Mongabay.co.id

Tantangan Menyeimbangkan Pemanfaatan dan Perlindungan Ikan Dilindungi

 

Pertemuan ke-19 Konferensi Para Pihak (COP19) yang berlangsung di Panama pada akhir 2022 lalu menghasilkan kesepakatan berupa penetapan sejumlah spesies akuatik yang baru dan masuk dalam daftar kelompok appendiks II konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES).

Spesies akuatik yang dimaksud, adalah Hiu Family Carcharhinidae, Hiu Family Sphyrnidae, Pari Family Potaromotrygonidae, Pari Famili Rhinobatidae, Hypancistrus zebra (Ikan Pleco Zebra), dan Thelenota spp. (Teripang Genus Thelenota).

Penambahan tersebut diyakini akan semakin memperluas cakupan pemanfaatan ikan yang dilindungi di Indonesia. Hal itu dikatakan Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan M Firdaus Agung pekan lalu di Jakarta.

Pemanfaatan tersebut biasanya dilakukan oleh para pelaku usaha untuk berbagai kepentingan. Namun, dengan penambahan spesies, para pelaku usaha diharapkan bisa semakin meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan tentang pemanfaatan ikan yang dilindungi.

Kepatuhan itu, di antaranya adalah mewajibkan setiap pelaku usaha untuk mengantongi izin berupa surat izin pemanfaatan jenis ikan (SIPJI). Izin tersebut akan mengendalikan pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi.

Termasuk, mengendalikan jumlah pemanfaatan jenis ikan yang diatur melalui mekanisme kuota. Juga saat pelaku usaha sudah mendapatkan izin dan jumlah jenis ikannya, maka saat melakukan lalu lintas ikan harus dilengkapi dengan Surat Angkut Jenis Ikan Dalam Negeri (SAJI DN).

Maka dari itu, Firdaus Agung berharap kepada semua pihak yang memanfaatkan semua jenis ikan yang dilindungi harus bisa terus meningkatkan pemahamannya tentang kepatuhan dalam pemanfaatannya.

baca juga : Foto: Ikan Putak, Jenis Dilindungi yang Masih Dijadikan Kuliner

 

Ikan putak atau dinamakan juga belida jawa [Notopterus notopterus] yang merupakan jenis dilindungi. Foto: Fadhil Nugraha

 

Dia menyebutkan, ada tiga aspek yang harus dipahami oleh semua pihak terkait saat ingin memanfaatkan jenis ikan dilindungi. Di antaranya, legality atau kepemilikan izin, sustainability atau keberlanjutan untuk menjamin pengelolaan perdagangan ikan.

“(Dan) traceability atau ketertelusuran peredaran perdagangan jenis ikan yang dilindungi dan appendiks CITES,” jelas dia.

Tujuan dibuatnya mekanisme pengaturan, tidak lain adalah untuk mengendalikan perdagangan spesies ikan yang dilindungi dan sekaligus memastikan terjaganya kelestarian mereka di alam bebas. Mengingat itu menjadi proses penting, maka diperlukan sinergi semua pihak.

“Baik itu pelaku usaha, Pemerintah, dan stakeholders terkait lainnya,” tambahnya.

Berbicara tentang COP19, M Firdaus Agung menerangkan kalau kegiatan itu digelar salah satunya untuk mengenalkan beberapa terobosan dalam implementasi CITES di seluruh dunia. Juga, mengenalkan penggunaan teknologi dalam proses implementasinya.

Misalnya, sistem dalam jaringan (online), panduan digital, Non-Detriment Findings (NDF), dan juga teknik molekuler yang sedang dikembangkan di seluruh dunia dalam pengelolaan sumber daya hiu dan pari Appendiks CITES.

Saat sidang berlangsung tahun lalu, jenis ikan yang terdaftar dalam sidang komite pembahasan adalah famili Carcharhinidae, Sphyrnidae, Rhinobatidae, Potaromotrygonidae, Thelenota spp. dan Hypancistrus zebra.

baca juga : Ikan Mola-Mola Ditangkap dan Dijual Nelayan di Sikka. Perlukah Ikan Ini Dilindungi?

 

Ikan zebra pleco (Hypancistrus zebra) yang masuk dalam Apendiks II CITES. Foto : whole sale tropicals aquatics

 

Namun KKP saat itu merespon pembahasan dengan menerima satu usulan saja, yaitu famili Sphyrnidae. Selebihnya, KKP menolak semua usulan dengan pertimbangan pada pemenuhan aspek biologi, kondisi populasi di Indonesia, dan dampak sosio-ekonominya.

