Mongabay.co.id

Perhutanan Sosial yang Memberikan Harapan Masyarakat Banyuwangi

 

 

Kesibukan terlihat di sebuah lahan kosong di Dusun Pondokasem, Desa Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Bangunan semi permanen berbahan kayu berukuran sekitar 8×10 meter itu, menjadi pusat aktivitas sejumlah petani yang siang itu mencangkuli tanah hitam. Tanah itu adalah kotoran sapi yang baru difermentasi satu minggu.

Di tempat ini, para petani anggota Kelompok Usaha Perhutanan Sosial [KUPS] Pupuk Organik yang berasal dari kotoran hewan [KOHE] menjalankan aktivitasnya. Pupuk organik ini merupakan usaha lain para petani Kedungasri, selain menggarap lahan di areal perhutanan sosial.

Marwan, Ketua KUPS Pupuk Organik KOHE, menuturkan kotoran ternak diambil para petani lalu dibersihkan dari sampah plastik dan cemaran lainya.

“Selanjutnya dilakukan fermentasi untuk menghilangkan gas metan agar dapat digunakan untuk tanaman,” awal November 2023.

“Butuh waktu empat minggu untuk fermentasi,” tambah Supiyono, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa [LPHD] Desa Kedungasri.

Pembuatan pupuk organik telah dilakukan empat bulan ini, hingga Oktober 2023. Dalam sebulan, KUPS Pupuk Organik mampu membuat 3-4 ton. Satu karung dijual seharga Rp15.000. Total yang sudah dijual 160 karung.

“Banyak petani yang memakai, hasilnya sangat bagus untuk tanaman,” ujar Supiyono.

Baca: Praktik Perhutanan Sosial yang Datangkan Pendapatan tanpa Rusak Lingkungan 

 

Sugeng Mulyono, Ketua KUPS Tuan Crab menunjukkan perkembangan ukuran kepiting bakau hasil budidaya pembesaran. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Budidaya kepiting bakau

Pemanfaatan sumber daya hutan di areal Perhutanan Sosial di Banyuwangi, juga dilakukan warga Kampung Kaliwatu Kidul, Dusun Persen, Desa Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo.

Sebanyak 10 anggota Kelompok Usaha Perhutanan Sosial [KUPS] Tuan Crab, memanfaatkan area hutan mangrove di kawasan hutan mangrove di sekitar Teluk Pangpang untuk budidaya pembesaran kepiting bakau.

Sugeng Mulyono, Ketua KUPS Tuan Crab, kelompoknya telah menjalankan kegiatan ini setahun terakhir. Hal penting yang harus dilakukan adalah tempat yang tepat.

“Idealnya di bawah pohon mangrove, dengan intensitas sinar matahari sekitar 25 persen.”

Lalu, pastikan media budidaya yang sesuai.

“Jirigen 30 liter kami gunakan sebagai media pembesaran, karena lebih tahan terhadap cuaca dan alam, serta tahan lebih lama.”

Selanjutnya, pilih benih berukuran 100 gram.

“Setiap dua kali sehari, atau minimal sekali sehari, kepiting diberi pakan berupa ikan rucah, keong, atau kepiting kecil. Sejauh ini, harga pakan sangat murah dan dapat dicari di sekitar.”

Hasil pembesaran dengan metode battery cell ini butuh waktu paling cepat dua minggu untuk  dipanen. Kepiting bakau mengalami fase molting atau berganti cangkang, tanda beratnya bertambah. Butuh waktu dua bulan dari berat 100 gram menjadi 200 gram atau lebih. Yang perlu diwaspadai adalah cuaca ekstrem dan predator alami.

“Moltingnya tidak selalu sama, ada yang sehari, tujuh hari. Maksimal dua bulan sudah multing semua,” jelas Sugeng.

Untuk pemasaran, dibantu LSM Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam [ARuPA].

“Satu kilogram isi 4 kepiting seharga Rp100.000, satu kilogram dijual Rp130.000, dan satu kilogram 2 kepiting dipatok Rp150.000 keatas.”

Konsep Perhutanan Sosial dengan budidaya kepiting, menurut Sugeng, membawa keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat. Khususnya, nelayan tangkap yang tidak selalu mendapatkan hasil dari mencari ikan di laut.

“Budidaya ini menambah penghasilan kami. Selain ekonomi, manfaat ekologi juga kami dapatkan dengan terpeliharanya hutan mangrove. Wilayah kami lebih terlindungi,” ujarnya.

Baca juga: Potret Perhutanan Sosial Indonesia Hari Ini

 

Seorang petani melakukan pemupukan pada tanaman pepaya menggunakan pupuk organik. Foto :Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Dukungan

Kepala Desa Kedungasri, Sunaryo, menyatakan program perhutanan sosial memberi dampak perubahan paradigma dan perilaku warga yang semakin sadar terhadap lingkungan, sekaligus mewujudkan kesejahteraan bersama.

“Meski prosesnya cukup panjang, program Perhutanan Sosial, khususnya skema hutan desa turut dirasakan manfaatnya oleh Desa Kedungasri dengan membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa [LPHD].”

Kawasan hutan yang masuk wilayah Kedungasri seluas 400 hektare hutan produksi dan 400 hektare hutan mangrove. Dari angka itu, yang masuk dalam skema hutan desa, termasuk di dalamnya hutan mangrove dan hutan produksi seluas 145 hektare, yang dituangkan dalam SK Hutan Desa Nomor 5645/2023.

“Sedangkan luas lahan di Desa Kedungasri yang termasuk dalam skema Tanah Objek Reforma Agraria [TORA] sekitar 72 hektare. Bedanya, pemanfaatan TORA hanya untuk hunian, fasilitas sosial, dan fasilitas umum,” tutur Sunaryo.

Pemerintah Desa mendukung penuh KUPS Pupuk Orgnik dan KUPS Tuan Crab, yang telah  memberikan manfaat ekonomi bagi warga. Desa Kedungasri memiliki luas sekitar 1.300 hektare, dengan kisaran 800 hektare merupakan area pertanian tanaman pangan dan holtikultura.

“Kondisi ini dapat ditingkatkan sehingga manfaatnya bisa dirasakan desa lain,” ujarnya.

Baca: Cerita Kelompok Tani Kelola Izin Perhutanan Sosial di Jambi

 

Gubug Rembug Perhutanan Sosial Desa Kedungasri, di kawasan Hutan Desa. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pendampingan

ARuPA mendukung program Perhutanan Sosial di Indonesia sebagai agenda prioritas pembangunan nasional dalam RPJMN 2020-2024. Sejak November 2022, ARuPa bersama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup [BPDLH] Kementerian Keuangan Republik Indonesia melakukan pendampingan agroforestry dan mendorong insentif pasar untuk mendukung Perhutanan Sosial di Jawa Timur, khususnya di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Tulungagung.

“Tujuannya meningkatkan kualitas penghidupan masyarakat melalui optimalisasi pengelolaan areal perhutanan sosial secara berkelanjutan,” ujar Krisna Yulianta, fasilitator pemberdayaan masyarakat ARuPA.

Di Banyuwangi, program ini fokus pada penguatan dua KUPS yaitu KUPS Kepiting dan KUPS Pupuk Organik yang berasal dari kotoran hewan [KOHE].

“Hasil yang diharapkan adalah penguatan kelompok, pemantapan pengelolaan, pemantapan sumber mata pencaharian masyarakat, dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan di areal perhutanan sosial,” terangnya.

 

Exit mobile version