Mongabay.co.id

Karut Marut Perlindungan Awak Kapal Perikanan

 

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dinilai tidak menjadi solusi yang tepat bagi pelaut migran Indonesia (PMI). Kehadiran UU tersebut harus diperbaiki, karena ada klausul yang bertentangan dengan regulasi lain.

Klausul yang dimaksud ada pada Pasal 4 ayat (1) huruf c, yang mengatur bahwa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan termasuk pekerja migran Indonesia. Ketetapan tersebut dinilai harus segera dicabut atau dihapus, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait pelayaran.

Permohonan untuk menghapus klausul tersebut menjadi materi pokok yang ada dalam dokumen permohonan hak uji materi atau judicial review UU 18/2017 di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan tersebut dilakukan oleh tiga pihak berbeda yang mewakili kelompok, perorangan, dan lembaga perekrut (manning agency).

Ketiganya, adalah Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) yang mewakili kelompok, Untung Dihako mewakili perseorangan, dan lembaga perekrut (manning agency) PT Mirana Nusantara Indonesia. Pengajuan tersebut dilakukan pada 23 Oktober 2023 lalu.

Para pihak yang menjadi pemohon mengeklaim tuntutan penghapusan klausul pada Pasal 4 ayat (1) huruf c, adalah karena ada dampak yang akan timbul dan bisa mengakibatkan tidak bisa diterapkan jaminan perlindungan dan hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan. Mengingat, aturan tersebut sudah ada pada peraturan perundang-undangan kepelayaran.

Tetapi, penilaian dari para pemohon tersebut, dinilai tidak tepat oleh sembilan organisasi pelaut dan masyarakat sipil. Itu kenapa, kesembilan organisasi tersebut secara resmi mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait atas Pengujian Materiil UU 18/2017 pada Senin (20/11/2023).

Menurut Kuasa Hukum Sembilan Organisasi Pelaut dan Masyarakat Sipil Jeanny Silvia Sari Sirait, permohonan menjadi Pihak Terkait secara resmi terdaftar dalam perkara dengan nomor: 127/PUU-XXI/2023.

baca : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?

 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

 

Ada pun sembilan perwakilan organisasi pelaut niaga, pelaut perikanan, dan organisasi masyarakat sipil yang mengajukan permohonan menjadi Pihak Terkait, adalah Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), dan Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara (SAKTI Sulut).

Lalu, Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Pelaut Borneo Bersatu (PBB), Serikat Pelaut Bulukumba (SPB), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

“Mereka semua tergabung dalam Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI),” jelas dia.

Tentang klaim dari para pemohon uji materi UU 18/2017, disebut oleh Jeanny Silvia Sari Sirait tidak tepat. Hal itu, karena pihaknya menilai jika klausul yang dimaksud kemudian dihapus, maka itu akan merugikan para pekerja migran di sektor pelayaran. Baik itu kapal niaga atau kapal perikanan.

“Jadi sangat keliru bila pihak Pemohon menganggap UU PPMI merugikan Pelaut,” tegas dia.

Landasan yang dipakai untuk mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait, adalah pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu menyebut setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kemudian, setiap orang juga berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Itu artinya, pekerja migran di sektor pelayaran tidak boleh dikecualikan, karena justru akan berdampak pada pelanggaran hak atas pekerjaan yang layak.

Atas pertimbangan tersebut, pihaknya memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk menerima dan mengabulkan permohonan sebagai Pihak Terkait untuk seluruhnya. Juga, memohon agar menolak permohonan judicial review yang diajukan oleh Para Pemohon.

baca juga : Potensi Resiko di Balik Regulasi Baru untuk Awak Kapal Perikanan

 

Salah satu jenazah yang diturunkan di Bitung pada November 2020. Jenazah tersebut merupakan milik Saleh Anakota dan Rudi Ardianto yang meninggal tiga bulan sebelumnya di Samudera Pasifik. Keduanya meninggal karena penyakit yang tidak diketahui, kata kementerian luar negeri Indonesia saat itu. Foto : Kementerian Luar Negeri

 

Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno, memberikan pandangan serupa dengan lebih tegas dan tajam. Dia mengatakan, kalau uji materi UU 18/2017 dikabulkan, maka itu berarti menjadi sebuah kemunduran.

