Mongabay.co.id

Apa Keuntungan Konservasi di Laut Lepas bagi Indonesia?

 

Apresiasi tinggi dialamatkan banyak pihak kepada Pemerintah Indonesia yang telah berani mengambil peran penting di dunia sebagai salah satu negara yang ikut terlibat dalam perjanjian internasional yang mengatur tentang konservasi keanekaragaman hayati di laut lepas.

Perjanjian dengan nama lengkap Agreement under the United Nations Convention on the Law of the Sea on the Conservation and Sustainable Use of Marine Biological Diversity of Areas beyond National Jurisdiction itu menjadi salah satu bentuk komitmen Negara untuk melakukan konservasi di lautan.

Sebagai satu dari 82 negara yang terlibat dalam penandatanganan perjanjian tersebut di hari pertama, Indonesia menunjukkan komitmennya pada level dunia. Jumlah negara tersebut adalah setengah dari total 193 negara yang ikut menandatangani perjanjian itu.

Sebelum ada komitmen bersama untuk ditandatangani 193 negara, perjanjian yang juga dikenal dengan sebutan Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) resmi diadopsi pada Intergovernmental Conference (IGC) on Marine Biodiversity of Areas Beyond National Jurisdiction yang digelar pada 19 Juni 2023 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Salah satu pihak yang ikut memberikan apresiasi itu, adalah Greenpeace Indonesia. Lembaga yang fokus pada penyelamatan alam itu, mengapresiasi karena penandatanganan perjanjian laut itu menjadi bukti bahwa cara pandang Indonesia terus membaik dari waktu ke waktu.

Dia menilai, kemajuan yang diperlihatkan Indonesia pada level internasional, bisa terwujud berkat dukungan dan desakan dari masyarakat sipil. Terutama, yang sudah berjalan selama sepuluh tahun terakhir ini.

baca : Kegiatan Konservasi Kini Bisa Dilakukan di Laut Lepas

 

Menlu Retno LP Marsudi menandatangani menandatangani naskah perjanjian Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) di sela Sidang Umum Majelis PBB ke-78 di New York, Amerika Serikat pada pertengahan September 2023. Foto : UN Treaty Collection

 

Namun, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menilai kalau penandatanganan BBNJ bukan menjadi puncak dari perjuangan. Justru, dia menyebut kalau perjuangan masih harus terus berlanjut, hingga semua yang diharapkan bisa terwujud.

“Kita lanjutkan mengawal hingga perjanjian ini diratifikasi dan terwujud dalam langkah konkret,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Pujian juga tak sungkan diberikan Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak kepada Pemerintah Indonesia yang dinilai berani mengambil peran penting pada sidang BBNJ. Dia menyebut kalau langkah yang diambil oleh Pemerintah itu adalah sebuah pencapaian yang signifikan.

Khususnya, di saat sekarang ini, masa di mana multilateralisme sedang mengalami tekanan serius akibat perkembangan dan ketegangan politik yang sudah berlangsung beberapa tahun terakhir ini. Hal itu membuat Indonesia sangat layak mendapatkan apresiasi dan banyak pihak.

Namun demikian, dia menyebut kalau penandatanganan yang sudah dilakukan Indonesia pada perjanjian BBNJ, hanyalah sebuah momen simbolis saja. Masih ada tujuan penting dan utama yang harus diwujudkan, yaitu perlindungan lautan hingga 30 persen pada 2030 nanti.

“Waktu kita makin sempit untuk mewujudkan pelindungan pada 2030. Pemerintah juga perlu mengeratkan kerja sama lintas negara agar laut segera bebas dari segala aktivitas destruktif,” tutur dia.

baca juga : Menerapkan Tata Kelola di Laut Lepas untuk Kepentingan Nasional

 

Sekelompok ikan diantara terumbu karang. Foto : shutterstock

 

Leonard Simanjuntak menilai, perlunya Indonesia segera melakukan ratifikasi perjanjian BBNJ, adalah karena perlindungan laut memerlukan aksi lebih jauh. Selain itu, agar perjanjian bisa berlaku efektif, maka sedikitnya 60 negara harus terlibat dan meratifikasi perjanjian tersebut.

“Greenpeace mendesak pemerintah negara-negara untuk meratifikasi perjanjian tersebut pada Konferensi Kelautan PBB di Nice, Prancis, pada 2025 mendatang,” pungkas dia.

