Mongabay.co.id

Lontar, Tumbuhan yang Terkenal dengan Beragam Manfaat

 

 

Pohon lontar [Borassus flabellifer Linn.] terkenal dengan beragam manfaatnya. Hampir semua bagian tumbuhan dari kelompok Palma ini bisa dimanfaatkan; yang paling populer tentu saja daging buahnya [endosperm] yang sekilas mirip kolang-kaling, tapi punya rasa lebih manis, tekstur seperti agar dan berair, aroma yang khas, dan bisa langsung dimakan.

Daging buah lontar sering diolah sebagai jajanan es pinggiran pantai hingga perkotaan karena rasanya yang menyegarkan, mirip kelapa muda. Tapi, pastikan untuk menggunakan buah mudanya, karena ketika terlalu tua, daging buah lontar akan mengeras.

“Satu buah lontar berisi tiga biji dengan tempurung yang tebal dan keras [mirip kelapa],” mengutip penelitian Tambunan [2010], dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia, Sabtu [11/11/2023].

“Setiap pohon lontar menghasilkan 6 sampai 12 tandan buah atau sekitar 200 sampai 300 buah setiap tahun. Buah lontar berbentuk bulat yang berdiameter antara 10 sampai 15 sentimeter, berwarna hijau ketika masih muda dan menjadi ungu hingga hitam setelah tua,” lanjut Tambunan dalam penelitiannya yang berjudul Potensi dan Kebijakan Pengembangan Lontar untuk Menambah Pendapatan Penduduk.

Harga buah lontar cukup mahal, bisa puluhan ribu rupiah dengan tiga buah daging di dalamnya. Maklum saja, meskipun lontar tergolong tumbuhan kelompok palma yang paling tersebar luas [Asia – Asia Tenggara] atau seperempat garis keliling bumi, ia lebih menyukai lingkungan beriklim kering.

Di Indonesia, lontar hanya ditemukan pada wilayah pantai atau pesisir seperti; Jawa Tengah [bagian timur], Jawa Timur, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Maluku bagian tenggara.

“Dari seluruh daerah persebaran lontar, jumlah atau populasi terbanyaknya adalah di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan,” lanjut Tambunan dalam penelitian yang sama.

Baca: Daun Lontar dan Anyaman Kreatif Masyarakat Flores

 

Buah lontar yang biasanya dijadikan jajanan es. Foto: Soshe Islam/Pixabay/Public Domain

 

Secara global, ada tujuh spesies lontar. Sementara di Indonesia hanya ada dua, yakni Borassus flabellifer dan Borassus sundaicus. Dari kedua spesies itu, Borassus sundaicus merupakan asli [native] Indonesia, sedangkan Borassus flabellifer merupakan spesies introduksi dari India. Perbedaan keduanya terletak pada bagian permukaan daun. Borassus  flabellifer memiliki  permukaan daun yang tampak  bersisik, sedangkan Borassus sundaicus memiliki permukaan  daun yang halus.

Pada 1989, spesies lontar introduksi [Borassus flabellifer] dijadikan sebagai Flora Identitas Provinsi Sulawesi Selatan melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun  1989. Namun, keputusan ini dikoreksi oleh penelitian Nasri et al. [2017], sehingga spesies   tersebut harusnya tidak dijadikan sebagai flora identitas.

“Kalaupun, lontar tetap dipertahankan sebagai flora identitas, yang seharusnya dimasukkan adalah jenis Borassus sundaicus yang merupakan spesies asli Nusantara,” tegas Nasri dkk.

Baca: Trilobita, Kumbang Aneh Penghuni Hutan Pulau Bangka

 

Buah lontar dari jenis Borassus flabellifer. Sumber: Wikimedia Commons/Salil Kumar Mukherjee/CC BY-SA 4.0

 

Kaya manfaat

Di Indonesia, lontar setidaknya punya 56 nama lokal. Ini juga sejalan dengan beragam manfaatnya, yang bahkan dijuluki sebagai pohon 800 kegunaan dalam penelitian Tambunan [2010].

Dijelaskan dalam penelitian itu, bagian akar pohon lontar yang panjang dan berserabut, sering dimanfaatkan masyarakat lokal untuk berbagai pengobatan penyakit. Sementara batangnya yang mirip kelapa [hanya saja lebih gelap], dengan tinggi 25-30 meter, memiliki tekstur keras dan kuat, sering digunakan sebagai bahan bangunan dan jembatan.

“Pada tumbuhan muda, batang lontar mempunyai empulur [bagian terdalam batang] yang masih lunak, dapat dijadikan sagu untuk pangan. Sementara pada ujung batang terdapat umbut [palm heart], rasanya manis dan dapat dimakan,” tulis penelitian itu.

Bagian daun lontar dengan lebar satu meter lebih berbentuk kipas, juga digunakan sebagai wadah alat musik tradisional khas Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Berbagai kerajinan seperti topi, bakul atau keranjang, tikar, sikat, dan kesetan juga berasal dari daun lontar.

Mengutip Alodokter.com, buah lontar yang mengandung banyak air bermanfaat untuk mencegah dehidrasi, mengatasi masalah pencernaan, mengobati peradangan kulit, mencegah radikal bebas, membantu program diet, hingga mencegah osteoporosis.

Dalam Nasri et al. [2017], hasil penelitian Morton [1988] menunjukkan bahwa buah lontar kaya akan Vitamin A dan C. Di sisi lain, biji lontar merupakan sumber karbohidrat, serat, dan asam amino yang baik [Arunachalam et al., 2011], namun rendah lemak dan protein [Mason dan Henry, 1994].

Baca juga: Bambu Petung dan 10 Fakta Kehebatannya

 

Pohon lontar yang daunnya dapat dimanfaatkan untuk kerajinan anyaman. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Potensi

Potensi menjanjikan lontar ada pada produk utamanya, yakni nira yang didapat dari sadapan bunga, bisa diminum langsung atau diolah jadi gula lontar, dan sebagainya.

Di Nusa Tenggara Timur, menurut hitungan Tambunan, jika harga jual nira Rp100 ribu per liter, maka pendapatan petani penyadap dapat mencapai Rp110.498.256.000 per tahun. Sementara di Sulawesi Selatan dapat mencapai Rp4.442.008.000 per tahun.

“Pengembangan usaha produk lontar sangat ideal untuk kesinambungan ekonomi masyarakat di daerah potensial lontar,” tulis Tambunan.

Nira dari lontar juga dapat dikonversi menjadi bioethanol [sumber energi alternatif] dan terbarukan bagi manusia melalui proses khusus.

“Etanol cocok untuk campuran bahan bakar mesin bensin dan juga untuk industri farmasi,” jelas Tambunan dalam risetnya.

 

Referensi:

Nasri, N., Suryaningsih, R., & Kurniawan, E. (2017). Ekologi, Pemanfaatan, dan Sosial Budaya Lontar (Borassus flabellifer Linn.) Sebagai Flora Identitas Sulawesi Selatan. Buletin Eboni, 14(1), 35–46.

Tambunan, P. (2010). Potensi dan kebijakan pengembangan lontar untuk menambah pendapatan penduduk. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 7(1), 27–45.

 

Exit mobile version