- Harimau Sumatera keluar dari Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) lalu masuk ke kebun-kebun warga di Desa Pastap Julu, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Kemunculan medio Mei lalu berakhir naas, harimau akhirnya mati kena jerat baja.
- Fifin Nopiansyah, Kepala Bidang Teknis BBKSDA Sumut Senin malam mengatakan, kematian harimau yang terkena jerat sling baja ini diduga karena dehidrasi akut.
- Erwin Efendi Lubis, Ketua DPRD Mandailing Natal, mengatakan, perlu Langkah-langkah antisipatif atas kemunculan harimau di perkebunan dan sekitar pemukiman warga. Bukan tidak mungkin ada harimau lain akan muncul di wilayah itu dan berujung pada konflik.
- Konflik harimau dan manusia di Mandailing Natal ini menjadi sorotan Voice of Forest (VoF). Bim Harahap, pendiri VoF mengatakan, penanganan konflik harus mengutamakan upaya mitigasi, hingga perlu penyadartahuan kepada masyarakat. Ketidaktahuan terkait mitigasi seringkali berujung pada tindakan yang tidak diinginkan.
Harimau Sumatera keluar dari Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) lalu masuk ke kebun-kebun warga di Desa Pastap Julu, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Kemunculan medio Mei lalu berakhir naas, harimau akhirnya mati kena jerat baja.
Kemunculan predator puncak ini menurut kesaksian sejumlah warga berulang kali. Setidaknya, Oktober 2022, harimau terlihat di kebun-kebun warga, disusul Februari 2023 kemudian Maret 2023, satwa langka ini muncul sambil mengejar babi hutan di sekitar perkebunan warga yang berdekatan dengan taman nasional.
Pada 15 Mei lalu, harimau terlihat tengah makan babi hutan di sekitar Dembak, warga Pastap Dulu. Jaringan pemburu satwa liar diduga memasang jerat di sekitar lokasi harimau berkeliaran. Pada 18 Mei warga desa heboh melihat harimau kena jerat di kebun Dembak. Sling baja mengikat kaki kanan bagian depan hingga harimau tak bisa bergerak.
Warga tidak berani mendekat. Mereka lalu melaporkan ini kepada petugas Balai Taman Nasional Batang Gadis. Sehari setelah itu petugas baru tiba dan memonitoring serta berkoordinasi dengan masyarakat.
“Saya dengar warga sudah menyampaikan kepada petugas pada hari Kamis siang tetapi mereka datang Jumat untuk pengamanan lokasi, ” Dembak. Dia tak tahu siapa yang memasang jerat di sekitar kebun karetnya itu.
Fifin Nopiansyah, Kepala Bidang Teknis BBKSDA Sumut Senin malam mengatakan, kematian harimau yang terkena jerat sling baja ini diduga karena dehidrasi akut. Pada Jumat siang mereka mendapatkan informasi tentang satwa terkena jerat, kemudian Sabtu tiba di lokasi dan langsung mengevakuasi harimau.
Setelah dibius dan tak sadarkan diri, harimau dibawa ke desa dengan jarak satu km dari lokasi kejadian. Di desa, mereka kembali mencoba memberikan pertolongan dengan pemberian obat-obatan setelah sebelumnya memindahkan harimau ini ke dalam kandang translokasi yang sudah disiapkan. Petugas membawa harimau ke Kantor Balai Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).
Harimau yang diperkirakan usia sekitar tiga tahun ini mendapat pertolongan dan perawatan serius dari sedikitnya lima dokter hewan yang sudah di lokasi.
Segala upaya dilakukan untuk proses pertolongan, namun Sabtu malam harimau tak tertolong. Petugas medis menyatakan sang raja hutan ini mati.
Mereka pun lakukan menyelidiki kepada pihak-pihak yang memasang jerat. BKSDA pun, katanya, akan terus sosialisasi dan penyadartahuan terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar TNBG mengingat wilayah-wilayah ini merupakan wilayah jelajah harimau
Selain itu, peningkatan operasi sapu jerat juga akan terus dilakukan karena masih ditemukan pemasangan jerat. Dia berharap, tidak ada lagi yang memasang jerat atau berburu harimau.