Bulan lalu, sebuah laporan yang mengurai proses politik untuk memberikan perlindungan laut juga resmi diterbitkan Greenpeace secara global. Laporan setebal 81 halaman itu, berisi tentang bagaimana tekanan kumulatif terus meningkat di laut lepas.

Lewat laporan tersebut, untuk pertama kali Greenpeace juga melakukan aktivitas pengukuran tentang meningkatnya penangkapan ikan pada wilayah perairan laut yang dilindungi. Kegiatan eksplorasi laut itu dilakukan dengan menggunakan data dari Global Fishing Watch (GFW).

Selain itu, sebuah petisi baru juga telah diluncurkan oleh Greenpeace untuk mendesak pemerintah negara-negara agar segera meratifikasi Perjanjian Laut PBB untuk menciptakan suaka laut baru. Petisi dan laporan tersebut didukung pula dengan film animasi pendek yang mengisahkan perjalanan tiga makhluk laut yang berusaha melarikan diri dari berbagai petaka yang terjadi di bawah laut.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sebelumnya mengungkap fakta unik tentang Indonesia menjadi negara yang menandatangani perjanjian di hari pertama. Fakta itu menyamai penandatanganan UNCLOS di hari pertama Penandatanganan Perjanjian Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) pada 10 Desember 1982.

Saat itu, 40 tahun lalu, orang yang menandatangani perjanjian UNCLOS adalah Menteri Luar Negeri RI saat itu, Mochtar Kusumaatmadja. Itu berarti, Indonesia sudah menegaskan kepada dunia sejak lama untuk mengelola wilayah laut dan pesisir dengan sungguh-sungguh.

baca juga : Sudah Saatnya Indonesia Merapikan Kewenangan Tumpang Tindih di Laut

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Bagi Indonesia, penandatanganan perjanjian BBNJ memiliki makna besar. Hal itu, karena proses negosiasi yang panjang dan alot harus dilalui sejak inisiasi dimulai pada dua dekade lalu, dan kemudian melaksanakan sidang pertama pada 2018 atau lima tahun yang lalu.

“Ini menandai sebuah momen bersejarah dalam tata kelola kelautan global,” ungkap dia.

Tentang pelaksanaan yang digelar di sela Sidang Umum Majelis PBB ke-78, itu ada alasan yang kuat, PBB ingin menunjukkan komitmen tegas kepada seluruh negara anggota yang hadir dan masyarakat internasional.

Sekaligus, PBB ingin mengajak semua pihak yang terlibat untuk bersama-sama melaksanakan pemulihan lingkungan laut, dan pengelolaan sumber daya genetik di laut secara berkelanjutan. Upaya tersebut memerlukan kerja sama para pihak yang sangat baik.

 

Pentingnya Ratifikasi

Pada awal Maret 2023, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) juga menerbitkan tulisan khusus tentang selesainya pembahasan naskah BBNJ yang proses penyusunannya berlangsung selama bertahun-tahun.

Dua peneliti muda IOJI, Gabriella Gianova dan Andreas Aditya Salim menuliskannya analisis tentang capaian BBNJ tersebut dan dipublikasikan oleh harian berbahasa Inggris, The Jakarta Post. Keduanya saling berbagi fakta mendalam dan analisis yang tajam tentang BBNJ.

Dalam tulisannya, kedua peneliti menyebut kalau perjanjian BBNJ dirancang untuk perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati laut di wilayah laut, yang berada di luar yurisdiksi negara-negara (laut lepas).

Juga, yang berada di dasar laut dan tanah di bawah laut yang terletak di luar yurisdiksi negara-negara (the area). Area-area ini bersama-sama disebut Area di Luar Yurisdiksi Nasional (ABNJ). Saat ini, sebagian besar ABNJ tidak terlindungi dan menghadapi berbagai ancaman.

Sebut saja, ancaman perubahan iklim, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan ancaman lain yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di laut. Kesepakatan BBNJ diharapkan dapat menjaga lingkungan laut di tengah ambisi manusia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi lautan.

