Penyakit bisa terjadi pada hewan maupun tumbuhan. Demikian pula dengan terumbu karang, kelompok yang dikategorikan sebagai hewan laut. Namun, berbeda dengan negara maju yang penelitian karangnya sudah tinggi, masih amat sedikit laporan dan studi intensif penyakit karang di Indonesia. Akibatnya, pemetaan keberadaan dan identifikasinya pun hingga sekarang belum banyak diketahui.
Koloni karang yang sakit erat kaitannya dengan stress yang terjadi. Kondisi ini disebabkan peristiwa lingkungan seperti sedimentasi, faktor luka seperti dimakan ikan, maupun peningkatan suhu perairan. Secara teori, karang yang stress mudah terinfeksi dan terkena penyakit.
Penyakit karang dapat menyebabkan kematian massal sebagaimana yang pernah terjadi di pesisir Karibia dan Australia yang menyebabkan berubahnya struktur komunitas karang, bahkan hingga ancaman hilangnya spesies karang di alam.
Hasil penelitian, sebagian besar terumbu karang mengalami kematian akibat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, khususnya terhadap peningkatan suhu yang terjadi disebagian besar lokasi baik di Indonesia maupun di perairan dunia.
Dalam kurun waktu tiga kali dalam tahun 2016 ini, penulis berkesempatan mengadakan pengamatan rutin di perairan Lombok. Pada periode Mei-Juli di Sekotong Lombok Barat dan September 2016 di Desa Kerakas, Lombok Timur. Kesempatan ini penulis gunakan untuk mengamati kondisi karang yang mengalami stress, kematina dan bertahan.
Pengamatan pada bulan Mei dijumpai kejadian dimana terjadi pemutihan karang (bleaching) sedang berlangsung dalam kawasan yang luas. Bukan saja pada karang yang dikenal rentan seperti Acropora sp, namun pada karang yang selama ini dianggap tahan stress dan perubahan, seperti Porites sp.
Karang hias (Euphyllia sp), karang jamur (Fungia sp) dan anemon sebagai rumah ikan nemo (clown fish) pun mengalami bleaching, sehingga ikan nemo tidak nyaman tinggal lagi ditempat yang selama ini mereka tempati.
Pengamatan pada bulan Juli, penulis masih menjumpai bleaching pada karang meski sebagian bertahan. Kejadian ini berbeda dibandingkan kejadian tahun 1997/1998 dimana terjadi kematian massal karang secara global di dunia, termasuk di Indonesia, yaitu di perairan Padang, Sumatera Barat.
Pengamatan pada akhir bulan September 2016, terlihat sebagian karang telah terinfeksi oleh penyakit karang. Dalam kondisi ini karang dapat dengan mudah terinfeksi oleh penyakit yang didahului adanya pemicu, seperti dalam hal ini peningkatan suhu dalam kurun waktu tertentu.
Temuan Penyakit Karang
Hasil pengamatan penulis sepanjang garis transek berukuran 100 meter dengan transek sabuk berukuran dua meter diperoleh kasus penyakit karang tertinggi yaitu White Syndrome (WS, termasuk juga bleaching) pada 49 koloni karang, penyakit menyerupai Yellow Band Disease (YBD) sebanyak 39 koloni dengan ciri bagian koloni berwarna kuning, dan beberapa bagian koloni telah tertutupi alga sebanyak 23 koloni.
Jenis karang yang terinfeksi oleh WS dan mengalami bleaching meliputi Porites sp. sebanyak 13 koloni terinfeksi tertinggi, Diploastrea heliopora sebanyak 10 koloni, Pectinia sp. 3 koloni, Lobophyllia sp. 3 koloni, Favia sp. 3 koloni, Favites sp. 12 koloni dan Montipora sp serta Hydnophora sp. masing-masing sebanyak 1 koloni.
Sementara karang diduga terinfeksi YBD diantaranya tertinggi pada Porites sp sebanyak 32 koloni, Favia sp 2 koloni dan Platygyra sp 1 koloni.
Penyakit ini berbeda dengan yang dijumpai penulis di Kepulauan Seribu Jakarta pada tahun 2012, dimana karang terinfeksi Black Band Disease (BBD, penyakit sabuk hitam) di lokasi terdekat, tengah dan terjauh dari Teluk Jakarta.
Penulis berkesimpulan penyakit ini tidak disebabkan tingkat sedimentasi tinggi, namun karena adanya peningkatan suhu dan intensitas cahaya yang mencapai puncaknya pada bulan Oktober-November, sehingga kelimpahan penyakit terjadi di luar batas normal (outbreak).
Masih diperlukan waktu untuk mengetahui berbagai jenis penyakit tersebut ke arah yang lebih spesifik, seperti asosiasi bakteri atau jamur dengan koloni karang yang terinfeksi yang dapat menjadi pembanding dengan daerah lain. Sebagai contohnya, literatur menyebutkan penyakit YBD disebabkan oleh bakteri dari kelompok Vibrio spp.
Kesimpulan
Penelitian lebih jauh tentang penyakit karang sangat diperlukan di Indonesia, karena Indonesia adalah pusat keanekaragan jenis terumbu karang tertinggi di dunia.
Demikian pula, penelitian tentang kerusakan karang akibat faktor penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan sedimentasi di sekitar kota padat penduduk pun perlu menjadi perhatian.
Terminologi dan kemampuan identifikasi jenis penyakit karang sangat diperlukan di Indonesia, tanpa kemampuan ini tidak mungkin ada tenaga lapangan yang dapat melakukan survei dan penelitian. Semoga hal ini menjadi perhatian dimasa akan datang di Indonesia.
—
* 1) Dr Ofri Johan, M.Si, penulis bekerja pada Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias, Depok. 2) Gunardi Kusumah, MT, penulis bekerja pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan perikanan.