Mongabay.co.id

Mencari Jejak DNA Gajah Sumatera di Tesso Nilo [Bagian 1]

 

 

Survei populasi gajah sumatera pernah dilakukan di Taman Nasional Tesso Nilo [TNTN] pada 2012 lalu.  

Tugiyo atau Egi panggilan akrabnya, yang merupakan ketua tim, memberi arahan kepada tiga anggotanya, untuk bergerak ke selatan menuju jalan koridor. Tidak ada yang berbeda dengan perjalanan pada hari-hari sebelumnya. Barisan tumbuhan akasia masih menjadi pemandangan utama.

Akasia itu berada di wilayah hutan tanaman industri [HTI], milik perusahaan yang konsesinya berada di sekitar TNTN. Memasuki minggu kedua survei di bulan Juli tersebut, setelah briefing dan mengemas semua peralatan, tim melanjutkan perjalanan.

Tim Egi merupakan satu dari lima kelompok yang terlibat pada survei populasi gajah sumatera. Penelitian ini menggunakan metode fekal DNA dari kotoran gajah, melibatkan anggota gabungan dari Balai TNTN, WWF Indonesia, mahout gajah latih, serta mahasiswa Universitas Riau dan Universitas Lancang Kuning yang tengah melakukan penelitian.

Fekal DNA [Deoxyribonucleic Acid] adalah metode pengambilan material genetik yang berasal dari fekal atau kotoran gajah untuk mendapatkan informasi genetiknya. Informasi tersebut dapat digunakan untuk menghitung populasi, alur kekerabatan, serta mengukur potensi kawin sedarah.

Feses merupakan jenis sampel yang dapat diperoleh secara non-invasif. Feses dapat digunakan sebagai sumber DNA untuk analisis genetik karena mengandung sel-sel epitel yang berasal dari permukaan saluran pencernaan gajah sumatera.

Namun, DNA dari feses memiliki jumlah relatif sedikit dibandingkan sampel jaringan lain, seperti darah. DNA dari sampel feses juga rentan akan kondisi lingkungan seperti sinar ultraviolet dan juga tercemar DNA hewan lain.

Meski begitu, gajah sumatera yang merupakan herbivora, sangat memungkinkan sedikit tercemar dengan DNA hewan lain. Selain itu, perilaku makan gajah sumatera juga mendukung kemungkinan terjadinya abrasi jaringan dari organ saluran pencernaan, karena memiliki rasio makan dan defekasi cukup tinggi. Oleh karena itu, DNA gajah sumatera yang berasal dari sampel feses dapat digunakan dalam analisis [Hedges dkk. 2005].

Baca: Berjibaku dengan Kotoran Demi DNA Gajah

 

Gajah sumatera yang statusnya dilindungi. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

Dua jam berjalan, tim menemukan tanda pergerakan gajah. Belum dapat dipastikan berapa individu yang melintas area tersebut. Namun, beberapa batang akasia tampak tumbang, patah, dan ada yang terkelupas kulitnya.

Beno Fariza, peneliti dari tim tersebut, mengamati bekas gigitan gajah yang masih basah di batang akasia. Dia meyakini sekelompok gajah baru saja lewat sambil makan dan beberapa di antaranya istirahat, membaringkan tubuhnya di atas ilalang yang tampak rebah membentuk belanga besar.

Aroma khas kotoran gajah begitu kental terasa, mirip kotoran sapi. Bedanya, kotoran gajah lebih kaya tumbuhan dan tidak begitu menyengat.

“Ini ada kotoran segar,” ucapnya.

Yansen Gultom, anggota tim lainnya pun berteriak memberi informasi. Sampel kotoran gajah pertama pada trip ini akhirnya ditemukan.

Seluruh anggota berkumpul dan mengeluarkan peralatan sesuai prosedur pengambilan sampel. Permukaan kotoran tampak kering, namun belum terurai. Aromanya masih segar.

Menurut Beno, saat itu cuaca sangat terik. Bahkan mereka belum pernah merasakan hujan sepanjang perjalanan ini. Ia meyakini, cuaca panas dan paparan sinar matahari menyebabkan kotoran gajah itu kering.