Walau menolak, berdasarkan hasil voting dan/atau konsensus forum, seluruh jenis ikan hiu dan pari yang diusulkan terdaftar, masuk ke dalam daftar Appendiks II CITES. Hasil tersebut berdampak pada setiap pemanfaatannya.

Itu berarti, setiap jenis ikan Appendiks II harus memiliki izin berupa SIPJI, jumlah pemanfaatan jenis ikan akan diatur dengan mekanisme kuota dan setiap lalu-lintas jenis ikan harus dilengkapi dengan dokumen angkut berupa SAJI.

Agar kontrol bisa berjalan baik, KKP berkoordinasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) selaku pemegang otoritas keilmuan (scientific authority/SA)) CITES di Indonesia. Koordinasi dilakukan agar bisa melaksanakan sosialisasi dan penyusunan dokumen Non-Detriment Findings (NDF).

Dokumen tersebut adalah kajian ilmiah mengenai tingkat resiko terhadap keberlangsungan (sustainability) atau kerentanan spesies berdasarkan tindak pengelolaan yang dilakukan. Biasanya, itu disusun keperluan pengelolaan spesies hiu yang masuk kelompok appendiks II CITES.

COP CITES sendiri adalah pertemuan rutin yang digelar setiap dua tahun antar negara anggota, dengan tujuan untuk membahas hal-hal mengenai implementasi konvensi, perkembangan, dan perubahan status jenis flora dan fauna terancam punah yang diatur perdagangan internasionalnya melalui konvensi tersebut.

baca juga : Sudah Dilindungi, Bambu Laut Masih Saja Diperjualbelikan

 

Tumpukan pari dan hiu Apendiks II di Pelabuhan Tasikagung, Rembang, Kabupaten Jawa Tengah. Foto diambil pada 1 Juli 2022. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Selain KKP sebagai otoritas pengelola (management authority/MA) CITES untuk jenis ikan bersirip (Pisces) di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menjadi MA untuk Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Pembagian dua wewenang tersebut mulai berjalan sejak akhir April 2020, tepatnya saat Indonesia memisahkan kewenangan tumbuhan dan satwa liar dengan semua jenis ikan. Pembagian tersebut mengurangi peran KLHK sebagian MA dan memulai peran KKP sebagai MA.

Peran KKP sebagai MA Jenis Ikan sebenarnya sudah ditetapkan sejak 2007 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Namun, proses peralihan harus berjalan selama 13 tahun hingga bisa terpisah dengan KLHK pada 2020.

Sementara, peran KLHK sebagai MA Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar sudah ditetapkan sejak 1999 melalui PP 8/1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Dengan demikian, Indonesia memiliki dua MA dan satu SA CITES.

Penetapan KKP sebagai salah satu MA CITES dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Saat itu dia menyebut pemisahan tersebut akan semakin menguatkan rencana pengelolaan dan pemanfaatan semua jenis ikan CITES.

 

Cegah Kepunahan

Belum lama ini, komitmen untuk memperkuat perlindungan terhadap ikan yang dilindungi juga ditegaskan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Kusdiantoro.

Salah satu upaya itu, adalah dengan memperkuat sistem pengendalian pemanfaatan ikan yang dilindungi, termasuk spesies yang masuk kelompok CITES. Pengendalian itu menjadi salah satu instrumen penting untuk menjaga kelestarian aneka ragam hayati laut.

“Khususnya spesies ikan dilindungi agar terhindar dari kepunahan,” tutur dia.

baca juga : Ikan Air Tawar Mendesak untuk Dilindungi Populasinya, Kenapa?

 

Ikan belida sumatera, jenis dilindungi yang populasinya terus menurun di lahan basah Sungai Musi. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pengaturan pemanfaatan ikan yang dilindungi dan masuk kelompok CITES, menjadi bagian dari proses setelah melakukan ratifikasi CITES oleh Indonesia. Karena itu, semua jenis ikan yang dilindungi harus tetap lestari walau dimanfaatkan.

Dia menjelaskan kalau kelompok apendiks CITES adalah daftar spesies yang perdagangannya harus diawasi oleh negara-negara yang telah menyepakati konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam.

“Konvensi tersebut bertujuan menjaga kelestarian tumbuhan atau spesies dari kepunahan,” terang dia.

Kusdiantoro mengatakan, kebijakan pengendalian pemanfaatan ikan yang dilindungi salah satunya berfokus pada pengendalian kuota pemanfaatan oleh pelaku usaha. Hal tersebut penting agar keberlanjutan jenis ikan dilindungi dapat terjaga.