Mengingat, pihaknya selama ini telah berjuang sangat panjang untuk kesejahteraan dan keselamatan pekerja migran Indonesia, termasuk pelaut dan nelayan migran. Bahkan, untuk memasukkan pelaut migran ke dalam kategori pekerja migran saja, itu menjadi perjuangan selama bertahun-tahun.

“Agar ada jaminan kesejahteraan dan pelindungan serta posisinya setara dengan pekerja migran di sektor lain,” sebut dia.

Sekretaris Jenderal SAKTI Syofyan juga menyatakan tidak sepakat jika klausul penghapusan klausul pekerja migran benar-benar terjadi. Pasalnya, pihak yang akan menerima dampak buruknya, tidak lain adalah pelaut Indonesia, karena mereka akan bekerja tanpa payung hukum yang melindungi.

Jika status pekerja migran bagi awak kapal niaga dan pelaut perikanan dihilangkan dari UU 18/2017, maka Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran tidak berlaku lagi sebagai aturan turunan dari UU tersebut.

 

Aturan Minus

Di sisi lain, UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang disebut para pemohon uji materi UU 18/2017 sebagai salah satu sebab, ternyata secara teknis dan praktis hanya mengatur tentang awak kapal berbendera Indonesia. Sementara, awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal berbendera asing tidak diatur.

Menurut Syofyan, walau Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritim (MLC) pada 2006 dan ditegaskan melalui UU Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention, 2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, 2006), namun sampai saat ini belum ada aturan turunan yang dibuat khusus oleh Pemerintah Indonesia.

“Kita belum punya aturan turunan yang melindungi awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal asing, yang merujuk ke undang-undang itu,” ungkap dia.

baca juga : Belum Ada Kepastian Nasib Awak Kapal Perikanan di ASEAN

 

Wahyungki Saputra (kedua dari kiri) dan Zulham Afandi (keempat dari kiri) bersama rekan-rekan AKP Indonesia lainnya ketika berada di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Greenpeace Indonesia yang masuk TAPMI juga menyampaikan keberatannya jika uji materi UU 18/2017 dikabulkan oleh MK. Itu kenapa, organisasi tersebut merasa penting untuk bergabung dan terlibat aktif dalam tim advokasi.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan kalau penegakan keadilan untuk laut, sampai saat ini terus berjalan seiring dengan penegakan keadilan untuk manusia yang menggantungkan hidup di laut.

Ia menilai, aktivitas perikanan yang ekstraktif telah merusak ekosistem laut, sekaligus mengeksploitasi para awak kapal perikanan (AKP). Selama ini, para pihak banyak yang mendorong Pemerintah untuk memberikan pelindungan yang lebih kuat untuk mereka.

“Jika MK mengabulkan permohonan judicial review tersebut, kami merasa perjuangan masyarakat sipil selama ini akan sia-sia,” tegas dia.

Perjuangan sembilan organisasi pelaut dan masyarakat sipil untuk mengawal UU 18/2017, adalah karena mereka sadar bahwa kelompok pekerja yang sangat rentan, sampai saat ini adalah yang bekerja di atas kapal perikanan di laut.

Tanpa ada uji materi UU 18/2017, perlindungan terhadap para pekerja yang berprofesi sebagai AKP masih belum bisa dilakukan dengan penuh oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu sebabnya, adalah karena belum dilakukan ratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor kelautan. ILO mengesahkan konvensi tersebut pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.

baca juga : Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Sembilan organisasi yang mengajukan permohonan menjadi Pihak Terkait uji materi UU 18/2017, juga secara aktif mendesak Pemerintah untuk segera melakukan ratifikasi Konvensi ILO 188. Termasuk, Greenpeace Indonesia yang menerbitkan desakan ratifikasi oleh Pemerintah.

