Mongabay.co.id

Kena Jerat di Kebun Sawit, Harimau Sumatera Terus Terancam

 

 

 

 

Keberadaan harimau Sumatera terus terancam dari jadi sasaran buruan sampe habitat tergerus. Pada 22 Oktober lalu, satu harimau terjerat lagi di perkebunan sawit Desa Marihat Raja, Kecamatan Dolok Pangaribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Bersyukur, harimau berhasil dievakuasi dan mendapat perawatan dari tim medis yang dipimpin Anhar Lubis,  dokter hewan dari Forum Konservasi Leuser (FKL).

Rudianto Saragih Napitu, Kepala BBKSDA Sumatera Utara dalam pernyataan resmi 24 Oktober lalu mengatakan, informasi mengenai ada harimau terkena jerat ini dari Sahala Nadapdap, warga lokal. Warga  melaporkan ada satu harimau dengan kaki kiri bagian depan terkena tali baja dan tak berdaya di antara lembah sekitar perkebunan sawit.

Dia memerintahkan petugas Seksi Konservasi Wilayah III Kisaran pada BKSDA Wilayah II Pematangsiantar untuk turun ke lokasi. Benar saja, begitu tiba mereka langsung melihat harimau terkena jerat, lemah tak berdaya.

Karena sudah malam, situasi tak memungkinkan maka berdasarkan rekomendasi Anhar Lubis evakuasi pada keesokan harinya.

Proses evakuasi pada sore keesokan hari, berhasil melepaskan kaki kiri depan yang terkena seling baja setelah pembiusan harimau.

Selanjutnya, satwa ini langsung dievakuasi.  Karena alami luka, harimau dibawa ke pusat rehabilitasi di Barumun untuk pengobatan lebih lanjut.

Melihat kondisi si raja hutan yang lemah dan terluka akibat jerat sling di kaki, katanya, tim memutuskan membawa ke Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) untuk mendapatkan perawatan medis.

Jerat, katanya,  jadi ancaman satwa liar termasuk harimau. BKSDA, katanya, terus sosialisasi kepada warga agar menghentikan pemasangan jerat karena bertentangan dan melanggar aturan.

“Kita  tidak ingin nasib sama seperti harimau Bali, dan harimau Jawa yang sudah punah dari muka bumi. Mari kita selamatkan harimau Sumatera, hentikan pasang  jerat,” kata Rudianto.

 

 

 

Harimau muncul lagi

Sebelum itu, masih di Sumatera Utara, warga alami perjumpaan dengan harimau Sumatera di Desa Manambin,Kecamatan  Kotanopan dan Desa Sibanggor  Jae, Kecamatan Puncak Sorik Marapi,   Mandailing Natal, 18 Juli lalu. Warga di dua desa itu berjumpa dengan harimau dan anaknya di kebun mereka.

Hermanto Sialagan, Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III Padang Sidempuan BBKSDA Sumatera Utara mengatakan, tim yang sedang menangani konflik beruang madu yang diduga menyerang warga di Desa Roburan Dolok,  dibagi dua. Satu tim datang ke dua desa yang laporkan ada warga bertemu harimau.

Nopandry, Kasubag Tata Usaha Balai Taman Nasional Batang Gadis  mengatakan, langkah mereka lakukan antara lain pemasangan kamera pengintai untuk mengidentifikasi harimau yang  keluar dari kawasan hutan.

Identifikasi ini penting, katanya,  guna memastikan satwa yang terlihat warga itu harimau Sumatera atau macan akar.  Dengan kamera, katanya, bisa mendapatkan gambar yang jelas.

Selain itu, katanya,  pemasangan kandang jebak juga dilakukan guna mengevakuasi kalau dianggap perlu dan mendesak.

Bersama warga, mereka sudah ronda malam dan menyiapkan dentuman bunyi-bunyian keras untuk mengusir satwa menjauh dari sekitar lokasi.  Harapannya,  satwa kembali ke dalam kawasan hutan.

Palber Turnip,  Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III BBTNGL  mengatakan, harimau keluar dari taman nasional ke perkebunan maupun pinggir desa bukan karena di dalam tak ada satwa buruan, diduga kuat ingin memperluas wilayah jelajahn.

Bahkan, katanya,  sejak dahulu tempat-tempat yang didatangi bagian dari home range predator puncak yang kini berubah jadi hal lain.

Jadi, katanya, yang paling penting memberikan pemahaman kepada masyarakat lokal yang bersebelahan dengan taman nasional agar tak memburu satwa di kawasan.

