Mongabay.co.id

Dana ke Pembangkit Batubara Terus Ngalir, Lonjakan PLTU Captive, Mana Komitmen Hijau?

 

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia bicara soal rencana penutupan pembangkit batubara untuk berkontribusi pengurangan emisi karbon. Nyatanya, PLTU-PLTU batubara baru masih terus dibangun. Sejumlah lembaga masyarakat mendampingi warga Suralaya, Banten, misal,  mengadukan grup Bank Dunia ke Compliance Advisor Ombudsman (CAO) karena masih memberikan pembiayaan secara tidak langsung untuk PLTU baru Jawa 9 dan 10.

Dalam aduan yang dikirimkan 13 September lalu, warga didampingi Pena Masyarakat, Trend Asia, Inclusive Development International dan Recourse, memaparkan keterlibatan International Finance Corporation (IFC). Lembaga swasta pemberi pinjaman, anak usaha Bank Dunia ini, yang memberikan pinjaman US$15,36 juta kepada Hana Bank Indonesia, satu penyandang dana proyek PLTU Jawa 9 dan 10.

“Entah untuk siapa PLTU Jawa 9 dan 10 ini dibangun karena masyarakat Suralaya tidak merasakan manfaatnya,” kata Mad Haer Effendi, Direktur Pena Masyarakat.

Sebaliknya, kata Mad, PLTU baru ini akan makin memperparah kerusakan lingkungan yang terjadi dan meningkatkan penyakit ISPA. Baginya,  iming-iming proyek akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat hanya omong kosong.

Dalam suratnya, gabungan organisasi masyarakat ini menuntut setop pembangunan PLTU dan memberikan kompensasi adil serta penuh atas kerugian yang diderita masyarakat sekitar pembangkit.

Dua PLTU yang akan dibangun berkapasitas 2.000 megawatt atau hampir 50% total kapasitas komplek PLTU Suralaya unit 1-8. PLTU ini berisiko menyebabkan ribuan kematian dini dan menyumbang lebih 250 juta metrik ton CO2 ke atmosfer.

Mad menekankan, selain berdampak pada kesehatan, PLTU di Suralaya saat ini sudah menghancurkan mata pencaharian petani dan nelayan.

“Banyak keluarga tergusur paksa tanpa kompensasi yang memadai hanya untuk memuluskan pembangunan proyek itu,” katanya.

Penghancuran pantai tersisa di Suralaya juga berdampak signifikan pada sektor pariwisata dan bisnis lokal.

“Tidak ada urgensi terus membangun PLTU Jawa 9 dan 10. Kebutuhan listrik daerah ini sudah terpenuhi dan jaringan listrik Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan,” kata Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia.

Ekspansi PLTU ini, katanya, hanya akan menghancurkan kehidupan masyarakat dan membawa dunia makin dekat dengan bencana iklim. Tindakan ini, katanya, juga berlawanan dengan upaya mencapai target nol emisi dan gagalnya Perjanjian Paris.

 

Pangkalan nelayan Suralaya. Nelayan terdampak dengan ada PLTU batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Langgar komitmen hijau

Selain menekankan soal dampak kesehatan dampak operasional PLTU, pengaduan ini juga menggarisbawahi  kegagalan IFC mengawasi kliennya, Hana Bank Indonesia.

Sarah Jaffe,  Senior Legal dan Policy Associate Inclusive Development International, mengatakan,  investasi IFC di Hana Bank Indonesia, melanggar kerangka kerja keberlanjutan dan pendekatan ekuitas hijau (green equity approach) IFC.

Dalam pendekatan ini, katanya,  mewajibkan klien perantara keuangan, termasuk Hana Bank, meningkatkan pinjaman proyek yang mengatasi perubahan iklim dan yang mengurangi atau menghilangkan paparan batubara hingga mendekati nol pada 2030.

Meskipun IFC menyatakan tidak akan mendanai proyek batubara baru, nyatanya klien IFC masih membiayai pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10.

Klien IFC dan perantara keuangan lain juga masih dapat berinvestasi pada PLTU captive-PLTU off-grid di dalam kawasan industri- dan menjamin obligasi untuk pengembang batubara.

“Meskipun IFC telah menyatakan bahwa pendekatan ini berlaku untuk semua klien ekuitas yang ada, masih belum jelas apa dan bagaimana pendekatan ini diterapka, “ kata Sarah.

Dukungan terhadap PLTU Jawa 9 dan 10 juga dinilai bertentangan dengan misi Bank Dunia.

Kate Geary,  Co-director Recourse mengatakan,  proyek ini membuat Bank Dunia berseberangan dengan kemitraan transisi energi berkeadilan (just energy transition partnership) Indonesia. Ia merupakan inisiatif pendanaan dari negara maju untuk membantu Indonesia mempercepat peralihan dari batubara ke sumber energi lebih bersih dan terbarukan senilai US$20 miliar.