Gabriela dan Andreas menyebut kalau perjanjian BBNJ merupakan perjanjian multilateral terlengkap yang menggabungkan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan. Antara lain, prinsip pencemar-membayar, prinsip kehati-hatian, pendekatan ekosistem, ketahanan ekosistem, non-transfer kerusakan atau bahaya dan pendekatan terpadu untuk pengelolaan laut.

baca juga : Konservasi Laut Lebih Efektif dengan Keterlibatan Warga Lokal

 

Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto : shutterstock

 

Keduanya menyebut ada empat komponen penting dari perjanjian BBNJ. Pertama, adalah pemanfaatan sumber daya genetik laut (MGR) secara berkelanjutan dan pembagian manfaat yang adil dan merata dari pemanfaatan tersebut.

Kedua, manajemen berbasis wilayah (ABMT), yaitu mekanisme manajemen wilayah laut, di mana satu atau beberapa kegiatan yang berada di dalam kawasan tersebut dikelola dengan tujuan untuk mencapai tujuan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan tertentu sesuai dengan perjanjian BBNJ

“Termasuk kawasan lindung laut, atas kawasan yang ditentukan secara geografis,” ungkap keduanya.

Ketiga, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), yaitu proses untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi dampak lingkungan dari suatu kegiatan untuk pengambilan keputusan. Ini menjadi penting, karena laut sangat terhubung secara fisik dan biologis, dan kerusakan di suatu wilayah dapat menyebabkan kerusakan di wilayah lain.

Keempat, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi kelautan (CBTMT) menjadi proses penting untuk memastikan partisipasi tinggi dari setiap negara berkembang. Terutama negara yang wilayahnya terukur daratan, yang secara geografis tidak beruntung, negara berkembang kepulauan kecil, negara pesisir Afrika, negara kepulauan, dan negara berkembang berpenghasilan menengah dalam implementasi BBNJ.

Gabriela dan Andreas menerangkan kalau perjanjian BBNJ mengatur CBTMT harus menjadi proses yang digerakkan oleh negara, transparan, efektif dan berulang yang partisipatif, lintas sektoral, dan tanggap gender.

Mengingat pentingnya BBNJ, maka ratifikasi menjadi langkah penting bagi Indonesia. Ada sejumlah alasan kenapa Indonesia harus melakukan ratifikasi perjanjian BBNJ. Pertama, pembagian keuntungan.

Perjanjian ini memberikan banyak peluang bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam implementasi melalui beberapa mekanisme, yaitu kerja sama internasional, pembagian keuntungan moneter dan non-moneter, serta mekanisme clearing-house-nya.

Mekanisme clearing house adalah salah satu mekanisme operasional utama dari perjanjian BBNJ yang berfungsi sebagai basis data terpusat mengenai MGR, EIA, ABMT dan CBTMT untuk negara anggota, serta memfasilitasi kerja sama internasional antar negara anggota.

 

Sejumlah perahu nelayan tradisional ditambatkan di pantai timur Pangandaran, Jawa Barat. Foto : shutterstock

 

Kedua, perlindungan lingkungan laut. ABNJ berbatasan dengan yurisdiksi Indonesia (Samudra Hindia di Barat dan Samudra Pasifik di Timur Laut). Kerusakan lingkungan di ABNJ berbahaya bagi lingkungan laut dalam yurisdiksi Indonesia.

Untuk alasan ini, Indonesia harus aktif selama proses pembentukan ABMT dan pengembangan AMDAL, khususnya bila kegiatan yang diusulkan berdekatan dengan yurisdiksi Indonesia. Pemerintah harus mempersiapkan diri dari sekarang agar bisa berpartisipasi dengan baik.

Ketiga, CBTMT yang akan memberi kemudahan dan manfaat bagi negara-negara berkembang yang ingin memanfaatkan dan mengelola MGR, namun terkendala biaya yang besar dan teknologi yang sangat canggih.

Keempat, mekanisme penyelesaian sengketa. Alasan terakhir ini menjadi penting, karena pemanfaatan sumber daya alam merupakan bidang yang rawan konflik, tak terkecuali bagi Indonesia. Perjanjian BBNJ mengatur mekanisme kepatuhan dan penyelesaian sengketa bagi para anggotanya.

“Ringkasnya, kesepakatan BBNJ berarti peluang bagi Indonesia untuk memperoleh manfaat dan melindungi lingkungan laut. Indonesia harus meratifikasi perjanjian ini jika ingin memanfaatkan kesempatan ini,” pungkas keduanya. (***)

 

Exit mobile version