Mongabay.co.id

Kala Tiga Petani Pakel Kena Vonis 5,5 Tahun Penjara

 

 

 

 

Mulyadi, Suwarno dan Untung, tiga petani Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, harus menelan pil pahit. Buntut gigih berjuang berupaya mempertahankan ruang hidup, mereka kena vonis hukum 5,6 tahun oleh hakim di Pengadilan Negeri Banyuwangi, 26 Oktober lalu,  atas tuduhan menyebarkan berita bohong hingga mengakibatkan keonaran.

Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TeKAD Garuda) menilai,  vonis ini keputusan gegabah karena hanya berdasarkan bukti lemah di tengah kondisi desa yang dilanda konflik agraria. Petani di Pakel berkonflik agraria dengan perkebunan skala besar, PT Bumi Sari.

TeKAD Garuda merupakan berbagai organisasi gabungan terdiri dari LBH Surabaya, Walhi Jawa Timur, LBH Disabilitas, dan LBH Buruh. Juga Rakyat Jawa Timur, LPBH NU Banyuwangi, Lekvori didukung YLBHI dan KontraS Jakarta.

Persoalan lahan ini berawal pada 1925, sekitar 2.956 warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda.

Dalam berita Mongabay sebelumnya, data Walhi Jawa Timur menyebutkan, empat tahun kemudian, pada 11 Januari 1929, permohonan itu dikabulkan. Mereka dapat hak membuka kawasan hutan seluas 4.000 bahu (3.000 hektar) dari Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.

Walaupun mengantongi izin “Akta 1929”, warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari Pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang.

 

Baca juga: Konflik Lahan, Petani Banyuwangi Lapor Mabes Polri

Aksi mogok makan warga Pakel dan organisasi masyarakat sipil yang bersolidaritas di depan KATR/BPN sejak 20 Februari lalu. Rencana, aksi sampai 10 hari. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Pasca kemerdekaan, warga Pakel terus berjuang mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929”.

Pada 1980-an, lahan kelolaan warga yang masuk “Akta 1929” ini masuk konsesi perusahaan perkebunan Bumi Sari.

Warga Pakel, berusaha kuasai kembali (reclaiming) lahan—yang masuk konsesi perusahaan—pada 2019.

Habibus Salihin, anggota tim TeKAD Garuda mengatakan, hakim PN Banyuwangi tak mampu melihat konteks persoalan, dan tak memahami hak bersuara untuk lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Dalam fakta persidangan, kami menemukan, kasus ini memiliki hubungan erat dengan perjuangan warga dalam mengusahakan hak atas tanah,” katanya.

Sebelumnya,  PN Banyuwangi juga melakukan ketidakadilan serupa pada tiga warga Alasbuluh, Wongsorejo yang protes dampak pertambangan yang mengakibatkan kerusakan jalan kampung dan  menimbulkan debu berlebihan.

Dia bilang, tiga warga itu bukannya diakui hak- haknya, justru dapat vonis bersalah dengan pidana penjara tiga bulan, karena  dianggap menghambat dan menghalangi pertambangan. Padahal,  protes mereka terkait dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Noda hitam ini kembali diulangi dalam kasus kriminalisasi tiga petani Pakel, majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak mampu melihat konteks persoalan,” katanya, seraya bilang, konflik lahan di Desa Pakel,  tengah dalam upaya penyelesaian.

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, data dan fakta berkali-kali disampaikan kalau Desa Pakel adalah korban ketimpangan penguasaan tanah warga dan skala besar.

Dari total luas lahan Desa Pakel, sekitar 1.309,7 hektar, penduduk desa 2.760 jiwa mengelola lahan sekitar 321,6 hektar. Hal ini diketahui setelah ada proses telaah penguasaan  lahan di Pakel melalui tumpang susun peta kawasan.

Jika dirinci, katanya, terdapat HGU Bumi Sari seluas 271,6 hektar, dan 716,5 hektar dikuasai Perhutani KPH Banyuwangi Barat. Warga pun berjuang untuk memperoleh hak atas tanah.

Seiring waktu, kasus ini juga masuk dalam laporan ke Kementerian ATR/BPN dan menjadi perhatian tetapi semua diabaikan dalam persidangan.

 

Baca juga: Konflik Agraria Berlarut, Lebih 20 Ribuan Orang Desak Bebaskan Petani Pakel Banyuwangi

Spanduk desakan setop kriminalisasi warga Pakel Banyuwangi. Foto: dokumen warga Pakel

 

Dia bilang, bentuk kriminalisasi ini dapat terlihat sejak awal kasus ini, antara lain, upaya penangkapan sewenang-wenang kepada tiga petani Pakel dengan tidak menunjukkan surat tugas. Juga tidak memberikan ketiga petani itu surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas. Petani ditangkap saat praperadilan sedang berjalan, dan penetapan tersangka tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Namun, tegas Wahyu, majelis hakim PN Banyuwangi tak melihat persoalan ini, mereka mengabaikan soal konflik agraria di Desa Pakel.

Habibus Salihin mengatakan, putusan pengadilan trio petani ini sangat kacau karena dalam pertimbangan hakim tak pernah melihat fakta Desa Pakel dalam konflik agraria berkepanjangan.

Dia contohkan, surat BPN dan keterangan saksi BPN yang menguatkan bahwa HGU Bumi Sari tak berada di Desa Pakel awalnya. “Ini menunjukkan benar ada sengketa atau konflik agraria yang harusnya diselesaikan terlebih dahulu,” katanya.

Lampiran Akta 1929 yang dilegalisir notaris berdasarkan UU Jabatan Notaris Pasal 15 juga tak dipertimbangkan fakta ada akta asli. Soal dapat jadi dasar kepemilikan atau tidak, katanya, jadi kewenangan BPN bukan peradilan pidana.

Kemudian, keterangan Suparmo, yang datang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menerangkan kalau akta itu tidak sah diambil sebagai pertimbangan.

“Siapa orang KLHK yang menerangkan itu tidak pernah diperiksa? Hingga tidak dapat dipastikan keterangannya bisa dipertanggung jawabkan secara hukum,” katanya.

Menurut dia, KLHK tak memiliki wewenang dalam menyatakan sah atau tidak dokumen pertanahan, termasuk akta karena lembaga itu tak bertugas untuk itu.

Kasus ini, katanya, jadi bukti bahwa negara turut melancarkan teror untuk menyebarkan ketakutan kepada warga yang berusaha memperjuangkan ruang hidup.

Negara, katanya, juga gagal mendefinisikan pembela HAM sebagai pelindung. Dalam hal ini, katanya, ketiga petani itu jelas bukan penjahat, melainkan pejuang yang berusaha mempertahankan tanah dan sumberdaya yang jadi mata pencaharian mereka.

 

Baca juga: Bagaimana Perkembangan Kasus Tiga Petani Pakel Banyuwangi?

Sumber: Tekad Garuda

********

 

Exit mobile version