Dalam aduannya, masyarakat sipil sepakat ekspansi PLTU tidak perlu dilakukan. Kalau penghentian proyek tak memungkinkan, IFC dituntut memastikan proyek ini tidak ditingkatkan dan dimodifikasi agar dapat mengurangi kerugian sosial dan lingkungan yang ditimbulkan.

Mereka juga menuntut ganti rugi penuh dan adil atas kerugian yang diderita masyarakat serta mengakhiri pembiayaan Hana Bank Indonesia ke proyek batubara.

IFC juga dituntut mengubah kebijakan sistemik untuk menghapuskan semua dukungan tidak langsung pada proyek batubara.

 

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Cilegon city, Banten, Indonesia. Foto : Ulet Ifansati/Greenpeace

 

PLTU captive

Peraturan Presiden No 112/2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik memberikan celah bagi kelanjutan pengembangan PLTU captive. Lebih dari setengah, atau 50,1%, dari sisa usulan penambahan kapasitas batubara berupa pembangkit captive. Saat ini,  upaya pemerintah untuk dekarbonisasi sektor energi masih terbatas pada jaringan listrik (on-grid).

Laporan terbaru Center for Research on Energy and Clean Energy (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) menemukan, PLTU batubara captive tersebar di pulau-pulau besar di Indonesia.

Menurut laporan ini, Indonesia adalah negara dengan kapasitas PLTU captive yang bertambah nyaris delapan kali selama satu dekade terakhir.

Hal ini, katanya, tak sejalan dengan target transisi energi. Global Coal Plant Tracker dari GEM mencatat,  ada 8,2 gigawatt dari kapasitas 10,8 gigawatt PLTU captive yang beroperasi dalam kawasan industri di Indonesia.

PLTU ini untuk pengolahan mineral tambang atau smelter. Jenis mineral ini-termasuk nikel, aluminium, dan besi, merupakan bahan yang disebut untuk ‘transisi energi’.

Namun,  katanya, pengolahan mineral-mineral tambang ini masih menggunakan energi batubara.

Temuan utama laporan CREA dan GEM, 25% kapasitas pembangkit batubara yang beroperasi di Indonesia merupakan PLTU captive. Kapasitasnya meningkat hampir delapan kali lipat dari 2013, dari 1,4 gigawatt menjadi 10,8 gigawatt saat ini. Ada 14,4 gigawatt yang sedang diusulkan atau sedang dibangun untuk keperluan smelter mineral.

Saat ini,  smelter sudah ada di 13 provinsi di Indonesia. Penambahan PLTU batubara melampaui penambahan energi terbarukan meskipun Indonesia punya tujuan mencapai puncak emisi pada 2030 melalui percepatan pembangunan energi terbarukan.

Katherine Hasan, analis CREA mengatakan,  PLTU captive dibangun di Indonesia lima kali lebih cepat dibanding negara lain di dunia dalam satu dekade terakhir.

“Ini bikin Indonesia berada dalam situasi sulit yang akhirnya tidak dapat mengabaikan pembangkit listrik captive dari perencanaan transisi energi bersih,” katanya.

Perencanaan transisi energi ini termasuk pendanaan melalui JETP.  Karena perencanaan masih berjalan, katanya, Indonesia dan mitra internasional harus sadar mengakui dan memprioritaskan dekarbonisasi pada industri mineral kritis ini.

Sisi lain, menurut Peneliti GEM, Lucy Hummer, kurangnya tranparansi dan tantangan yang terus berlanjut dalam menentukan skala sebenarnya dari PLTU captive berisiko menyabotase komitmen transisi energi Indonesia.

Daripada membiarkan perencanaan JETP goyah, katanya, pemerintah harus mempercepat pengembangan industri mineral kritis dan menghentikan PLTU batubara dengan bantuan mitra internasional.

Binbin Mariana, Juru Kampanye Keuangan Batubara Market Forces menekankan, saat ini lebih 200 bank dan lembaga keuangan global punya kebijakan pembatasan pendanaan batubara. Namun, tidak ada bank di Indonesia yang masuk dalam daftar itu.

Ditambah lagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi peluang bagi PLTU batubara masuk kategori hijau asal untuk transisi energi termasuk smelter.

Bagi Binbin keterlibatan bank domestik dalam pembiayaan pembangunan PLTU batubara baru menunjukkan bahwa perbankan Indonesia tertinggal jauh dalam mengelola risiko iklim dari pendanaan batubara.

“Ada risiko transisi dan risiko fisik dalam pendanaan batubara. Perbankan Indonesia tidak mempertimbangkan risiko krisis iklim yang berdampak pada usaha debitur yang mempengaruhi kualitas asset pinjaman bank yang akhirnya akan mengurangi profit bank,” kata Binbin.

 

 

Kawasan industri PT IWIP di Halmahera Tengah dengan PLTU batubara captive-nya. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

******** 

 

 

 

Exit mobile version