Greenpeace Indonesia menyebut, dua pihak yang paling berwenang untuk melaksanakan langkah tersebut, adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

Kedua lembaga negara itu ditunjuk, karena mereka sudah menerima mandat dari Negara untuk melaksanakan tata kelola kelautan dan perikanan, serta perlindungan pekerja perikanan, baik lokal dan migran Indonesia.

Peran K-188 dinilai sangat besar untuk memberikan perlindungan ketenagakerjaan selama ini kosong pada bidang perikanan di Indonesia. Namun, sejauh ini aturan tersebut masih dikecualikan dalam konvensi ketenagakerjaan atau Maritime Labour Convention (MLC) 2006.

Walau didesak untuk segera meratifikasi, tetapi Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution memahami bahwa proses melakukan itu tidak bisa buru-buru. Justru, dia berharap Pemerintah bisa melakukannya secara bertahap, namun jelas dan tegas.

Hal itu, karena sudah ada pengalaman sebelumnya saat MLC digelar pada 2006 lalu, di mana saat itu sudah dilakukan ratifikasi K-188. Namun sayang, ratifikasi mengecualikan perlindungan PMI PP dan hanya fokus pada pekerja kapal niaga, belum kepada pekerja kapal perikanan.

“Tidak perlu buru-buru meratifikasi, tapi perlu langkah progresif,” katanya belum lama ini di Jakarta.

Menurut dia, Pemerintah harus bisa melakukan perbaikan tata kelola perikanan di dalam negeri melalui berbagai cara. Jika dibiarkan terus lemah, maka akan semakin banyak AKP yang berangkat kerja ke luar negeri.

Saat itu terjadi, maka praktik eksploitasi saat berada di atas kapal perikanan akan terus diterima para AKP dari Indonesia. Lebih dari itu, mereka juga sangat bergantung pada iming-iming gaji besar saat bekerja sebagai AKP.

Dia menilai, ada keengganan yang dirasakan AKP saat harus bekerja di dalam negeri dengan gaji tidak menentu nilainya. Sebaliknya, walau harus menerima praktik eksploitasi saat bekerja di atas kapal perikanan berbendera asing, para AKP Indonesia tidak mempersoalkannya selama gaji lebih besar.

“Sekitar 450-650 USD per bulan. Dibilang lebih besar, memang iya, tapi resiko juga jauh lebih besar,” jelasnya.

baca juga : Perjalanan Panjang Awak Kapal Perikanan Indonesia Menuntut Hak yang Hilang

 

Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Keberpihakan Politik

Di lain pihak, Arifsyah menyebut kalau Pemerintah Indonesia mengeklaim bahwa hampir semua kebijakan yang berkaitan dengan nelayan atau PMI PP sudah berjalan searah dengan K-188 yang menjadi norma internasional.

“Yang belum adalah keinginan politik mereka untuk mengimplementasi secara serius,” pungkasnya.

Saat persoalan tata kelola pelaut di Indonesia masih karut marut, dunia juga mengalami kondisi yang sama. Hal itu, mendorong banyak negara untuk terus meningkatkan perlindungan kepada para pemilik kapal penangkap ikan, nelayan, dan pelaut di seluruh dunia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga ikut mendorong peningkatan perlindungan hak-hak pelaut, seiring dengan persiapan industri perikanan di masa mendatang yang akan mengadopsi sistem digital dan pelaksanaan dekarbonisasi.

Dua organisasi di bawah PBB, Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi Maritim Internasional (IMO) fokus untuk mengawal perlindungan untuk para pelaut di seluruh dunia. Salah satunya, dengan menggelar Konferensi Pekerjaan di Laut untuk pertama kali pada 13 November 2023 di London, Inggris.

Mengutip laman resmi ILO, para wakil dari nelayan, pemilik kapal penangkap ikan, akademisi, dan lembaga pemerintah menyepakati bahwa peraturan untuk melindungi nelayan harus lebih ditegakkan. Juga, perlunya dilakukan ratifikasi perjanjian penangkapan ikan lebih lanjut.

