Salah satu dampak El nino yang berkepanjangan adalah meningkatnya suhu permukaan laut (SPL), yang akan menyebabkan pemutihan pada karang (coral bleaching) dan bahkan sampai mengalami kematian pada karang. Fenomena pemutihan karang merupakan perubahan warna jaringan pada terumbu karang dari warna hijau atau coklat menjadi warna putih pucat.
Selain terjadinya coral bleaching pada karang, peningkatan suhu juga meningkatkan laju pertumbuhan patogen karang, seperti bakteri dan mikroba yang lain, sehingga peningkatan terjadinya penyakit karang disebabkan karena meningkatnya patogen dalam lingkungan yang istilah ini sering dinamakan coral disease.
Selain dari pengaruh suhu permukaan laut, parameter fisika kimia lingkungan juga sangat berpengaruh pada terumbu karang. Antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Parameter fisika kimia yang berpengaruh pada pertumbuhan terumbu karang antara lain, arus, salintas, kecerahan, nutrien (nitrat, nitrit dan fosfat), dan kedalaman.
Kejadian penyakit pada karang bisa juga disebabkan oleh parameter fisika kimia perairan dimana proses yang terjadi tidak terlihat jelas oleh kasat mata. Sangat penting mengkaji hubungan yang terjadi antara kualitas perairan dengan coral bleaching yang terjadi disuatu perairan.
baca : Ketika Pemutihan Karang Terjadi Lagi di Lombok
Menurut Hoegh-Guldberg terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan iklim karena sangat cepat terjadi proses pemutihan (bleaching) ketika suhu permukaan laut meningkat. Karang bisa hidup pada kisaran suhu diatas rata-rata (thermal threshold), dan apabila meningkat dari 1 – 2oC diatas rata-rata suhu/bulan maka akan mengakibatkan pemutihan massal. Potensial peningkatan suhu permukaan laut di tahun 2050 adalah 1 – 3 oC.
Menurut Douglas salah satu prediksi dampak dari perubahan iklim adalah pemutihan karang, yang disebabkan karena gangguan yang terjadi hubungannya dengan simbiosis antara polip karang dan zooxanthellae yang ditandai dengan keluarnya zooxanthellae dan kehilangan pigmen-pigmen fotosintesis.
Stress pada karang lebih banyak disebabkan oleh pengaruh percampuran air tawar dengan air laut, polusi, sedimentasi, penyakit dan yang terpenting adalah perubahan suhu dan pencahayaan. Jika faktor stres berlangsung dalam jangka waktu lama, terumbu karang akan mengalami penurunan laju pertumbuhan dan fekunditas (kesuburan). Bahkan cenderung akan mengalami kematian. Fenomena pemutihan karang sangat tergantung pada lokasi, kondisi lingkungan, musim atau komposisi jenis karang.
Salah satu fenomena yang pernah terdeteksi oleh coral bleaching dari NOAA Coral Reef Watch (Gambar 1 dan 2), terjadinya pemutihan karang massal yang menunjukkan bahwa adanya kenaikan suhu permukaan laut mulai periode April – Mei 2020. Hal ini menimbulkan dampak yang negatif terhadap kondisi terumbu karang di perairan tropis Indonesia diantaranya Bali dan sekitarnya (Gambar 3).
baca juga : Inilah Fenomena Penyakit yang Muncul Sebagai Lanjutan Pemutihan Karang yang Terjadi
Analisa Kondisi Lapangan
Berdasarkan peringatan informasi yang diperoleh dari NOAA Coral Reef Watch (CRW) tersebut, Balai Riset dan Observasi Laut (sekarang Balai Pengelolaan Informasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan-BPISDKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan, melakukan analisis suhu permukaan laut di perairan Laut Bali menggunakan data Multi Ultra high Resolution Sea Surface Temperature (MUR-SST) (Gambar 4).
MUR-SST merupakan penggabungan sejumlah sensor suhu meliputi NASA Advanced Microwave Scanning Radiometer-EOS (AMSR-E), JAXA Advanced Microwave Scanning Radiometer 2 (AMSR-2) pada GCOM-W1, Moderate Resolution Imaging Spectroradiometers (MODIS) pada platform NASA Aqua dan Terra, US Navy microwave WindSat radiometer, Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) pada beberapa satelit NOAA, dan pengamatan in situ SST dari iQuam.
Berdasarkan data NOAA-CRW (Gambar 1 dan 2), bagian barat laut Pulau Bali berkategori bleaching alert 1-2. Sedangkan selatan Pulau Bali, Pulau Lombok dan sebagian barat daya Jawa Timur mengalami kenaikan suhu 2 derajat dan kategori bleaching alert 2.
Menurut hasil monitoring 27 Mei 2020 yang dilakukan Tim Yayasan LINI pada terumbu karang di desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng yang mengalami pemutihan adalah karang keras (Scleractinia coral) dari jenis Pocillopora sp. Sedangkan karang dari jenis Acropora sp (karang cabang) tidak mengalami pemutihan (resistant). (Gambar 3).
baca juga : Studi Terbaru, Terumbu Karang di Pasifik Timur Mampu Bertahan dari Pemanasan Global Hingga 2060
Dari hasil analisis MUR-SST (Gambar 4) menunjukkan bahwa sejak bulan Januari terjadi peningkatan suhu yang cukup signifikan (± 20C) jika dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2019. Anomali suhu laut juga menunjukkan nilai meningkat cukup signifikan (merah). Peningkatan suhu mulai terlihat jelas pada bulan April 2020, dimana massa air panas menyebar merata di Laut Bali mulai pada bagian timur hingga bagian barat, termasuk perairan di Tejakula, Kabupaten Buleleng.
Berdasarkan data satelit penginderaan jauh MUR-ST, menunjukkan adanya trend peningkatan Suhu Permukaan Laut (SPL) atau Sea Surface Temperature (SST) periode Mei 2020 khususnya pada akhir bulan Mei sehingga memicu terjadinya pemutihan karang khususnya di perairan Bali Utara dan sekitarnya bahkan di perairan Jawa Timur.
menarik dibaca : Penggunaan Sunscreen Sebabkan Terumbu Karang Rusak?
Perlu dilakukan langkah-langkah mitigasi diantaranya dengan cara melakukan kegiatan monitoring lanjutan, terkait jenis karang yang mengalami pemutihan apakah mampu beradaptasi pasca gangguan/fenomena kenaikan suhu tersebut apakah resistant (dapat bertahan) atau resilient (daya lenting).
Sehingga dengan data dan informasi tersebut dapat menjadi data dukung untuk menjadi salah satu acuan oleh para pemangku kepentingan pusat maupun daerah dalam pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan.
Hal itu juga mendukung program Pemerintah khususnya Agenda Prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan, yakni lima kebijakan yang meliputi: 1). Memperluas Kawasan Konservasi Laut, 2). Penangkapan Ikan terukur berbasis kuota, 3). Pembangunan budidaya laut, pesisir dan darat yang berkelanjutan, 4). Pengawasan dan pengendalian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, dan 5). Pembersihan sampah plastik di laut melalui Gerakan partisipasi Nelayan atau Bulan Cinta Laut. Dimana yang menjadi skala prioritas terkait proses mitigasi tersebut adalah poin 1 dan 4. (***)
*Dr. Eghbert Elvan Ampou, Peneliti Ahli Madya, Pusat Riset Oseanografi, ORKM – BRIN
**Eko Susilo, S.Pi, Analis Data Ilmiah Balai Pengelolaan Informasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (BPISDKP), KKP
***Dr. I Nyoman Radiarta, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDMKP), KKP
Tulisan ini merupakan opini penulis