Mongabay.co.id

Merayakan Hari Maleo Sedunia: Mempertahankan Hutan Sebagai Habitatnya

Maleo. Foto: Akun Facebook Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

 

Setiap 21 November dirayakan sebagai Hari Maleo Sedunia. Penetapan ini dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] pertama kalinya pada 21 November 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.

Tanggal ini dipilih oleh para pegiat konservasi karena di waktu tersebut berhasil ditetaskan  dan dilepaskan anak maleo pertama hasil penetasan semi alami tahun 2001, di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW].

Pada 21 November 2023 ini, banyak pegiat konservasi yang merayakan Hari Maleo Sedunia dengan berbagai acara. Mulai dari menggelar festival maleo dan roadshow ke sekolah-sekolah yang dilakukan di Gorontalo, sosialisasi dan diskusi perlindungannya di Kabupaten Banggai, hingga seminar nasional dengan tema “Indonesia Bangga Memiliki Maleo” yang dilakukan oleh Taman Nasional Lore Lindu dan mitranya, di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Baca: Mansur Yasong, Penjaga Habitat Maleo di Tanjung Matop

 

Sepasang maleo yang terpantau di habitatnya. Foto: Dok. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

 

Dalam seminar tersebut, dihadirkan mantan pemburu telur maleo bernama Muhammad Jafar, yang kini telah menjadi pelindung populasi maleo di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Jafar sejak kecil berburu telur maleo dan mengonsumsinya. Namun, sejak tahun 1974 muncul kesadaran dan kepedulian melestarikan maleo. Danau Towuti sendiri merupakan salah satu habitat telur maleo di Sulawesi Selatan.

“Dulu saya predator bagi maleo, sekarang saya jadi bapak maleo,” kata Jafar memberikan testimoni.

Selain Jafar, juga hadir Kiplan Mansyur, warga yang peduli terhadap maleo di Desa Pinjan, Tanjung Matop, Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Menurut Kiplan, hampir setiap tahun mereka melakukan penangkaran semi alami. Namun, populasi maleo terancam dengan alasan yang sama, yakni terjadinya penyempitan lahan. Di kampungnya, kawasan bertelur maleo memiliki panjang 1.290 meter di garis pantai yang berada di tiga desa.

“Namun masih ada desa tetangga yang melakukan perburuan. Ini yang perlu disosialisasikan untuk tidak berburu maleo,” katanya.

Menurut Kiplan, mereka sering melakukan pengamatan dan monitoring bersama tim BKSDA [Balai Konservasi Sumber Daya Alam]. Baginya, masyarakat perlu dilibatkan dalam melakukan konservasi maleo. Berdasarkan penghitungannya, saat ia mulai terlibat  penangkaran tahun 2020, setiap tahun sekitar 1.000 ekor maleo menetas, namun pada  2023 ini sangat minim.

“Itu berarti populasi maleo menurun,” ungkap Kiplan.

Baca: Konservasi Maleo Senkawor Melalui SRAK, Seperti Apa?

 

Anak maleo harus berjuang hidup sendiri begitu keluar dari permukaan pasir. Foto: Hanom Bashari

 

Konservasi maleo

Titik Wurdiningsih, Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu [TNLL], menjelaskan bahwa Hari Maleo Sedunia merupakan pengingat dan pendorong untuk menyebarluaskan upaya konservasi maleo yang sudah dilakukan berbagai pihak ke seluruh dunia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah menetapkan SRAK [Strategi Rencana Aksi dan Konservasi] Maleo 2020-2030, sebagai arahan kebijakan dan teknis ke seluruh pihak dalam upaya melestarikan maleo.

Menurutnya, populasi maleo yang hanya bisa ditemukan di Pulau Sulawesi kini telah mengalami ancaman akibat laju deforestasi yang menyebabkan perubahan tutupan lahan. Hal ini berdampak pada eksistensi keanekaragaman hayati, sehingga mengganggu habitat dan penurunan populasi satwa liar dan juga tumbuhan, termasuk maleo.

“Keberadaan maleo di Sulawesi menjadi perhatian khusus, karena merupakan satwa kunci pada hutan primer, dan telah terjadi indikasi penurunan populasi. Hingga saat ini populasi  secara global belum tercatat, namun diperkirakan antara 8.000-14.000 individu dewasa. Melestarikan maleo berarti kita juga harus mempertahankan hutan sebagai habitatnya dan bentang alam sekitarnya,” ucap Wurdiningsih.

Baca juga: Bukan Cara Biasa Menjaga Maleo

 

Telur maleo yang ukurannya sebesar telapak tangan orang dewasa. Foto: Hanom Bashari

 

Mohamad Haryono, dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik [KKHSG], KLHK, mengungkapkan bahwa secara umum 65 persen lokasi peneluran maleo berada di luar kawasan konservasi.

Kondisi ini bisa menjadi masalah utama karena lahan atau kawasan lokasi bertelur tersebut kewenangannya bukan pada KLHK. Selain itu, sekitar 66 persen lokasi penelurannya juga berada di pantai. Dan ini menjadi tantangan dalam mengelola maleo ke depan.

“Kalau semua berada dalam kawasan konservasi maka kewenangan penuh pengelolaanya pada KLHK. Namun karena banyak berada di luar kawasan, itu menujukkan bahwa KLHK tidak bisa mengelola sendirian, harus melibatkan banyak pihak,” ujarnya.

Haryono menuturkan, isu strategis yang kini dihadapi dalam konservasi maleo adalah masih ada pengambilan telur dan perburuan, juga degradasi habitat serta perubahan fungsi hutan, dan adanya predator; baik alam dan non-alami, serta spesies invasif.

Untuk arahan kebijakan, kata Haryono, perencanaan SRAK Maleo 2020-2030 sudah sangat bagus, hanya saja bagaimana implementasinya di lapangan. Rekomandasi yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi capaian dan permasalahan dalam implementasi SRAK Maleo, melaksanakan Inpres [Instruksi Presiden] Nomor 1 Tahun 2023 tentang pengarustamaan pelestarian keanekaragaman hayati dalam pembangunan berkelanjutan, melakukan upaya konservasi maleo berbasis genetik, mengembangkan konservasi ex situ [konservasi di luar habitatnya], serta menguatkan kerja sama berbagai pihak dalam program konservasi maleo.

 

Burung maleo ketika akan bertelur di pesisir Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dalam seminar memperingati Hari Maleo Sedunia itu juga melibatkan akademisi, yaitu Pramana Yuda, dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Menurutnya, dalam konservasi maleo, akademisi perlu melakukan kajian dan menetapkan standar nasional survei untuk pemantauan populasi dan ancaman maleo, serta pedoman pengelolaan lokasi peneluran dan bak penetasan semi alami.

Selain itu, akademisi perlu menyusun rencana penelitian strategis maleo, khususnya yang memiliki dampak langsung terhadap konservasi maleo di habitat alaminya maupun lokasi-lokasi konservasi ex situ.

“Namun tidak kalah pentingnya juga adalah mengajak dan mengikutsertakan masyarakat sekitar dalam menjaga maleo,” paparnya.

 

Exit mobile version