Mongabay.co.id

Perahu Ketek yang Kini Terpinggirkan di Sungai Musi

 

 

Tidak semua warga di Palembang menyambut baik hadirnya beberapa jembatan baru yang melintas di Sungai Musi. Misalnya para serang perahu ketek. Mereka mengaku kehilangan banyak penumpang.

“Penumpang terus menurun sejak hadirnya dua jembatan baru itu, Jembatan Musi IV dan Jembatan Musi VI,” kata Eliyanto [53], serang perahu ketek, di dermaga perahu ketek di 7 Ulu Palembang, akhir Oktober 2023 lalu.

“Sebelumnya, dalam satu hari pendapatan kami kisaran Rp150-Rp200 ribu, kini turun maksimal Rp100 ribu. Jika dipotong biaya BBM dan makan, hanya Rp50 ribu yang dapat dibawa pulang ke rumah,” jelasnya.

Jembatan Musi IV yang diresmikan pada tahun 2019 dan Jembatan Musi VI pada 2021, adalah jembatan keempat yang melintasi Sungai Musi di Palembang. Sebelumnya Jembatan Ampera [1965] dan Jembatan Musi II [1994 & 2014].

“Dibandingkan tahun 1970-an, saat ini jumlah penumpang perahu ketek terus menurun. Terus berkurang. Kalau dulu, meskipun ada Jembatan Ampera, hampir semua warga yang menetap di tepian Sungai Musi, khususnya Seberang Ulu, selalu menggunakan perahu ketek untuk ke Seberang Ilir, seperti ke Pasar 16 Ilir,” kata Yusuf Muhammad [65], serang perahu ketek yang pulangnya ke kampung 5 Ulu Palembang.

Baca: Adanya Kapal Kuno Buktikan Indonesia Penguasa Lautan Asia. Benarkah?

 

Perahu ketek, salah satu transportasi untuk menyeberangi Sungai Musi. Kehadiran jembatan di Sungai Musi, membuat sejumlah serang perahu ketek menurun pendapatannya. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Yusuf, menurunnya jumlah penumpang perahu ketek, dimulai maraknya kendaraan sepeda motor di Palembang.

“Sejak awal tahun 2000-an, orang mudah mendapatkan sepeda motor. Penumpang tersisa, hanya masyarakat di 7 Ulu, 5 Ulu, dan 10 Ulu. Yang tinggalnya pinggir Sungai Musi. Lainnya sudah naik jembatan,” kata Yusuf, yang sudah 43 tahun menjadi serang perahu ketek.

Dulunya, masyarakat yang banyak menggunakan perahu ketek untuk menyeberang, mulai dari 3-4 Ulu, 5 Ulu, 7 Ulu, 10 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu, dan 14 Ulu.

Sebagai informasi, Jembatan Musi IV berada di kampung 14 Ulu [Seberang Ulu] dan Kuto Batu [Seberang Ilir], sementara Jembatan Musi VI di 3-4 Ulu [Seberang Ulu] dan 32 Ilir [Seberang Ilir].

Baca: Sungai Musi yang Kehilangan Arsipnya

 

Perahu ketek adalah perahu jukung yang bermesin. Muncul kali pertama pada tahun 1970-an. Sebelumnya perahu jukung untuk menyeberang Sungai Musi menggunakan dayung, disebut perahu tambangan. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Sepi penumpang

Saat ini terdapat 27 perahu ketek [mengangkut penumpang] yang beroperasi di Sungai Musi. Perahu ketek ini mangkal di dermaga 7 Ulu dan Pasar 16 Ilir.

“Kami masih bertahan sebab ada rejeki mingguan. Setiap hari Sabtu atau Minggu, pasti ada wisatawan yang mau pergi ke Pulau Kemaro. Sewanya kisaran Rp200-Rp250 ribu. Itulah tambahan untuk keluarga di rumah. Kalau sehari-hari, mungkin seringnya Rp50 ribu yang dibawa ke rumah,” kata Andi [35], serang perahu ketek.