Namun, sebagian dari tumpukan kotoran tersebut masih ditemukan sisi yang basah, menyisakan sisa sel epitel dalam saluran pencernaan gajah. Sel inilah yang menjadi target tim sebagai materi genetik, berupa DNA untuk dihitung populasinya.

Baca: Hilangnya Kantong Gajah Sumatera di Koto Panjang [Bagian 1]

 

Taman Nasional Tesso Nilo merupakan habitatnya gajah sumatera. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

Sel itu dikumpulkan. Pengambilan sampel kotoran dilakukan secara aseptis menggunakan sarung tangan dan stik kayu yang telah disterilisasi. Diperlukan sekitar 5 ml volume kotoran gajah untuk kemudian dicampurkan 20 ml larutan buffer DETs atau pengawet dalam tabung 50 ml. Tiap sampel dipotret dan dicatat datanya, terkait kondisi atau titik lokasi temuan dalam lembar data survei.

Dalam penelitian gajah, kotoran atau sisa makanan yang telah terproses pada pencernaan gajah disebut bolus. Sedangkan potong-potongan bolus dinamakan boli. Dibutuhkan sekitar 3 boli untuk menggenapkan 5 ml volume yang dibutuhkan. Temuan ini merupakan 1 dari 8 sampel yang didapatkan tim Egi pada perjalanan etape pertama.

Saat pengambilan sampel kotoran gajah, anggota tim yang lain berjaga, memastikan tidak ada gajah liar di sekitar area yang dapat membahayakan keselamatan tim. Sampel disimpan di kotak yang berisi 25 tabung. Survei dan pengumpulan sampel dilaksanakan sejak 1 Juli hingga 4 November 2012 dengan 5 kali pengulangan.

Kelima tim telah mengumpulkan 377 sampel kotoran gajah. Seluruh sampel dibawa ke Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, untuk diteliti lebih lanjut.

Baca juga: Hilangnya Kantong Gajah Sumatera di Koto Panjang [Bagian 2]

 

Fekal DNA adalah metode pengambilan material genetik yang berasal dari fekal atau kotoran gajah untuk mendapatkan informasi genetiknya. Foto: Tugiyo/WWF Indonesia

 

Populasi dan nenek moyang gajah sumatera

Di Eijkman, masing-masing sampel kotoran dianalisis dengan protokol serta peralatan khusus. Proses ekstraksi dilakukan di ruangan khusus ekstraksi DNA. Sejumlah 13 lokus penanda DNA digunakan pada sampel gajah sumatera dari Taman Nasional Tesso Nilo dan sekitarnya.

Sampai saat ini, jumlah analisa lokus penanda DNA dari Tesso Nilo adalah yang terbanyak di Pulau Sumatera. Hasil analisa kotoran tersebut menyebutkan, jumlah minimum gajah sumatera yang terdapat di Tesso Nilo sekitar 147 individu dengan rasio jantan dengan betina adalah satu berbanding dua.

Selain untuk mendapatkan informasi jumlah individu, survei fekal DNA yang dilakukan tim gabungan juga bertujuan mengetahui kondisi habitat dan potensi ancaman gajah.

 

Kotoran gajah diambil sampelnya untuk diteliti. Foto: Zulfahmi/WWF Indonesia

 

Tiga tahun sebelumnya, pendekatan analisis gen untuk tujuan forensik dan konservasi satwa liar mulai dilakukan di Indonesia. Beberapa lembaga konservasi, seperti Wildlife Conservation Society [WCS], Borneo Orangutan Survival Foundation [BOSF], dan WWF Indonesia telah menggunakan pendekatan ilmiah ini.

Mulanya, pendekatan DNA dilakukan dengan cara mengambil sampel darah atau bagian tubuh satwa, hingga kemudian berkembang metode fekal. Artinya, metode fekal tidak menyakiti satwa, karena hanya memanfaatkan kotoran saja.

Menggunakan metode fekal DNA pada survei populasi gajah liar dianggap lebih aman dan dapat mengurangi terjadinya risiko, dibandingkan menghitung langsung jumlah individu gajah liar di lapangan. Peneliti tidak perlu berhadapan langsung dengan gajah-gajah liar.