Paling parah lagi, katanya,  kalau ada yang pasang jerat bahkan berburu harimau Sumatera walau total dilarang dan ada ancaman hukuman.

 

Jejak-jejak kaki harimau Sumatera yang menampakan diri di Desa Pastap, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal. Foto: Ayat S Karo Karo/Mongabay Indonesia

 

Masukan

Menurut P. Jhonsen, zoologis dari  Universitas Andalas, harimau merupakan predator puncak yang mencari mangsa dengan berburu.

Begitu juga dengan sang induk, kalau sudah punya anak akan melatih mereka berburu mencari mangsa. Namun, katanya,  bisa jadi masalah kalau mangsa buruan tidak ada atau sulit di dalam kawasan hutan.

Harimau praktis akan berburu keluar kawasan termasuk membawa anak-anak mereka dilatih berburu. Kondisi ini, katanya, bisa memicu interaksi negative dengan manusia karena predator puncak ini sering menampakkan diri di wilayah teritorial mereka yang sudah beralih jadi lahan pertanian, perkebunan maupun pemukiman.

“Inilah yang jadi salah satu pokok permasalahan mengapa satwa-satwa kunci Taman Nasional Batang Gadis seperti harimau Sumatera dan beruang bermunculan ke pinggir desa dan perladangan warga,” katanya.

Dari kajiannya, di Desa Pastap Julu dan Desa Pastap,  Kecamatan Tambangan, Mandailing Natal—area terjadi konflik harimau dan manusia– warga di sana masih memiliki tradisi berburu satwa. Hal ini, katanya, juga jadi masalah penting yang harus diselesaikan.

Kalau terus-menerus diburu, katanya,  otomatis populasi hewan mangsa di kawasan hutan berkurang dan harimau membawa anak-anaknya berburu hingga keluar kawasan bahkan sampai ke pinggiran kampung atau pemukiman.

Dia sarankan, perlu ada syarat-syarat penting kalaupun suatu daerah turun-temurun ada kebiasaan berburu satwa, seperti, alat berburu seperti apa, jangan sampai alat buruan bisa membahayakan satwa-satwa dilindungi seperti harimau,  beruang dan lain-lain.

Selain itu,  perlu ada aturan batas satwa buruan dan sosialisasi tentang satwa-satwa apa saja yang dilindungi serta sudah masuk status terancam punah hingga tak boleh diganggu apalagi dibunuh.

Kemudian, ada aturan memberikan waktu tertentu untuk berburu satwa. “Aturan ini perlu dan wajib dibuat otoritas agar masyarakat di sana tidak sembarangan atau jadikan ini sebagai kebiasaan yang berulang.”

 

Proses evakuasi harimau yang kena jerat di Mandailing Natal, Sumut.

 

Selain itu, katanya, harus jalankan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan tanpa pandang bulu. Perlindungan ekstra satwa-satwa kunci di dalam Taman Nasional Batang Gadis, katanya,  juga perlu ditingkatkan.

“Para pemburu dan pemasang jerat, apapun alasannya meskipun itu kebudayaan secara turun temurun harus tetap dihentikan. Biarkan rantai makanan mengalir secara alami dan tidak ada yang terputus.”

Abdi Sugesti, Tim Riset dan Data Forum Investigator Zoo Indonesia mengatakan,  pemerintah melalui KLHK dalam berbagai pernyataan mengatakan fokus meningkatkan populasi harimau melalui pembuatan kantong-kantong baru dan tetap menjaga habitat tak tergerus.

“Konsepnya bagus,  kita apresiasi dan dukung sepenuhnya. Tetapi fakta yang terjadi,  perusakan habitat terus berlangsung, pemberian izin kepada oligarki sawit diberikan untuk menguasai kawasan hutan termasuk memberikan izin kelayakan lingkungan terhadap pertambangan-pertambangan besar yang beraktivitas di wilayah jelajah harimau,” katanya.

Di wilayah timur seperti Kalimantan dan Papua, hutan yang menjadi habitat satwa hancur berubah jadi pertambangan dan kebun sawit.

Di Pulau Sumatera, juga bernasib sama, wilayah yang menjadi area penyebaran cukup besar populasi harimau terus tergerus. Di Aceh, pertambangan, PLTU batubara dan perkebunan sawit menguasai kawasan hutan.

“Hutan Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau masih ada populasi harimau Sumatera tidak akan mampu bertahan 50 hingga 100 tahun. Kalau tak segera ditangani, kepunahan akan terjadi di wilayah ini,” kata Abdi.

 

Harimau Sumatera, penguasa hutan yang semakin terganggu di habitatnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

*******

 

Exit mobile version