Tapi, Andi khawatir rejeki dari mengantar wisatawan itu hilang, jika pemerintah membangun Jembatan Musi III di dekat Pulau Kemaro, yang menghubungkan Sungaibatang [Palembang Ilir] dan Plaju [Palembang Ulu].

“Kalau jembatan itu [Jembatan Musi III] jadi dibangun, maka habislah rejeki kami. Orang [wisatawan] pasti naik jembatan itu untuk pergi ke Pulau Kemaro,” kata Andi.

Andi pun berharap pemerintah membatalkan pembangunan Jembatan Musi III. “Tapi rasanya berat jembatan itu dibatalkan, tapi kami boleh kan berharap,” katanya.

 

Beberapa perahu ketek yang tertambat di rumah rakit di kawasan Kertapati Palembang. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari Palembang Pos, pemerintah Sumatera Selatan berencana membangun Jembatan Musi III dengan dua pilihan. Ada dua rencana bentuknya, yang pertama jembatan seperti umumnya, sementara yang kedua berupa terowongan di bawah Sungai Musi. Dana yang dibutuhkan Rp8.73-10.2 triliun.

Menurunnya penumpang perahu ketek, juga berdampak pada berkurangnya pemesanan perahu. ”Dua tahun terakhir, ada penurunan pemesanan perahu ketek. Biasanya, setiap bulan bisa 5-8 perahu, saat ini kisaran 2-3 perahu. Biasanya perahu ketek itu diganti jika usianya di atas lima tahun,” kata Husni Thamrin [48], perajin perahu di Gandus, Palembang.

Kayu yang digunakan untuk perahu, termasuk perahu ketek, yakni kayu meranti [Shorea sp] dan bungur [Lagerstroemis speciosa].

 

Jembatan Musi IV yang menghubungkan kawasan Kuto dengan 13-14 Ulu Palembang. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Perahu tradisional Sumatera Selatan

Perahu ketek adalah perahu jukung yang menggunakan mesin. Perahu jukung ini merupakan perahu tradisional di Sumatera Selatan.

Masyarakat yang menetap di lahan basah di Sumatera Selatan sudah menggunakan perahu sejak puluhan abad lalu. Ini berdasarkan bukti arkeologi, jauh sebelum hadirnya Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-7.

Pengetahuan [teknologi] dalam membuat perahu, akhirnya mendorong lahirnya industri perkapalan tradisional di masa Kedatuan Sriwijaya. Kapal-kapal Sriwijaya ini menjayakan peradaban bahari di Nusantara. Kapal-kapal tersebut bukan hanya mengarungi Nusanatara [Indonesia], juga hingga ke Asia Selatan, Tiongkok, dan Filipina.

 

 

Di masa lalu, salah satu perahu yang banyak digunakan masyarakat di Sumatera Selatan adalah perahu kajang. Perahu yang berfungsi sebagai alat transportasi dan rumah bagi pemiliknya. Tapi sejak tahun 1970-an, perahu kajang menghilang. Peranan perahu kajang digantikan dengan kapal jukung, yakni perahu ukuran besar menggunakan mesin.

Perahu digunakan untuk menyeberangi Sungai Musi di Palembang, diperkirakan dari masa Kesultanan Palembang. Sebab pada masa Kesultanan Palembang, sekitar abad ke-17, wilayah Seberang Ulu Palembang sudah terdapat permukiman, berupa rumah-rumah rakit. Mereka yang ingin ke Seberang Ilir [wilayah pemerintahan Kesultanan Palembang] menggunakan perahu. Mereka yang menetap di rumah-rumah rakit ini adalah pendatang asing, seperti China, Eropa, India, dan Arab.

Sebelum adanya Jembatan Ampera pada 1965, perahu adalah kendaraan utama masyarakat di Sungai Musi. Perahu yang digunakan untuk menyeberangi Sungai Musi adalah perahu tambangan yang menggunakan dayung.

 

Exit mobile version