- Warga Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, sudah berpuluh tahun berkonflik agraria dengan perusahaan perkebunan cengkih, PT Bumi Sari Maju Sukses (Bumi Sari). Perjuangan warga mendapatkan lahan, bahkan puluhan tahun sebelum itu alias hampir seabad, sejak era kolonial Belanda. Mengapa kasus agraria ini tak juga ada penyelesaian?
- Kasus Pakel, satu dari 31 prioritas percepatan dan penyelesaian kasus agraria yang diserahkan Walhi kepada pemerintah. Kasus sudah seabad tetapi taka da upaya penyelesaian. Kasus ini harus jadi atensi bersama, terutama negara.
- Alvina Damayanti S, warga Dusun Durenan, Desa Pakel mengatakan, konflik ini juga berdampak pada perempuan dan anak. Ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah dampak mata pencarian orangtua terganggu karena alami konflik agraria, antara lain, orangtua kena tangkap.
- Eko Cahyono, akademisi dari IPB University juga periset di Sajogjo Institute mengatakan, kasus agraria warisan Orba seperti di Pakel ini, kerap terkait relasi kuasa kompleks rezim oligarki agaria, baik pemilik HGU, aparat keamanan, preman dan penguasa lokal. Bisa berarti pula, politik agraria masih lanjutan dari ‘moda produksi ekonomi kolonial.’ Cirinya, komoditifikasi atas agraria, anti sosial, dehumanisasi dan ekstraktif/ekploitatif atas sumber-sumber agraria.
“Ibu selalu bertanya bagaimana kabar bapak? Ibu menangis dan sampai ibu sakit sejak penangkapan,” kata Aditya Prayoga, anak Untung, Kepala Dusun Taman Glugo, Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur.
Untung, satu dari tiga petani Pakel yang ditangkap polisi 3 Februari lalu. Mulyandi, selaku Kepala Desa Pakel dan Suwarno, Kepala Dusun Durenan bersama Untung dicegat polisi ketika mereka hendak ikut pertemuan Asosiasi Kepala Desa Banyuwangi di Desa Aliyan.
Ketiganya jadi tersangka atas dugaan kasus menyiarkan berita bohong dengan sengaja tanpa tahu berita bohong yang mana yang polisi maksudkan.
Masyarakat Pakel, sudah berpuluh tahun berkonflik agraria dengan perusahaan perkebunan cengkih, PT Bumi Sari Maju Sukses (Bumi Sari). Perjuangan warga mendapatkan lahan, bahkan puluhan tahun sebelum itu alias hampir seabad, sejak era kolonial Belanda.
Warga Pakel, sudah turun menurun mengelola lahan yang kini dalam konsesi Bumi Sari.
Adit mengatakan, ayahnya sehari-hari beternak dan bertani. ”Menanam seperti jagung, pisang, cabe. Beternak sapi,” katanya di Jakarta, Senin (14/2/22).
Bertani dan beternak sapi jadi sumber mata pencaharian utama warga Pakel.
Taufiqurochim, pengurus Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda) mengatakan, pasca-reformasi, pecah konflik di Desa Pakel pada 1999-2000.
Pada masa itu, para laki-laki lari, ada yang keluar kota, atau bersembunyi di hutan dan lain-lain. Di kampung itu tersisa hanya para perempuan sampai muncul sebutan kampung janda.
Alvina Damayanti S, warga Dusun Durenan, Desa Pakel mengatakan, konflik ini juga berdampak pada perempuan dan anak. Ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah dampak mata pencarian orangtua terganggu karena alami konflik agraria, antara lain, orangtua kena tangkap.
Para perempuan juga masih trauma kala mengenang masa mencekam 1999-2000. Kala itu, semua peran dalam keluarga diambil perempuan. Mereka yang mengurus semua dari rumah sampai kebun.
Baca juga: Konflik Agraria Berlarut, Lebih 20 Ribuan Orang Desak Bebaskan Petani Pakel Banyuwangi

Hingga kini, dalam perjuangan warga Pakel, laki-laki dan perempuan maju bersama. Saat penguasaan kembali (reclaiming) lahan—yang masuk konsesi perusahaan—pada 2019, para perempuan juga berjaga di posko perjuangan.
Persoalan lahan ini berawal pada 1925, sekitar 2.956 warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda.
Data Walhi Jawa Timur menyebutkan, empat tahun kemudian, pada 11 Januari 1929, permohonan itu dikabulkan. Mereka dapat hak membuka kawasan hutan seluas 4.000 bahu (3.000 hektar) dari Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.
Walaupun mengantongi izin “Akta 1929”, warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari Pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang.
Pasca kemerdekaan, warga Pakel terus berjuang mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929”.
Pada 1980-an, lahan kelolaan warga yang masuk “Akta 1929” ini masuk konsesi perusahaan perkebunan Bumi Sari. Konflik agraria pun terus terjadi hingga kini.
Pradipta Indra Ariono, Pembelaan Hukum dan Kebijakan Publik Walhi Jawa Timur mengatakan, kasus penangkapan tiga petani bukan kali pertama, baik langsung maupun melalui aparat kepolisian.
Data Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda) menyebutkan, sepanjang 2020-2023, setidaknya 14 warga Pakel menjadi korban karena perjuangan mereka mempertahankan hak tanahnya. Antara lain, pada November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari kepolisian, dua jadi tersangka.
Lalu, Juni 2021, warga Pakel dan tim pendamping hukum mengadukan kasus ini dan audensi dengan Kantor Staf Presiden. Tak ada respon berarti, bahkan pada Desember 2021, dua warga Pakel kembali mendapatkan surat panggilan dari kepolisian.
Pada 14 Januari 2022, Polresta Banyuwangi memasuki lahan yang warga duduki kembali. Kekerasan pun terjadi terhadap warga dan tim solidaritas perjuangan, yakni, Wulan, Har, Fauzi, dan Esa.
Kemudian, 26 Oktober 2022, warga Pakel menyampaikan kasus yang menimpa mereka kepada Hadi Tjahjanto, Menteri ATR/BPN di KATR/BPN, Jakarta.
Dalam pertemuan itu, KATR/BPN berjanji segera kunjungan ke Banyuwangi dan mengupayakan berbagai langkah penyelesaian. Sampai ada yang ditangkap lagi, KATR/BPN belum ada kabar lagi.
“Kami belum dengar akan tindak lanjut dari pertemuan itu,” kata Taufiq.
Baca juga: Konflik Lahan, Petani Banyuwangi Lapor Mabes Polri