 

Segala data tentang sampel kotoran gajah dicatat lengkap. Foto: Tugiyo/WWF Indonesia

 

Beno menjelaskan, survei menggunakan metode fekal DNA akan lebih terukur. Karena, selain dapat menghitung jumlah pasti individu gajah liar, metode ini juga dapat memetakan sebarannya, dan mengetahui kekerabatan, serta aspek ekologi lainnya.

Beberapa publikasi menyebutkan bahwa metode survei fekal DNA telah diterapkan lebih dulu di Afrika untuk dua spesies gajah di sana, gajah savana afrika [Loxodonta africana] dan gajah hutan afrika [Loxodonta cyclotis]. Metode ini diadopsi pula untuk beberapa populasi gajah asia [Elephas maximus] pada populasi gajah di negara-negara daratan Asia, salah satunya Laos.

“Keberhasilan pada survei terdahulu memberikan kontribusi besar dalam survei populasi gajah di Tesso Nilo,” ungkap Beno, 10 November 2022.

Survei-survei terdahulu, jelasnya, menyediakan banyak informasi lokus genetika yang sangat membantu dalam membedakan antar individu gajah si pemilik bolus dalam satu kelompok, maupun populasinya.

“Bahkan, kita pun dapat mengetahui kekerabatan antar-individu yang teridentifikasi.”

 

Tim bertugas mengumpulkan sampel kotoran gajah yang ditemukan di lokasi penelitian di TNTN. Foto: Zulfahmi/WWF Indonesia

 

Dari gumpalan jaringan tubuh di saluran pencernaan gajah, memberikan informasi genetik individu. Tiap individu gajah sumatera memiliki genetik atau DNA unik, yang berbeda antar-individu, bahkan dalam satu keluarga, anak dari induk yang sama. Salah satu analisis yang dilakukan terhadap informasi genetik tersebut adalah menghitung jumlah variasi haplotipe yang bersumber dari DNA mitokondria sel.

Mitokondria merupakan organ dalam sel yang berfungsi sebagai pengatur mekanisme energi dalam sel yang hanya diwarisi dari induk betina. Hal ini terjadi karena pada proses pembuahan sel telur, hanya mitokondria induk betina yang tersisa, sedangkan mitokondria induk jantan hilang selama proses pembuahan tersebut.

 

Terlihat rombongan gajah liar melintas. Foto: Zulfahmi/WWF Indonesia

 

Hasil survei yang dirilis Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyebut, variasi haplotipe pada sampel kotoran gajah di kawasan TNTN dan sekitar, ditemukan 3 jenis genetik nenek moyang gajah sumatera, dari 147 individu yang teridentifikasi dari survei ini.

Jumlah haplotipe berhubungan erat dengan kekerabatan antar-individu dalam suatu populasi karena menunjukkan asal usul nenek moyang gajah sumatera yang hidup hingga saat ini. Artinya, semakin banyak variasi haplotipe yang ditemukan dalam satu populasi, semakin tinggi keanekaragaman genetik populasi tersebut.

Tiga jenis haplotipe itu dinamai dengan kode BT, BU, dan BR. Bila dibandingkan dengan populasi gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, jumlah ini lebih banyak. Di Way Kambas hanya ditemukan satu jenis yaitu haplotipe BT yang juga ditemukan di Taman Nasional Tesso Nilo.

 

Hutan Tesso Nilo yang merupakan habitat gajah sumatera. Foto: Zulfahmi/WWF Indonesia

 

Beno menuturkan, informasi haplotipe juga menunjukkan bahwa penyebaran populasi gajah sumatera pada masa lalu hampir merata di Pulau Sumatera, dengan pola dari utara ke selatan. Ini dibuktikan dengan adanya kesamaan tipe haplotipe di dua kawasan habitat yang berbeda dan terpisah jarak cukup jauh.

“Selain itu, variasi haplotipe juga membuktikan bahwa populasi gajah di Tesso Nilo memungkinkan untuk bertahan dalam jangka waktu lama. Ini dikarenakan dapat terhindar dari potensi perkawinan sedarah atau inbreeding selama masih tersedia habitat yang layak dan kemungkinan interaksi antar-kelompok. Mengingat, pola hidupnya yang matrilineal yaitu tiap kelompok dipimpin betina dewasa,” paparnya.

 

Exit mobile version