Mongabay.co.id

Berharap Energi Bersih Terbesar di Asia Tenggara dari PLTS Cirata

  

Indonesia mulai bergegas menyambut era baru energi bersih. Barangkali peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS terapung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam berkomitmen menangani perubahan iklim dari sektor energi bersih.

Di waduk yang dibangun 1984 itu, Presiden Joko Widodo meresmikan pembangkit listrik ramah lingkungan berkapasitas 192 Megawatt-peak pada Kamis (9/11/2023) lalu. Matahari pagi itu seperti memberi harapan bagi pemanfaatan potensi energi ramah lingkungan yang besar di Indonesia yang selama ini belum digarap serius.

“Mimpi besar kita untuk membangun energi baru terbarukan dalam skala besar akhirnya bisa terlaksana. Kami berhasil membangun salah satu pembangkit listrik terapung yang terbesar di Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia,” kata Presiden dalam sambutannya.

Barangkali Jokowi baru menyadari keuntungan dilintasi garis khatulistiwa. Matahari begitu murah hati menyinari republik ini. Namun, Indonesia malah terlalu lama bergantung pada energi fosil.

PLTS Cirata merupakan kolaborasi PLN dengan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Masdar. Secara persentase kepemilikan saham, PLN miliki 51% dan Masdar 49%. Nilai investasinya mencapai 145 juta dollar AS atau Rp2.17 triliun. Modal yang besar untuk skala pembangkit listrik.

baca : Potensi Besar Transisi ke Energi Surya, Pemerintah Masih Setengah Hati?

 

Presiden Joko Widodo meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata, Purwakarta, Jabar, pada Kamis (9/11/2023) yang merupakan PLTS terbesar di Asia Tenggara dan nomor tiga di dunia. Foto : akun facebook Presiden Joko Widodo

 

Berada di areal seluas 200 hektar, PLTS ini dibagi 13 pulau modul dengan jumlah panel fotovoltaik mencapai 340.000 unit. Energi yang dihasilkan mencapai 245 juta kilowatt per jam (kWh) per tahun atau cukup daya memasok setrum bagi 50.000 rumah tangga.

Berjarak sekitar 400 meter dari pintu pengambilan air (water intake) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata, nantinya listrik akan langsung masuk ke sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali melalui Gardu Induk Cirata. Kelebihan PLTS terapung itu yakni terhubung dengan PLTA Cirata kapasitas 1.008 megawatt (MW).

PLTS terapung Cirata bakal menjadi alternatif sumber listrik yang didistribusikan ke sejumlah sektor, seperti industri. Menurut Presiden, permintaan green energy untuk industri itu yang paling banyak.

“Kita harapkan akan makin banyak energi baru terbarukan (EBT) yang dibangun di negara kita Indonesia, baik itu tenaga surya, hidropower, geothermal, tenaga angin. Saya kira kalau terus secara konsisten kita laksanakan seperti ini akan sangat baik,” ucapnya.

Ke depan, masa depan PLTS di atas waduk masih terbuka lebar untuk dikembangkan. Berdasarkan data Pembangkitan Jawa Bali (PJB), Indonesia memiliki lebih dari 192 bendungan dengan luas tangkapan 86.247 hektar. Sebagian besar berada di Jawa dengan total 82 bendungan dan waduk, lalu Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 90 bendungan dan waduk. Luasan lahan ini bisa dimanfaatkan untuk PLTS terapung hingga 4.300 megawatt peak (MWp) dengan catatan pemanfaatan 5 persen dari daerah tangkapan air.

baca juga : Negara Anggota ASEAN Perlu Kolaborasi Kembangkan Energi Surya

 

PLTS Cirata dengan areal seluas 200 hektar, meliputi 13 pulau modul dengan jumlah panel fotovoltaik mencapai 340.000 unit. Energi yang dihasilkan mencapai 245 juta kilowatt per jam (kWh) per tahun. Foto : PLN

 

Mengejar Komitmen  

Dibalik optimisme akan peluang yang makin terbuka dari PLTS, ada kecemasan perihal target energi terbarukan di 2025. Padahal ratifikasi Persetujuan Paris sudah kadung ditandatangani tahun 2016. Dan pemerintah mematok target 23 persen energi bersih dari bauran energi pada 2025.

