- Selama berabad-abad, laut lepas selalu menjadi buruan para pencari sumber daya laut. Aktivitas yang tinggi dan dilakukan tanpa jeda, memaksa laut harus menghadapi ancaman penurunan daya dukung ekosistem
- Bukan hanya ancaman kerusakan ekosistem, dampak lebih lanjut dari aktivitas tak terkendali di laut lepas, adalah ancaman kepunahan biota laut dan spesies lain yang selama ini sudah berperan penting menjaga ekosistem laut tetap sehat
- Latar belakang tersebut mulai disadari banyak negara di dunia, utamanya adalah Indonesia. Maka sejak 2018 inisiasi untuk melaksanakan kegiatan konservasi di laut lepas mulai dilaksanakan di bawah kepemimpinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
- Selama perundingan berlangsung, baru pada perundingan keempat yang berlangsung pada Maret 2023, Naskah Perjanjian tentang Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Keanekaragaman Hayati Laut di Luar Yurisdiksi Nasional disepakati
Beragam resiko dan ancaman yang mengintai laut lepas, sudah disadari banyak negara di seluruh dunia. Tanpa perlindungan penuh, laut lepas hanya akan menjadi saksi punahnya satu per satu biota laut ataupun spesies lain yang ada di perairan di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE) setiap negara.
Kesadaran itu mulai tumbuh di seluruh negara di dunia, terutama yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebanyak 193 negara anggota, kemudian memulai proses inisiasi penyusunan perjanjian laut Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ) pada 2018.
Sidang pertama Intergovernmental Conference on the Establishment of International Legally Binding Instrument Under UNCLOS on the Conservation and Sustainable Use of Marine Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction (IGC BBNJ) digelar pada 2018.
Namun, hingga putaran keempat yang digelar pada Maret 2023, sidang IGC BBNJ belum juga menghasilkan kesepakatan pengadopsian naskah di antara semua negara anggota PBB. Meskipun, naskah BBNJ secara resmi sudah mencapai kesepakatan bersama.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota, optimis bahwa naskah akan segera diadopsi pada putaran berikutnya. Optimisme itu terbukti nyata, karena pada putaran kelima yang berjalan pada pekan lalu, adopsi naskah berhasil disepakati 193 negara anggota.
Sikap optimisme tersebut ditunjukkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai pengarah delegasi Indonesia dalam sidang yang digelar oleh PBB di markas besar mereka di New York, Amerika Serikat.
Sidang tersebut menjadi momen krusial karena hanya PBB yang berhak untuk menentukan apakah BBNJ bisa berlanjut atau tidak. Beruntungnya, pada momen tersebut semua negara menyepakati untuk mengadopsi Perjanjian Laut BBNJ.
Resminya, BBNJ diadopsi secara konsensus oleh 193 negara anggota PBB pada Senin (19/6/2023). Itu menegaskan sudah ada komitmen bersama di antara semua negara untuk mendorong percepatan konservasi lingkungan dan pemulihan laut untuk keberlangsungan masa depan umat manusia.
baca : Kawasan Konservasi Perairan, Kunci Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir
Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, perjanjian laut BBNJ adalah perjanjian baru di bawah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Kehadirannya bertujuan untuk mengatur perlindungan dan pemanfaatan sumber daya genetik di laut internasional.
Sebagai perjanjian yang berlaku di seluruh dunia, BBNJ diharapkan bisa menjadi instrumen hukum internasional. Dengan demikian, tujuan untuk melaksanakan konservasi dan perlindungan laut secara penuh bisa berjalan dengan baik.
Secara khusus, dia menyampaikan apresiasi atas kegigihan Tim Nasional Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional dan menyampaikan amanat terkait pentingnya ilmuwan dan sektor usaha Indonesia mengembangkan riset pemanfaatan keanekaragaman sumber daya genetik di laut Indonesia dan di laut bebas demi kesejahteraan Indonesia dan kemaslahatan umat manusia.
“(Tim Nasional) Indonesia sudah berperan aktif dan strategis dalam negosiasi, namun lebih penting lagi menggunakan instrumen ini (perjanjian BBNJ) untuk kepentingan Indonesia,” pungkas dia.
Wakil Tetap Republik Indonesia untuk PBB Arrmanatha C Nasir yang hadir bersama delegasi Tim Nasional, menyebut bahwa Indonesia memiliki peran penting bersama negara berkembang lainnya untuk menjalankan isi perjanjian BBNJ.
Saat sesi adopsi perjanjian BBNJ berlangsung, dia menyatakan pernyataan atas nama Indonesia dan menekankan agar perjanjian BBNJ bisa meningkatkan peran strategis negara berkembang. Peran tersebut harus bisa mendorong setiap negara berkembang untuk terlibat aktif dalam upaya konservasi dan pemanfaatan sumber daya genetik di laut, khususnya di luar yurisdiksi nasional.
“Indonesia, berkomitmen untuk turut berkolaborasi meningkatkan pemahaman kita terkait sumber daya hayati di laut bebas dan siap berkolaborasi melakukan peningkatan kapasitas demi kemaslahatan bersama,” kata dia.
baca juga : Peta Jalan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: 2045 Harus 30 Persen
Deputi Koordinasi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi pada kesempatan tersebut juga turut hadir sebagai pimpinan delegasi Indonesia. Dia berharap, momentum adopsi perjanjian BBNJ bisa menjadi batu loncatan penguatan diplomasi maritim Indonesia.
Setelah ini, Indonesia masih harus berjuang untuk menyusun implementasi regulasi, riset, keterlibatan sektor bisnis, dan diplomasi yang terukur. Diharapkan, dalam waktu tiga bulan mendatang semua tahapan tersebut sudah bisa dilaksanakan.