Hermanto Sialagan, Kepala Bidang Wilayah III BKSDA Sumut Padang Sidempuan kepada Mongabay 23 Mei lalu memaparkan kronologis kejadian.
Menurut dia, tempat harimau terkena jerat merupakan area penyangga TNBG dan jadi jalur lintasan harimau sejak dulu.
Begitu mereka mendapatkan informasi tentang harimau terkena jerat, katanya, langsung bergerak bersama tim dokter hewan dan petugas untuk evakuasi penyelamatan harimau.
Mantan Kanit SPORC Brigade Macan Tutul ini memimpin langsung operasi penyelamatan.
Begitu tiba di lokasi harimau dibius dan tim dokter memberikan pertolongan pertama setelah itu membawa ke Kota Panyabungan untuk pertolongan lebih lanjut. Harimau sempat terpantau membuka mata namun tidak bergerak hanya tertidur sesekali menarik napas.
Tim Dokter terus memantau dan memberikan bantuan infus serta obat-obatan. Berdasarkan pemantauan tim medis, harimau sempat beberapa kali menarik napas dan akhirnya terhenti.
Setelah harimau mati, petugas langsung membawa ke Suaka Margasatwa Barumun, di sana dilakukan nekropsi. Harimau dengan berat sekitar 59-60 kg ini diduga dehidrasi dan anemia atau kekurangan darah serta ada bekas luka jerat di kaki kanan bagian depan di luar luka jerat terbaru.
“Sebelum terkena jerat yang terbaru harimau ini pernah kena jerat, itu terlihat dari bekas luka di kakinya. Kita masih mendalami kasus ini untuk penyelidikan lebih lanjut. Bangkai harimau sudah dikuburkan, ” kata Hermanto.
Erwin Efendi Lubis, Ketua DPRD Mandailing Natal, mengatakan, perlu Langkah-langkah antisipatif atas kemunculan harimau di perkebunan dan sekitar pemukiman warga. Bukan tidak mungkin ada harimau lain akan muncul di wilayah itu dan berujung pada konflik.
Perusakan habitat harimau, katanya, membuat satwa ini tidak lagi nyaman dan betah di dalam hutan. Untuk itu, katanya, perlu penempatan petugas kehutanan atau polisi kehutanan di lokasi-lokasi yang sering timbul konflik satwa dengan manusia.
” Harimau satwa prioritas yang harus diselamatkan karena status terancam punah tetapi perlu diingat juga manusia yang hidup berdampingan juga perlu dilindungi dari ancaman-ancaman serangan satwa liar khusus harimau.”
Konflik harimau dan manusia di Mandailing Natal ini menjadi sorotan Voice of Forest (VoF). Bim Harahap, pendiri VoF mengatakan, penanganan konflik harus mengutamakan upaya mitigasi, hingga perlu penyadartahuan kepada masyarakat. Ketidaktahuan terkait mitigasi seringkali berujung pada tindakan yang tidak diinginkan.
“Problem utama adalah minimnya pengetahuan tentang tindakan apa yang harus dilakukan masyarakat saat satwa liar memasuki perkebunan atau pemukiman warga, terutama contact person otoritas terkait,” kata Bim.
Dia juga mendorong soal respon cepat dari otoritas terkait penanganan konflik hingga ada kepastian keamanan untuk masyarakat dan satwa.
“Beberapa kasus konflik satwa liar terjadi hingga menyebabkan kematian satwa, ataupun korban masyarakat kerap disebabkan jeda penanganan yang mempengaruhi psikologis warga,” katanya.
Dia bilang, salah satu penyebab konflik satwa adalah laju kerusakan habitat. Degradasi hutan karena aktivitas manusia dinilai belum jadi sorotan penting dalam upaya mitigasi konflik.
Bim berpendapat, harus ada langkah tegas dalam menindak para perusak hutan yang menjadi habitat harimau. “Otoritas terkait harus menegakkan regulasi untuk perlindungan habitat.”
VoF juga mendorong peran pemerintah daerah dalam upaya penanganan konflik. Masing-masing pemangku kebijakan, katanya, harus mengambil langkah strategis dalam penanganan konflik.
“Jika ditarik lebih jauh, untuk level provinsi saja kita belum juga memiliki satuan tugas mitigasi konflik satwa liar.”
******