Namun, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemanfaatan energi terbarukan nasional pada 2022 baru mencapai 12,3%. Pemerintah masih punya waktu dua tahun untuk mengejar target yang diharapkan.

Menurut Program Manajer Akses Energi Berkelanjutan, Institut for Essential Services Reform (IESR), Marlistya Citraningrum, target bauran energi itu masih cukup realistis dicapai. Dengan catatan, pemerintah mampu menerjemahkan regulasi lewat peta jalan transisi energi yang jelas.

PLTS terapung Cirata boleh jadi akselerasi untuk mengejar gap energi bersih. Pasalnya, tenaga surya memiliki potensi besar karena bisa dibangun cepat dan harganya pun kian kompetitif.

“Tapi kami menyayangkan prosesnya masih very slow,” ujar Citra yang dihubungi Mongabay-Indonesia, Jumat (10/11/2023)

Sebenarnya hal itu menjadi tantangan pada semua proyek energi terbarukan di Indonesia. Katanya, karena struktur kelistrikannya yang masih vertikal. Artinya PLN yang harus menjadi off-taker dari semuanya, maka perencanaan pengembangan energi terbarukan itu harus berdasarkan rencananya PLN.

baca juga : Transisi Energi Setengah Hati, Polusi Udara pun Tiada Henti

 

Pusat instalasi dari 13 pulau modul panel surya dari PLTS Cirata di Purwakarta, Jabar. Foto : Arie Basuki/Merdeka.com

 

Dalam perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), PLN telah memetakan bauran EBT sebagai base load dalam skala besar untuk demand. Perubahan ini sudah selaras dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dari Kementerian ESDM. Rencananya penambahan pembangkit EBT berkapasitas 60 gigawatt (GW) yang akan masuk dalam ekosistem kelistrikan hingga 2040 mendatang.

Kendati begitu, Citra menilai, sejauh ini EBT belum terlalu bergairah. Itu dibuktikan dengan proses pelelangan yang kebanyakan skala kecil. Sehingga kurang menarik investor.

“Dan PLTS terapung di Cirata ini menarik karena termasuk skala besar. Sekalipun sistemnya masih equity investor (kepemilikan saham), bukan murni investasi. Menurut kami pengembalian investasinya itu masih minimal. Belum-belum semenarik proyek-proyek lain yang misalnya porsi equity-nya sebagian besar tidak dimiliki oleh PLN,” imbuh Citra.

Selanjutnya, kebijakan harga listrik energi terbarukan menjadi tantangan sekaligus faktor kunci dalam pengembangan energi terbarukan. Energi dari PLTS Cirata ini harga listrik yang dibeli PLN itu adalah 5,8 sen atau setara Rp880 per KWH.

Citra bilang, harga tersebut sudah cukup kompetitif. “Meski kalau kita lihat dari harga-harga energi terbarukan di negara lain bahkan sudah jauh lebih murah sampai 3 sen. Tapi di Indonesia harga ini cukup rendah.”

Apalagi pasca terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan diharapkan dapat membawa angin segar bagi sektor ini. Perpres itu tidak hanya menetapkan kebijakan harga energi terbarukan, tapi juga meletakkan dasar bagi percepatan penyebaran energi terbarukan dengan menetapkan instruksi mempensiunkan energi fosil.

Artinya, kebijakan pengembangan energi terbarukan sudah setara dengan pembangkit energi fosil. Masalahnya, untuk bisa kompetitif itu harus ada variabel lain yang dipenuhi. Misalnya pengembangannya harus skala besar, kemudian memastikan equity investor itu fair antara investor dengan PLN. Dan lalu bisa mendapatkan pinjaman pendanaan dengan bunga murah.

baca juga : Kajian Sebut Transisi Energi Lebih Cepat Selamatkan Ratusan Ribu Nyawa dan Tekan Biaya Kesehatan

 

Jaringan instalasi dari 13 pulau modul panel surya dari PLTS Cirata di Purwakarta, Jabar. Foto : Imam Husein/Jawa Pos

 

Tantangannya, lelang proyek energi terbarukan dalam skala besar tidak tiap tahun dibuka oleh PLN. Kalaupun ada lelang, skalanya fluktuatif. Ini buat investor sulit untuk memprediksi kestabilan jangka panjang.

