Mongabay.co.id

Ada Harapan di Saat Pemutihan Karang Meluas

 

Karang seperti pohon, dan terumbu karang adalah hutan hujan tropis di bawah laut. Disebut hutan karena keanekaragaman spesies yang hidup di dalam terumbu karang menakjubkan. Sering kali terumbu karang juga disebut taman laut. Ini karena keindahan terumbu karang yang terlihat berwarna-warni dan berbentuk aneka rupa.

Tapi yang kita sebut karang itu sebenarnya bukan tumbuhan. Karang adalah binatang. Di dalam karang yang keras terdapat ribuan binatang yang disebut polip. Mereka memanfaatkan kalsium karbonat (CaCO3) dari air laut untuk membangun kerangka yang keras ini.

Polip termasuk binatang tak bertulang belakang atau invertebrata. Tidak memiliki kepala, punya tentakel di sekitar mulut, dan punya nematocyst atau sengat. Ukuran polip umumnya dari 1 mm hingga 10 mm.

Mengapa karang bisa berwarna warni? Ini bergantung beberapa faktor. Tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae yang hidup berdampingan dengan polip sendiri memiliki klorofil. Polip punya ekspresi gen yang berbeda-beda, dan kedalaman atau banyaknya sinar matahari yang diterima juga berpengaruh terhadap pembentukan warna.

baca : Fenomena Pemutihan Karang, Perlukah Mitigasinya?

 

Sekelompok terumbu karang yang mengalami pemutihan di perairan Maldives. Foto : sustainabletravel.org

 

Saat karang stres warnanya berubah terang. Penyebab stres antara lain perubahan suhu, berkurangnya cahaya atau nutrisi, juga polusi. Saat stres, karang akan melepas alga yang menempel di jaringan. Ini merupakan fase karang melakukan penyembuhan diri. Akibatnya karang kembali ke warna “asli”. Fenomena ini disebut pemutihan karang. Namun karang bisa mati jika penyembuhan membutuhkan waktu terlalu lama. Untuk sembuh karang bisa membutuhkan waktu hingga 12 tahun.

Terumbu karang luasnya sebenarnya tak sampai satu persen dari luas dasar laut. Namun dia menjadi tempat tinggal lebih dari 25 persen kehidupan laut. Seperti hutan hujan tropis, terumbu karang menjadi habitat aneka biota laut. Kelestarian terumbu karang bukan saja penting bagi ekosistem di lautan, namun juga bagi manusia yang menggantungkan kehidupannya dari hasil laut, misalnya yang berupa tangkapan ikan dan udang.

Bukan itu saja, terkait pemanasan global, terumbu karang juga menjadi gudang penyimpanan karbon. Setidaknya ada 70 juta ton hingga 90 juta ton karbon yang disimpan per tahunnya dalam bentuk CaCO3.

Mengutip data yang disajikan Program Lingkungan PBB (UNEP) yang dikeluarkan 2020, sayangnya selama satu dekade sejak 2009 laut telah kehilangan 14 persen terumbu karangnya. Hal ini terutama disebabkan oleh pemutihan karang secara massal. Dalam dekade-dekade mendatang diperkirakan pemutihan karang menjadi sesuatu yang biasa akibat perubahan iklim, menurut laporan proyeksi pemutihan karang yang dikeluarkan UNEP.

Pada 2034 pemutihan karang yang parah diperkirakan terjadi tiap tahun. Jika itu terjadi maka pemulihan menjadi sulit kecuali karang dapat beradaptasi dengan suhu tinggi.

baca juga : Sisi Positif Wabah Corona Bagi Terumbu Karang Indonesia

 

Pemutihan karang di perairan pulau Heron, Februari 2016. Foto : The Ocean Agency / XL Catlin Seaview Survey / Richard Vevers

 

Angka yang lebih mengkhawatirkan muncul pada sebuah pertemuan yang membahas ilmu kelautan di San Diego, California tiga tahun lalu. Disebutkan bahwa selama 20 tahun terakhir, laut telah kehilangan 50 persen terumbu karangnya. Sementara sekitar 90 persen terumbu karang akan mati pada 2050.

Mengutip Guardian, seiring kenaikan suhu dan keasaman laut, serta meningkatnya emisi karbon dioksida, terumbu karang bakal menjadi ekosistem pertama yang punah akibat perilaku manusia.

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Communication, Agustus, 2023 lalu sedikit memberi harapan. Sekelompok peneliti membuktikan bahwa terumbu karang telah beradaptasi terhadap kenaikan suhu air laut. Menggunakan contoh terumbu karang di Pasifik yang terpencil, terumbu karang itu punya toleransi termal 0,1 derajat Celcius per tahun. Menurut para peneliti, dengan demikian dampak pemutihan tidak terlalu parah dibanding perkiraan sebelumnya.

Penelitian terbaru terhadap salah satu spesies karang Karibia yang dimuat dalam jurnal Global Change Biology, Oktober, 2023 menemukan bukti yang mengejutkan. Karang yang kurang toleran terhadap panas, keturunannya justru memperlihatkan kinerja yang lebih baik dibanding sebaliknya.

baca juga : Studi Terbaru, Terumbu Karang di Pasifik Timur Mampu Bertahan dari Pemanasan Global Hingga 2060

 

Seorang penyelam diantara terumbu karang seafan di perairan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Namun para peneliti mengingatkan masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk menguatkan kesimpulan mereka. Selain itu spesies karang yang berbeda mungkin juga memperlihatkan respon yang berbeda.

Meski demikian hasil penelitian ini telah membalikkan anggapan bahwa induk karang yang tahan panas maka keturunannya juga pasti tahan panas. Ternyata tidak demikian. Sehingga penemuan itu diharapkan bisa bermanfaat bagi cara penyelamatan terumbu karang di masa depan. (***)

 

Exit mobile version