Konferensi tersebut secara khusus membahas tentang kondisi kerja, penelantaran di laut, pengelolaan kapal yang bertanggung jawab, serta kesejahteraan fisik dan psikologis para pelaut dan nelayan.

Direktur Jenderal ILO Gilbert F Houngbo mengatakan, nelayan terus menghadapi kondisi pekerjaan yang tidak layak, dan sebagian besar sudah mengalaminya secara langsung. Utamanya, tidak adanya perlindungan yang kuat terhadap prinsip dan hak dasar para nelayan di tempat bekerja.

Dia mengakui, walau sejumlah badan PBB sudah berusaha keras untuk melakukan berbagai upaya, namun memang kemajuannya masih lambat. Itu kenapa, dia menilai perlunya dilakukan percepatan tindakan untuk ratifikasi dan implementasi konvensi-konvensi penangkapan ikan.

Pandangan yang sama juga diutarakan Sekretaris Jenderal IMO Kitack Lim. Menurut dia, keberadaan profesi pelaut, nelayan, dan tenaga maritim lainnya tidak boleh diabaikan oleh siapa pun. Mereka adalah tenaga profesional yang menjadi sumber kehidupan pelayaran.

“Kesejahteraan mereka adalah yang terpenting,” ucap dia.

baca juga : Kapan Perlindungan Penuh Awak Kapal Perikanan Indonesia Akan Terwujud?

 

Seorang nelayang sedang memperbaiki jaring ikan. Foto : shutterstock

 

Dia meyakini kalau para pekerja di atas laut memegang peranan sangat penting bagi dunia, karena mereka ikut memastikan pasokan barang dan makanan aman hingga terkirim ke tujuan. Itu kenapa, mereka adalah pihak yang selalu ada di garis depan dan tidak banyak yang bisa mengambil alih peran tersebut.

Bahkan, saat seluruh dunia dipaksa untuk berdiam dan berhenti saat pandemi COVID-19 berlangsung, para pekerja di atas laut tetap menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Oleh itu, mereka sudah menunjukkan tanggung jawab sangat luar biasa selama waktu tersebut.

“Tanpa mereka, pengiriman akan terhenti,” tegas dia.

Hal serupa juga ditunjukkan Sekretaris Jenderal International Chamber of Shipping (ICS) Guy Platten yang menilai bahwa pandangan pelaut sebagai sebuah komoditas sudah saatnya diakhiri. Dia meminta semua pihak yang berpandangan seperti itu harus bisa mengubah perspektif melalui kerja sama dengan pelaut secara langsung.

Perubahan perspektif itu harus melibatkan Pemerintah, pelaku usaha, dan serikat pekerja secara langsung. Semuanya harus bisa mendefinisikan kembali tentang kontrak sosial, dan kesejahteraan sosial yang harus diterima para pelaut.

Dia yakin, jika definisi bisa dibuat baru dan semua elemen menyepakati tentang peningkatan kesejahteraan dan hak-hak dasar, maka para pelaut akan bersungguh-sungguh untuk bekerja. Mereka juga akan menciptakan prestasi kerja yang diharapkan para pemilik modal.

Pernyataan Guy Platten itu kemudian diamini oleh Sekretaris Jenderal Federasi Pekerja Transportasi Internasional (ITF) Stephen Cotton. Menurut dia, dunia harus bisa bertanggung jawab untuk mengubah bentuk industri, dan menciptakan lingkungan yang nyaman untuk menarik orang bekerja di industri pelayaran dan perikanan.

Dia menyebut kalau semua pihak terkait harus bisa menemukan cara untuk melaksanakan transisi industri agar berubah menjadi tempat yang menarik untuk bekerja. Agar itu terwujud, maka semua pihak harus berinvestasi kepada para pelaut.

“Memastikan bahwa mereka berada di lingkungan yang aman dengan pendidikan dan keterampilan yang diperlukan,” terang dia. (***)

 

Exit mobile version