluasi gerakan. Serta, menjadi ruang berbagi kisah kemenangan-kemenangan warga melalui berbagai pendekatan.

“Ada yang menang dengan gugatan, ada yang menang dengan adat. Harapannya, forum ini berbagi pelajaran tentang menghadapi kekuasaan yang tanpa batas.”

Konferensi Tenurial 2023 berlangsung pada 16-17 Oktober 2023 di Gedung Serbaguna Gelora Bung Karno, Jakarta. Kegiatan ini dihadiri lebih dari 800 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia.

Tujuan acara ini, menciptakan kondisi dan prasyarakat yang memungkinkan pelaksanaan reforma agraria sejati. Juga, pengelolaan sumberdaya alam yang beradab sebagai jalan mewujudkan keadilan sosial-ekologis bagi seluruh masyarakat Indonesia.

 

Produk-produk dari petani, maupun masyarakat adat seperti hasil pertanian dan perkebunan maupun perikanan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version