Sebelumnya, Kombes Pol Deddy Fouri Milewa, Kapolres Banyuwangi mengatakan, Suwarno dianggap menyebarkan berita bohong soal klaim tanah di Pakel yang diakui melalui Akta Penunjukan atas nama Sri Baginda Ratu 11 Januari 1929 yang dikeluarkan atas nama Achmad Noto Hadi Soerjo.
“Alasan penangkapan itu jadi aneh karena siapa yang sebenarnya memiliki kapasitas untuk melegitimasi atas tanah itu? Seharusnya diselesaikan secara perdata terlebih dahulu,” ujar Taufiq.
Tekad Garuda pun menggalang dukungan dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Banyak yang bergabung mendukung seperti dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan banyak lagi.
Rencananya, Herlambang Wiratraman dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik dan Busyro Musqoddas akan mengunjungi tiga tersangka dan membuat surat penjaminan pembebasan tiga petani.
Waga Pakel juga akan aksi mogok makan di depan Kementerian ATR/BPN. Selain itu, warga Pakel juga akan audiensi dengan kementerian dan lembaga di Jakarta, seperti KATR/BPN, Kantor Staf Presiden, Kompolnas, DPR, Polri, dan Komnas HAM.
“Kami mendesak ada tim khusus penyelesaian kasus Pakel karena sejarah banyak terdokumentasi. Hampir satu abad perjuangan warga Pakel itu. Kenapa tidak diselesaikan? Kenapa ini dianggap remeh.”
Saat Mongabay berupaya mengonfirmasi kasus ini perusahaan tetapi tak ada jawaban. Pada 15 Februari pagi, Mongabay kembali berupaya mengkonfirmasi kasus ini kepada perusahaan, lagi-lagi tak da jawaban.

Tak ada upaya penyelesaian konflik
Kasus Pakel, kata Indra, menjadi satu dari 31 prioritas percepatan dan penyelesaian kasus agraria oleh Walhi. “Warga Pakel juga sudah mengalami rentetan kriminalisasi sejak selama satu abad, karena ini sudah ada empat generasi. Ini harus menjadi atensi bersama, terutama negara. Mengapa kasus Pakel ini tidak diselesaikan, jika kasus Pakel ini saja tidak terselesaikan bagaimana kasus lain?”
Saat konflik agrarian terjadi, katanya, sumber kehidupan terancam hingga berdampak pada kehidupan sehari-hari warga Pakel.
Walhi pun desak, konflik agraria segera diselesaikan dan pembebasan untuk tiga petani.
Eko Cahyono, akademisi dari IPB University juga periset di Sajogjo Institute merasa aneh melihat (klaim) reforma agraria sedang dijalankan tetapi konflik agraria dan kriminalisasi petani jalan terus bahkan justru meningkat.
Menurut dia, hal ini karena beberapa factor penyebab, pertama, kebijakan atasnama agraria, lebih berwatak dominan kapitalistik dan neoliberal.
“Hingga hak dasar rakyat, khusus petani dan masyarakat desa sering dikalahkan demi komoditifikasi dan akumulasi modal dari sumber-sumber agraria,” kata akademisi yang juga menandatangani Surat Solidaritas buat Pakel ini.
Dalam kasus ini, katanya, baik instansi yang mengurusi kehutanan maupun perkebunan sejak Orba hingga pasca reformasi belum ada perubahan mendasar dalam kebijakan politik agraria nasional.
Kasus agraria warisan Orba seperti di Pakel ini, katanya, kerap terkait relasi kuasa kompleks rezim oligarki agaria, baik pemilik HGU, aparat keamanan, preman dan penguasa lokal.
“Hingga rakyat kecil kalau menuntut hak dasarnya akan berhadapan dengan berlapisnya oligarki agraria.”
Bisa berarti, katanya, politik agraria masih lanjutan dari ‘moda produksi ekonomi kolonial.’ Cirinya, kata Eko, komoditifikasi atas agraria, anti sosial, dehumanisasi dan ekstraktif/ekploitatif atas sumber-sumber agraria.
“Jika kasus agraria seperti di Pakel ini tak selesai, kebijakan politik agraria kita memang belum berubah secara mendasar dalam konteks pemenuhan hak dasar atas tanah dan air,” katanya.
Kasus Pakel ini, kata Eko, juga bisa jadi cermin jika di Jawa dengan seluruh akses politik ke kekuasaan lebih mudah, kasus konflik agraria tak selesai.
“Bagaimana dengan kasus-kasus sejenis di pelosok nusantara yang sepi dari media dan jaringan kekuasaan serta gerakan sosial?”

********