Citra mencontohkan, panjangnya proses di PLTS terapung di Waduk Cirata karena beberapa urusan strategis kadang perlu waktu cukup lama untuk sinkronisasi.

Tahun 2017, sebetulnya Indonesia dan Uni Emirat Arab sudah meneguhkan komitmen bersama perihal pengembangan listrik berbasis energi ramah lingkungan. Namun, Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) baru disepakati di tahun 2020.

“Ini ada proses tiga tahun ya, mungkin untuk negosiasi kontrak, klausul, dan sebagainya. Kemudian financial closing-nya selesai tahun 2021. Terus baru diresmikanya 2023. Jadi kalau dihitung dari awal banget, 2017 sampai 2023 itu butuh waktu 6 tahun. Ini salah satu kendala yang bisa saja menghambat target pemerintah,” imbuh Citra.

 

Mendinginkan Bumi

Indonesia kalah cepat ketimbang negeri miskin matahari, tapi lebih maju memanfaatkan teknologi. Di Belanda, misalnya, panel surya digunakan menopang industri pertanian bersama energi panas bumi. Di Jerman, panel surya diandalkan mengaliri listrik warganya sejak lama.

Sebelumnya dalam acara sarasehan S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengakui tiga tantangan besar transisi energi, yaitu akses energi bersih, kebutuhan pendanaan, serta dukungan riset dan teknologi.

Berangkat dari situ, Indonesia mencanangkan beragam mekanisme kerjasama pendanaan iklim global, khususnya untuk mempercepat program transisi energi, salah satunya Kerjasama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP).

Setidaknya itu dilatarbelakangi peningkatan emisi karbon dioksida serta gas rumah kaca. Pemerintahan global mewanti-wanti agar suhu Bumi tidak mencapai lebih dari 2 derajat celsius satu abad mendatang.

perlu dibaca : Transisi Energi dan Potensi Rasuah Dana JETP

 

Foto udara pemasangan 90.000 panel surya di atap pabrik di kawasan industri Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kepala Pusat Penelitian EBT Institut Teknologi Bandung (ITB), Yuli Setyo Indartono, menegaskan, bahwa basis transisi energi akibat masalah iklim yang berubah. Terlebih konsentrasi CO2, gas, di atmosfer itu sudah mencapai sekitar 420 part per million (ppm). Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata pengukuran sekitar 800 ribu tahun.

Yuli mengatakan, CO2 gas itu paling tinggi maksimum di kisaran 300-an ppm. Naik turunnya itu sekitar kira-kira setiap 100 ribu tahun atau siklus interglacial period. Sehingga naik turun CO2sepanjang sejarah bumi ini sudah naik turun kira-kira 6 kali.

“Sekarang sudah 420 ppm, jadi sudah rekor ya, artinya sudah di luar kebiasaan Bumi yang maksimum 300 ppm menampung CO2 di atmosfir,” kata Yuli yang dihubungi Mongabay-Indonesia, Jumat (10/11/2023)

Yuli menyebut kondisi ini bagian dari antropogenik, yaitu perubahan yang dipicu aktivitas manusia. CO2 yang tinggi itu menyebabkan pemanasan global, dampaknya dapat mempengaruhi kepunahan lebih cepat yang berujung pada ketidakseimbangan ekosistem.

“Tentunya, transisi energi ini menjadi langkah yang perlu untuk terus diupayakan demi mendinginkan Bumi,” tegas Yuli.

Yuli berharap, momentum kesadaran transisi energi ini membawa dampak baik pada dukungan terhadap penelitian dalam negeri. Sebab, sains punya tempat strategis sebagai bahan baku pengetahuan untuk memprediksi masa depan.

Apalagi banyaknya publikasi ilmiah telah menjelaskan bukti-bukti pemanasan global, menguatnya laju perubahan kondisi fisik sistem iklim, dan dampak yang memburuk bagi seluruh kehidupan di Bumi, termasuk pada manusia. Sebagaimana laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tentang dampak perubahan iklim di daratan dan lautan yang mengancam sumber pangan. (***)

 

Exit mobile version