Mongabay.co.id

Krisis Agraria dan Demokrasi di Indonesia, Apa Rekomendasi Mereka?

 

 

 

 

 

Indonesia alami krisis agraria dan sumber daya alam maupun kerusakan demokrasi pada era Pemerintahan Joko Widodo. Krisis ini terbukti dari begitu banyak masalah struktural yang tidak pernah selesai. Mulai dari ketimpangan kepemilikan dan penguasaan agraria-sumber daya alam, konflik, kerusakan ekologis masif, pangan tidak berdaulat sampai kemiskinan.

Sementara kerusakan demokrasi terlihat dari kontrol pemodal dalam penentuan dan pelaksanaan politik. Praktik yang rusak ini membuat kebijakan pengaturan agraria dan sumber daya alam makin memanjakan pengusaha dan bisnis mereka.  Setidaknya  begitu antara lain hasil konsolidasi berbagai elemen masyarakat sipil pada Konferensi Tenurial 2023.

Dewi Sartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, konflik agraria di era Joko Widodo diperparah dengan timbulnya modus baru perampasan tanah dan sumber penghidupan rakyat.

Perampasan ini, katanya,  dengan dalih untuk kepentingan negara tetapi menguntungkan pebisnis, seperti proyek strategis nasional (PSN), pengembangan pangan skala besar (food estate), dan pengadaan aset tanah bank tanah. Juga, kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN), perdagangan karbon hingga proyek berkedok perubahan iklim lainnya.

Sedang janji redistribusi tanah, pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya, serta pemulihan ekologis maupun ekonomi rakyat mengalami kegagalan.

“Realisasi itu tidak sebanding dengan pemberian tanah dan penghancuran alam bagi kepentingan pengusaha. Pemerintah tetap dan terus melakukan perampasan tanah atas nama pembangunan,” kata Dewi.

Dalam kegagalan ini, pemerintah juga tidak menyediakan kanal penyelesaian konflik-konflik agaria di masa lalu di berbagai sektor, mulai dari perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, kelautan, properti, hingga infrastruktur.

Malahan, katanya, pendekatan pemerintah dalam menghadapi konflik makin represif, intimidatif, dan diskriminitf pada rakyat yang mempertahankan tanah dan wilayah mereka.

 

Baca juga: Konferensi Tenurial 2023: Konsolidasi Masyarakat Bahas Persoalan Agraria dan Sumber Daya Alam

Aparat gabungan dihadang jalan yang diblokade warga Rempang, Batam, Jumat 8 September 2023. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Dalam Konferensi Tenurial 2023 ini juga mencatat beberapa kemenangan rakyat. Kemenangan ini, katanya,  meliputi berbagai aspek, mulai dari penguatan gerakan akar rumput untuk reforma agraria, penguatan ekonomi kerakyaratan, hingga perjuangan di bidang hukum.

Pada bidang reforma agraria, katanya, kemenangan itu seperti pendaftaran tanah dan peraihan hasil reclaiming lahan melalui sistem lokasi prioritas reforma agraria (LPRA), pembangunan model reforma agraria sejati atas inisiatif rakyat melalui Gerakan Desa Maju Reforma Agraria.

Kemudian, kemenangan LPRA seri rikat petani di berbagai wilayah, maupun regenerasi pejuang agraria, generasi muda petani, adat dan perempuan melalui Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS).

“Serta mempercepat pemetaan dan registrasi wilayah adat sebagai dasar pengakuan masyarakat adat,” kata Dewi.

Untuk penguatan ekonomi kerakyatan, beberapa kemenangan tercatat dalam Konferensi Tenurial mencakup Gerakan Ekonomi-Solidaritas Lumung Agraria (Gesla), pengembangan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA), hingga perluasan dan penguatan koperasi milik nelayan dan perempuan. Ada juga upaya pengembangan ekonomi nusantara untuk memulihkan Indonesia dari krisis sosial-ekologis.

Untuk perjuangan bidang hukum meliputi pengakuan daerah terkait masyarakat adat di berbagai tempat, keberhasilan-keberhasilan kasuistik di berbagai daerah. Lalu, kemenangan gerakan masyarakat sipil dalam menegakkan hak konstitusional rakyat melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi, hingga kemenangan vonis bebas petani-petani yang dikriminalisasi.

“Masih banyak kemenangan rakyat dalam mengahadapi berbagai krisis agraria struktural yang sistemik dan akut,” katanya.

 

Baca juga: Konferensi Tenurial 2023: Jaga Ruang Hidup, Masyarakat Sipil Harus Perkuat Gerakan

Produk hasil masyarakat adat, tani dan nelayan di sela Konferensi Tenurial 2023. Masyarakat dengan kekuatan mereka sendiri berupaya hidup berdaulat. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Rekomendasi

Konferensi Tenurial 2023 ini merupakan konsolidasi gagasan dan aksi lintas gerakan rakyat. Agenda ini memiliki keterhubungan dan tak terpisahkan dengan konsolidasi sebelumnya seperti pertukaran pembelajaran di Asia, Konferensi Regional Papua, Maluku- Pulau Kecil, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali-Nusra dan Sumatera.