Dia juga mengapresiasi upaya gigih yang sudah ditunjukkan Tim Nasional saat menjadi delegasi Indonesia pada sidang tersebut. Ke depan, Timnas harus bisa lebih solid dan gigit dalam melaksanakan negosiasi melalui rencana aksi yang terukur untuk diterapkan.
Peran Krusial
Lewat adopsi BBNJ, Indonesia bisa semakin kuat menunjukkan kepada dunia bahwa menjadi pemimpin negara pulau dan kepulauan (Archipelagic and Island States/AIS) untuk negara-negara di dunia merupakan sebuah langkah yang baik.
Sebagai pemimpin, Indonesia tidak ingin setiap hal yang berkembang berakhir menjadi ide saja. Lebih dari itu, upaya akan terus dilakukan agar setiap ide menjadi kenyataan dan bisa bersinergi dengan negara lain, khususnya untuk pemanfaatan keanekaragaman hayati laut di perairan luar yurisdiksi Negara.
Dia menyebut kalau Indonesia akan terus memainkan peran krusial dalam berbagai diskusi multilateral di forum lain dan mempersiapkan diri untuk mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari disepakatinya perjanjian BBNJ.
“Kemenko Marves juga akan kembali mengoordinasikan Tim Nasional Indonesia BBNJ dalam menyusun langkah-langkah strategis implementasi ketentuan perjanjian BBNJ,” ungkap dia.
Tim Nasional Indonesia sendiri dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada 2018 , terdiri dari unsur Kementerian Luar Negeri, Kemenko Marves, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional, serta Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut.
Sesuai mandat, Kemenko Marves mengoordinasikan negosiator dan pakar dari berbagai Kementerian/Lembaga Pemerintah untuk berkontribusi secara aktif sejak sesi persiapan (preparatory committee), sesi pelaksanaan Intergovernmental Conference (IGC) BBNJ pertama pada 2017, hingga pelaksanaan further resumed session IGC ke-5 yang baru selesai pada 19 Juni 2023.
baca juga : Lima Tahun Program USAID SEA Realisasikan 1,6 Juta Hektar Kawasan Konservasi Perairan
Selain memperjuangkan kesetaraan kesempatan bagi negara berkembang, Indonesia juga berhasil memastikan agar sumber daya genetik terbesar yang ada di laut, yakni ikan yang dimanfaatkan dalam aktivitas bioteknologi, tidak dikecualikan dari rezim pembagian keuntungan/manfaat bagi semua negara, terutama negara berkembang.
Tim Nasional juga secara gigih memastikan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan laut bebas tidak dikecualikan dari proses konsultasi pelaksanaan aktivitas di laut bebas.
Juga, Indonesia menentang keras pelaksanaan aktivitas di laut bebas yang tidak bertanggung jawab dan tidak konsultatif dengan negara di sekitar lokasi pelaksanaan aktivitas di laut bebas.
Jodi Mahardi menerangkan, kepemimpinan Indonesia untuk AIS juga dilakukan dengan memastikan kebijakan afirmasi bagi keterwakilan pakar negara pulau dan kepulauan dalam skema institusional dan pengembangan kapasitas perjanjian BBNJ termasuk scientific and technical body (STB).
“Pemerintah Indonesia akan terus mendorong agar wakil dari Indonesia dapat menduduki berbagai posisi penting tersebut,” tutur dia.
Saat membahas pasal terkait pengecualian kawasan sengketa di laut (disputed area) dalam pembentukan kawasan konservasi di laut lepas, dia mengakui kalau diskusi berlangsung alot. Tetapi, posisi Indonesia yang netral memungkinkan dilakukan dialog dengan pihak seperti Cina, Filipina, Uni Eropa, dan AS.
“Diplomasi Indonesia yang bebas dan aktif juga memungkinkan negosiator Indonesia memainkan peran sentral namun tetap netral dan fasilitatif pada perundingan perjanjian BBNJ,” tambah dia.
Diketahui, naskah Perjanjian tentang Konservasi dan Pemanfaatan Berkelanjutan Keanekaragaman Hayati Laut di Luar Yurisdiksi Nasional atau BBNJ adalah perjanjian yang disepakati dengan ilmuwan, pemerhati lingkungan, dan organisasi konservasi dengan tujuan untuk melindungi laut lepas dari eksploitasi.
Laut lepas yang dimaksud, adalah kawasan perairan laut yang terletak di luar ZEE dan dikelola oleh setiap negara berbeda. Namun, dari 64 persen laut lepas yang berada di luar batas teritorial ini, hanya 1,2 persen saja yang sekarang sudah dilindungi.
baca juga : Catatan Akhir Tahun : Seberapa Penting Konservasi Laut untuk Industri Perikanan dan Kelautan?
IGC BBNJ sendiri adalah konferensi antar negara yang digelar untuk membentuk instrumen hukum internasional baru di bawah UNCLOS. Tujuannya, agar bisa membangun kawasan lindung laut yang luas untuk mencegah punahnya biota dan hewan laut, mengawasi kegiatan penangkapan ikan industri, dan berbagi sumber daya genetik laut.
Rujukan utama untuk negosiasi IGC BBNJ, adalah:
- Marine Genetic Resources and Fair and equitable sharing of benefit;
- Area Based Management Tools including Marine Protected Area;
- Environmental Impact Assessment;
- Capacity Building and Transfer of Technology; dan
- Cross Cutting Issues, termasuk di dalamnya pengaturan institusional implementasi perjanjian di masa depan.