Saat ini, pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ikan dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lapangan melalui penerbitan Rekomendasi dan Surat Angkut Jenis Ikan Dalam Negeri (SAJI DN). Proses tersebut menjadi tahapan penting untuk memanfaatkan jenis ikan dilindungi.

“Penerbitan kedua dokumen tersebut menjadi salah satu instrumen penting untuk memastikan pemanfaatan Jenis Ikan Dilindungi dan/atau yang dibatasi pemanfaatannya,” ujar dia.

baca juga : “Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi

 

Seorang penyelam di lepas pantai Florida berenang bersama pari gergaji gigi kecil yang terancam punah. Foto : Michael Patrick O’Neill/saveourseas.com

 

Mengingat tujuan dari penerbitan dua dokumen yang disebut di atas adalah untuk pengendalian lalu lintas ikan dilindungi, maka layanan keduanya dilakukan dengan memperhatikan aspek pelayanan publik yang baik.

Pelaksanaan pelayanan seperti itu dilakukan dengan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Saat ini, pelayanan bahkan telah diterapkan dengan menggunakan sistem elektronik terintegrasi, yakni aplikasi e-saji.

“Kurang lebih sebanyak 316 pelaku usaha perdagangan jenis ikan terdaftar pada sistem yang telah menggunakan sistem elektronik terintegrasi yakni aplikasi e-saji,” pungkas dia.

Kepala Loka Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (LPSL) Serang KKP Santoso Budi Widiarto menerangkan bahwa layanan dua dokumen akan sangat membantu dalam mengontrol realisasi pemanfaatan agar sesuai dengan kuota masing-masing pelaku usaha.

Kemudian, memudahkan juga proses pengurusan penerbitan Rekomendasi dan SAJI DN yang sangat diperlukan para pelaku usaha. Selain untuk mengontrol pelaksanaan kuota pemanfaatan oleh pelaku usaha.

“Intinya, sistem itu bertujuan untuk memberi kemudahan layanan kepada masyarakat,” ucap dia.

Pengelolaan dan pemanfaatan yang tepat dan untuk semua jenis ikan yang masuk kelompok appendiks CITES, menjadi komitmen KKP saat ini. Salah satunya, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 61 Tahun 2018 jo Permen KP No 44 tahun 2019 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau Jenis Ikan yang tercantum dalam Appendiks CITES.

Selain itu, KKP juga menerbitkan aturan berupa Permen KP No 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan.

Selain hiu, pari, dan teripang, ikan yang menjadi pengawasan CITES di Indonesia, adalah arwana (Scleropages formosus) yang sudah masuk dalam daftar apendiks I atau dilarang untuk diperdagangkan dalam bentuk apa pun.

Spesies tersebut saat ini sedang dalam pengawasan ekstra ketat dari Pemerintah Indonesia.

baca juga : Memanfaatkan Ikan Arwana Sesuai Ketentuan CITES

 

Ikan arwana super red. Foto : GNFI

 

Sebelum terjadinya peralihan otoritas pengelola, pemanfaatan arwana untuk perdagangan masih dikelola oleh KLHK. Kemudian, setelah peralihan terjadi, pengelolaan arwana dipindahtangankan kepada KKP yang statusnya sekarang sudah menjadi otoritas pengelola.

Selain arwana, ikan jenis lain yang dinilai layak untuk masuk kelompok CITES, adalah ikan capungan Banggai (Pterapogon kauderni) atau Banggai Cardinal Fish (BCF). KKP beberapa kali sudah mengusulkan agar ikan tersebut masuk ke dalam daftar appendiks II.

Usulan tersebut dilakukan, karena pemanfaatan ikan tersebut sangat tinggi dan cepat di seluruh dunia sebagai ikan hias. Status appendiks II adalah spesies yang tidak terancam kepunahan, namun mungkin terancam jika perdagangan terus berlanjut tanpa ada pengaturan.

Ikan BCG sendiri adalah ikan hias air laut endemik Indonesia yang ditemukan pertama kali di perairan laut pulau Banggai. Penyebarannya sangat terbatas dan sebagian besar berada di perairan Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut.

Ikan tersebut diketahui memiliki populasi dengan jumlah yang relatif sedikit. Itu sebabnya, KKP kemudian menetapkan ikan BCG sebagai jenis ikan yang dilindungi terbatas, agar keberlanjutan sumber daya di alam bisa tetap terjaga dengan baik.

 

Exit mobile version