Sampai pada Konferensi Tenurial 16-17 Oktober lalu terkonsolidasi lebih 1.550 orang dari organisasi masyarakat sipil lintas gerakan, seperti serikat petani, serikat nelayan, organisasi masyarakat adat, dan organisasi perempuan. Juga, serikat buruh, organisasi kepemudaan, ormas keagamaan, komunitas marjinal baik di desa maupun kota, serta para aktivis dan akademisi.

Dalam naskah kesimpulan konferensi itu menyebutkan, mereka melihat ada kekeliruan berpikir pemerintah dalam menjalankan reforma agraria.  Reforma agrarian yang terlaksana pun jauh dari prinsip dan tujuan juga mangkir dari tanggung jawab keberlanjutan.

Kondisi ini,  terlihat dari pelaksanaan reforma agraria yang diselewengkan jadi sertifikasi tanah biasa, tanpa ada perombakan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah. Juga tanpa penyelesaian konflik agraria sebagai jalan pemulihan dan pemenuhan hak rakyat atas tanah yang dirampas. Petani, masyarakat adat dan nelayan juga dipaksa menerima skema perhutanan sosial, perkebunan sosial, hak pakai, hak pengelolaan lahan maupun hak guna bangunan.

Sedangkan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat masih rumit, semangat domien verklaring pun menguat hingga sejarah penguasaan tanah rakyat diabaikan. Pemerintah, katanya,  juga memperkokoh komodiifikasi tanah dan sumber daya alam sebagai barang ekonomi semata.

“Jadi, nilai dan fungsi sosial, budaya, religi dan harga diri atas tanah-air makin dihilangkan.”

 

Sorgum siap panen di lahan petani Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Untuk itu, dari hasil rangkaian berbagai kegiatan sejak Maret sampai Oktober 2023 di Konferensi Tenurial ini,  ada empat rekomendasi dalam mewujudkan keadilan sosial-ekologis melalui reforma agraria sejadi dan pengelolaan sumber daya alam berkeadilan.

Rekomendasi ini,  katanya, berdasarkan evaluasi masa pemerintahan Joko Widodo dan harapan masyarakat sipil akan perubahan di masa mendatang.

Pertama, meluruskan dan mengoreksi paradigma kebijakan, praktik reforma agrarian dan pengelolaan sumber daya alam, serta pengaturan lain yang berwatak kontra terhadap keadilan sosial-ekologis.

Kedua, mereformasi kelembagaan untuk memastikan terwujudnya reforma agrarian dan pengelolaan sumber daya alam berkeadilan. Ada lima poin rekomendasi turunan di aspek ini yang meminta pembentukan kementerian/kelembagaan khusus masyarakat adat, dan dewan perimbangan reforma agraria nasional. Juga, penataan ulang kelembagaan berwenang untuk mengatur agraria-sumber daya alam, hingga pengembalian independensi dan penguatan KPK.

“Lalu mengembalikan Mahkamah Konstitusi sesuai tujuan awalnya sebagai penjaga konstitusi,” kata Dewi.

 

Warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), sudah lama protes plasma dengan PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP), Sejak September lalu, warga sudah aksi beberapa kali. Foto ini dari video aksi warga 21 September lalu. Foto: video warga

 

Ketiga, mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-sumber daya alam, baik di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Usulan ini, katanya,  berisikan empat rekomendasi turunan yang menyinggung pembuatan sistem pendaftaran tanah dan sumber-sumber agraria secara nasional, memastikan keterbukaan informasi hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan izin-izin konsesi seperti HTI, izin tambang, serta hak pengelolaan lahan.

Ada koreksi menyeluruh atas klaim sepihak negara atas nama kawasan hutan, serta memperkuat, penguatan hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Keempat, memastikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM bagi masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan yang sedang berjuang melindungi lingkungan, wilayah adat, tanah dan laut.

Poin ini meliputi lima rekomendasi turunan yang menyinggung evaluasi serta penghapusan UU dan pasal kontroversial yang bisa mengriminalisasi masyarakat.

Ada juga, kata Dewi,  rekomendasi internal yang berupaya mendorong penguatan gerakan rakyat supaya tak sektoral. “Karena agenda reforma agraria itu bukan hanya milik kaum tani, tapi untuk memperjuangkan pemulihan dan pemenuhan hak masyarakat adat dan masyarakat pesisir yang wilayah tangkapnya banyak dikavling-kavling,” katanya.

Arman Muhammad, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga Wakil Ketua Penyelenggara Konferensi Tenurial 2023, menyebut,  hasil rekomendasi ini akan diserahkan kepada kementerian/lembaga terkait.

“Berharap konferensi ini bisa jadi penguat berbagai elemen masyarakat sipil dan mendesak negara tidak abai penuhi hak tenurial.”

 

Warga Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, protes rencana kehadiran tambang emas di wilayah mereka. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version